Peristiwa-peristiwa di dunia Arab atau Timur Tengah secara umum sepanjang 2017 mencerminkan pelik dan kompleksnya persoalan di kawasan itu, tingginya potensi konflik, dan lemahnya kemampuan masyarakat untuk mewujudkan tatanan nasional dan regional baru yang bisa mengakomodasi dan mengatur perbedaan dan kepentingan beragam secara damai.
Negara-negara di dunia Arab berbagi dalam banyak hal tapi mereka juga memiliki perbedaan-perbedaan yang tidak kecil. Banyak di antara peristiwa sepanjang 2017 di kawasan itu mencerminkan persoalan yang kurang lebih sama, tapi di sisi lain juga ada perbedaan-perbedaan. Secara umum pula, eksplanasi terhadap peristiwa-peristiwa itu juga demikian, ada persamaan dan perbedaannya. Faktor-faktor domestik umumnya penting tapi faktor-faktor kawasan dan internasional sering menjadi signifikan untuk menjelaskannya.
Di Arab Levant atau Syam Kabir, peristiwa-peristiwa paling dicatat tahun 2017 didominasi empat hal.
Pertama, perang Suriah yang melibatkan banyak aktor, kepentingan, dan dimensi. Aktor-aktor dengan kepentingan beragam itu terdiri dari aktor domestik, kawasan, maupun internasional. Kehancuran akibat perang sekitar enam tahun itu mencapai tingkat mencengangkan.
Lebih dari separuh penduduk jadi pengungsi, sekitar setengah juta nyawa melayang atau hilang, dan entah berapa dana dihamburkan untuk logistik perang. Biaya perang dari negara-negara yang berkonflik tidak diumumkan. Tapi, Rusia saja disebut-sebut menghabiskan sekitar US$4 juta (sekitar Rp 50 miliar) setiap hari dalam perang selama 6 tahun ini padahal jumlah aktor yang terlibat banyak.
Estimasi kerugian ekonomi Suriah ditaksir 255 Billion Euro menurut Euronews. Jika perdamaian kedua pihak terlaksana saat ini dan restorasi berjalan lancar, Suriah diperkirakan membutuhkan waktu 15 tahun untuk membangun ekonominya seperti sebelum perang.
Kedua pihak yang bertikai sebenarnya sudah hampir habis tenaga dan logistik, tapi keduanya masih tampak “gengsi” atau mendapat tekanan dari negara donor untuk maju ke meja perundingan secara serius dan menghasilkan kesepakatan damai final dan menyeluruh. Lagi-lagi, ini menunjukkan pelik dan kompleksnya aktor yang terlibat dengan kepentingan beragam.
Kedua, perang di sub kawasan penuh konflik ini bertujuan menghabisi kekuatan teritorial ISIS di Suriah utara dan Irak utara. Usaha untuk merebut kembali Mosul dan Raqqa tertunda cukup lama dari target pemerintah Irak maupun sekutu pimpinan AS. Namun, pada 10 Juli 2017 Perdana Mwnteri Irak Haedar al-Abbadi mendeklarasikan bahwa Mosul sudah dibebaskan, yang disusul pembebasan Raqqa 10 Oktober 2017 oleh Tentara Demokratik Suriah.
Agenda Irak dan Suriah paling berat ke depan tentu adalah mewujudkan perdamaian, rekonsiliasi, dan pemulihan yang membutuhkan waktu panjang dan diperkirakan memakan biaya sangat besar. Cina menjadi pihak paling banyak mengambil keuntungan ekonomi dari situasi perang pasca perang.
Ketiga, di penghujung tahun, perhatian dunia tertuju kepada kota Yerusalem. Bukan karena perang yang menyebabkan kematian dalam jumlah besar sebagaimana di Irak dan Suriah, setelah pengumuman pengakuan AS atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel (8/12). AS bersikeras mempertahankan keputusan itu dengan menggunakan veto di Dewan Keamanan PBB.
Kendati hanyalah perubahan pandangan sebuah negara atas sebuah kota, tetap saja keputusan itu sangat signifikan. Sebab, posisi Yerusalem merupakan salah satu “inti” konflik Palestina-Israel telah memasuki dekade ketujuh. Sentimen agama ketika kota tua itu disentuh menjadi sangat kuat, kendati Donald Trump sesungguhnya tidak menyebut secara spesifik Yerusalem mana yang akan jadi ibu kota Israel.
Trump juga tidak menyebut bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel yang tidak berbagi. Di samping itu, peran tradisonal AS sebagai mediator dalam proses perdamaian sangatlah signifikan. Dengan keputusan itu, Trump seolah telah melemparkan negaranya dari orbit mediator konflik panjang ini, meski peran negara itu sepertinya tetap akan sulit diabaikan.
Sikap keras Trump di DK PBB telah membuat AS seperti tak punya “kawan”. Negara itu tak digubris para sekutunya yang menjadi anggota PBB. Dari 15 negara, 14 negara anggota DK PBB mengambil sikap bertentangan dengan AS. Mereka mendukung resolusi yang melarang mengubah status quo Yerussalem. AS harus menggunakan hak veto untuk menggagalkan resolusi itu.
Para sekutunya seolah telah meninggalkan negara itu sendirian. Di Majelis Umum PBB, AS juga mengalami kekalahan telak. Sejumlah 128 negara menyetujui resolusi itu dan hanya sembilan negara yang menolaknya. Sisanya memilih untuk tidak memberikan suara atau tidak hadir. Padahal, AS melalui Dubesnya di PBB dan melalui Trump sendiri sudah menebar ancaman terhadap negara yang mendukung resolusi itu. Kendati keputusan nanti tak mengikat, kekalahan Trump ini, sekali lagi, adalah tamparan keras bagi diplomasi dan wibawa negara itu.
Keempat, referendum Negara Kurdistan di bagian Timur Laut Irak pada 25 September 2017. Peristiwa ini segera disusul konflik politik dan bersenjata secara terbatas yang juga melibatkan Turki, Iran, dan Suriah. Persoalan ini menjadi bom waktu paling berbahaya dalam waktu dekat ini di Arab Timur. Meski ada upaya untuk menahan diri, sikap kedua pihak masih sama-sama sangat jauh. Satu pihak menginginkan kemerdekaan dan yang lain sebaliknya.
Celakanya, Kurdistan saat ini memiliki kemampuan militer dan semangat yang tinggi untuk mewujudkan kemerdekaannya. Tekanan militer Baghdad, Ankara, dan Teheran jelas bukan solusi permanen bagi krisis Kurdistan Irak. Kemerdekaan Kurdistan, bagaimanapun, tetap menjadi bara dalam sekam yang paling ekplosif dalam waktu dekat ini di Arab Timur.
Peristiwa-peristiwa paling menarik terjadi di sub kawasan “Bulan Sabit Subur”, yaitu di timur Laut Tengah. Kawasan yang disebut Hitti sebagai “panggung peradaban” masa klasik ini merupakan kawasan pertemuan etnis-etnis besar: Arab, Persia, Turkik, dan Kurdi tanpa ada pemisah perairan. Sub kawasan ini menjadi titik pertemuan antara bangsa Arab dan non-Arab di Timur Tengah. Karenanya, Irak sering disebut bawwabah al-Arab (pintu gerbang dunia Arab) di Timur Laut.
Penjelasan lain bagi tingginya konflik di bagian kawasan ini adalah sejarah. Sub kawasan yang secara tradisional disebut dengan Syam al-Kabir (Levant/al-hilal al-khashib) ini pernah mengalami pengkaplingan oleh bekas penjajah dengan mengabaikan irisan-irisan sosial dan kultural yang ada.
Pengkaplingan yang dikenal dengan perjanjian Sykes-Picot (1916) itu menjadikan kawasan yang dalam sejarahnya yang panjang menyatu itu terpecah menjadi beberapa negara yang kemudian berkembang jadi enam negara seperti sekarang. Negara itu adalah Suriah, Lebanon, Yordania, “Palestina”, Israel, sebagian Irak. Perjanjian itu merupakan bubuk mesiu sejarah yang telah merunyamkan situasi di sub kawasan itu dan sewaktu-waktu masih bisa meledak lagi karena disulut hal sederhana. Isu Kurdistan dan Palestina buktinya.
Penjelasan lain terhadap banyaknya konflik di sub kawasan itu seperti faktor konflik regional antara Saudi dan sekutunya versus Iran dengan seluruh kekuatan orbit Syiahnya tentu sudah sering kita dengar. Ini juga yang menjelaskan faktor internasional, yaitu kepentingan negara besar di kawasan ini. Karenanya, saya tidak mengulas ulang dua faktor itu.
Di sub kawasan lain, yakni di Teluk atau Jazirah (selatan), beberapa hal memperoleh perhatian luas hingga ke Indonesia. Pertama, blokade kuartet Arab terhadap Qatar dimulai pada Juni 2017. Kuartet Arab yang dimaksud adalah Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir. Kendati bokade ini belum memicu pecahnya konflik senjata dan tak ada eskalasi yang tampak di lapangan, tapi konflik ini adalah bara dalam sekam.
Yang terang, berbagai usaha terutama dari Emir Kuwait untuk mendamaikan kedua pihak gagal. Skenario militer sepertinya sedang berjalan. Bahayanya, kedua negara ini telah menimbun persenjataan-persenjataan termaju dalam jumlah besar dalam enam tahun terakhir.
Kedua, reformasi politik dan sosial di Arab Saudi. Pada 20 Juni 2017, pengangkatan Muhammad bin Salman menjadi putra mahkota menandai peralihan kekuasaan dari keluarga besar Ali Saud ke keluarga kecil Ali Salman. Reformasi sosial dan birokrasi yang dilakukan putra mahkota juga menghentak dunia. Masyarakat Saudi baru telah lahir, kendati sebagian besar melalui proses “top down”.
Pengumuman pembolehan menyetir mobil bagi perempuan(26/9/17) dan mulai berlaku Juni 2018 nanti, pembukaan gedung bioskop dan konser musik, pembukaan destinasi wisata pantai dan seterusnya adalah penanda penting bagi “liberalisasi pragmatis” bagi masyarakat negeri Wahabi itu.
Ketiga, perang Yaman yang begitu destruktif, apalagi setelah Saudi masuk ke arena untuk menggencarkan gelombang ofensif udara sejak 25 Maret 2015 hingga sekarang. Akibat-akibat perang di Yaman luar biasa, bencana kemanusiaan, kelaparan dan penyakit mewabah, lebih dari sejuta “pengungsi”, di samping puluhan ribu korban tewas dan kehancuran infrasruktur dan sosial.
Padahal, sebelum konflik pecah, Yaman digadang-gadang sebagai negara yang akan bisa melakukan transformasi demokrasi secara baik. Faktanya, mereka gagal dan terjerumus ke dalam perpecahan dan perang yang belum ada tanda-tanda segera berakhir. Terbunuhnya mantan Presiden Ali Shaleh mempersulit proses perdamaian.
Teluk adalah kawasan diberkati dengan limpahan minyak sejak beberapa dekade lalu. Hasilnya, kawasan gurun itu tersulap jadi kota-kota terglamor di dunia. Tapi penurunan harga minyak dan tingginya tuntutan biaya keterlibatan dalam perang akhir-akhir ini mengusik “kehidupan mewah” para pangeran dan kemapanan rakyat Teluk pada umumnya.
Di sub kawasan lain, tepatnya di aliran Sungai Nil, Mesir yang mengalami pergolakan hebat dalam proses demokratisasinya kembali menjadi negara yang dikuasai militer sejak 2014. Proses demokratisasi ulang jelas tak akan mudah. Sebab, cengkeraman militer di bidang politik dan ekonomi di negara itu sangat kuat.
Mesir pada tahun ini menyaksikan sejumlah penyerangan dari kelompok-kelompok ekstrem, termasuk yang terjadi di Masjid al-Rawdhah al-Arish yang menelan korban ratusan jiwa. Pada tahun 2018, pemilu presiden hampir pasti akan diwarnai usaha keras Presiden Abdul Fattah al-Sisi untuk bertahan. Ia harus menghadapi dua tekanan besar sekaligus, pesaingnya dari kalangan militer dan juga dari gerakan pemuda yang dikenal sangat kuat di negeri ini.
Di Arab Barat, Libya masih jauh dari kata stabil, kendati beberapa kali pemerintahan “persatuan” sempat terbentuk. Lemahnya konsensus dan institusi di negara ini menjadi tantangan paling besar dalam merestorasi Libya.
Sedikit harapan datang dari negeri “mungil” nan-indah di Tunisia. Tunisia, negara pelopor Arab springs, punya prestasi bagus yang dapat dicatat di kawasan ini. Mereka berhasil keluar dari krisis politik berbahaya yang berujung pada pengakuan dengan hadiah nobel perdamaian untuk empat federasi profesionalnya Oktober dua tahun lalu. Kekuatan sipil ini yang menjadi pembeda Tunisia dari negara Arab lainnya.
Sampai akhir 2017 negara ini setidaknya tak terjerumus ke dalam konflik bersenjata. Harapannya, Tunisia akan menularkan semangat ini sebagaimana pada masa-masa awal Arab Spring kepada negara-negara Arab lainnya pada tahun 2018 dan selanjutnya.
Catatan: Tulisan ini disarikan dari sebagian pemaparan penulis dalam “Refleksi Akhir Tahun Dinamika Politik di Dunia Arab dan Implikasinya bagi Islam Indonesia”, Pusat Studi Islam dan Filsafat, Universitas Muhammadiyah Malang, Senin (18/12).
Kolom terkait:
Yerusalem, Pembuka Jalan Negara Palestina?
Benarkah Muhammad bin Salman “Menista” Ulama Saudi?