Konflik di negara bagian Rakhine/Arakan, Myanmar, akhir-akhir ini sedang bereskalasi ke babak baru. Hal ini ditandai dengan aktifnya gerakan kelompok bersenjata Rohingya yang menamakan dirinya Tentara Pembebasan Rohingya Arakan atau ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army). Gerakan kelompok pembebasan yang dipimpin oleh Ata Ullah itu melancarkan serangkaian serangan terhadap aparat keamanan Myanmar beberapa waktu lalu yang mengakibatkan sekitar 12 orang aparat terbunuh.
Aparat Myanmar segera membalas dengan menggelar operasi militer yang menewaskan sekitar 100 orang warga sipil. Ribuan orang berlari ke perbatasan Bangladesh, sementara ratusan warga Rohingya dibakar.
Jika dicermati, sejak tahun 1982, kelompok Rohingya dipinggrikan dan ditindas secara sistematis. Sekarang ini mereka adalah komunitas tanpa kewarganegaraan (stateless) terbesar di dunia. Hampir satu juta orang Rohingya mengungsi ke luar negeri. Sementara itu, yang tinggal di Arakan hidup di kamp konsentrasi.
Lebih dari itu, dua studi yang dipublikasikan oleh dua universitas ternama, Universitas Queen Mary dan Yale, pada 2015 berkesimpulan bahwa yang menimpa kelompok Rohingya di Arakan adalah genosida. Maung Zarni dan Alice Cowley menyebut pembantaian terhadap Rohingya sebagai “genosida perlahan-lahan” (Maung Zarni dan Alice Cowey, 2014).
Ketidakberdayaan ini disadari oleh para tokoh dan aktivis Rohingya. Berbeda dengan kelompok minoritas lain yang juga berkonflik dengan pemerintah Myanmar seperti suku Chin, Kachin, Shan dan Karen, sampai sebelum ARSA melancarkan serangan bersenjata beberapa bulan lalu, etnis Rohingya tidak pernah memiliki kekuatan bersenjata terorganisir. Serangan ARSA seolah ingin menunjukkan bahwa etnis Rohingya sekarang siap angkat senjata untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Bukan Konflik Agama
Yang menarik, sebagian besar masyarakat Indonesia melihat isu Rohingya sebagai isu agama. Meski tidak sepenuhnya keliru, mereduksi konflik di Arakan pada isu agama sama sekali tidak tepat.
Betul bahwa Biksu Ashin Wirathu yang memimpin kelompok Buddha radikal telah ikut menyulut pembantaian terhadap minoritas Rohingya. Pandangan-pandangannya telah mendorong kekerasan antar etnis dan agama. Tapi, jangan lupa, pemerintah Myanmar sudah sejak lama terlibat konflik dengan setidaknya 15 kelompok bersenjata dari beragam minoritas etnis seperti Kachin (minoritas Kristen di perbatasan China), Karen (minoritas etnis di perbatasan Thailand), Chin (minoritas di perbatasan India), dan Shan (minoritas di perbatasan China, Thailand, dan Laos).
Minoritas etnis ini rata-rata merasa dipinggirkan oleh etnis Burman, kelompok mayoritas di Myanmar. Mereka tidak diberikan hak untuk menggunakan dan mengembangkan bahasa dan budayanya. Pada saat yang sama, pemerintah pusat dianggap mengeksploitasi sumber daya alam tanpa melibatkan wilayah.
Ini sebenarnya isu klasik yang dihadapi negara bangsa pasca-kolonialisme. Pada zaman Soeharto, kita pernah mengalami semua itu. Atas dalih nasionalisme dan pembangunan, keberagaman etnis dan suku harus diseragamkan. Pusat juga sangat dominan dalam pengelolaan sumber daya alam.
Penjelasan tunggal terhadap munculnya konflik bersenjata pasti tidak memuaskan. Saskia Sassen, misalnya, mengungkapkan bahwa rezim militer Myanmar sejak dua dekade lalu telah merebut lahan secara paksa dari warga untuk kepentingan korporasi (Saskia Sassen, 2017). Baru-baru ini pemerintah Myanmar mengalokasikan lebih satu juta hektare tanah di kawasan Rohingya untuk korporasi. Sejak konflik di provinsi itu meningkat pada 2012, alokasi tanah untuk perusahaan besar meningkat hampir 170%.
Karena itu, isu Rohingya lebih baik kita pahami sebagai pertemuan beberapa faktor: identitas di perbatasan, ekonomi-politik, dan isu agama. Konflik Rohingya ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan konflik Patani di Thailand Selatan dan Moro di Filipina Selatan.
Peran Indonesia
Selama ini usaha Indonesia dan negara lain, terutama di kawasan Asia Tenggara, untuk ikut serta menyelesaikan konflik Rohingya selalu saja terkendala prinsip non-interference (tak boleh ikut campur urusan domestik negara lain). Negara-negara anggota ASEAN memegang teguh sakralitas prinsip ini. Tentu kita bisa paham, jika kita memiliki masalah dalam negeri, katakanlah konflik di Papua, sebagai negara yang berdaulat kita tidak ingin diintervensi oleh negara lain dalam menyelesaikan konflik itu.
Begitu juga perasaan pemerintah Myanmar. Prinsip non-interference memang telah mengantarkan kawasan ASEAN pada stabilitas keamanan kawasan sejak organisasi itu berdiri. Namun, kita juga tidak bisa hanya bertopang dagu saat melihat kekerasan dan pelanggaran HAM terjadi di negara tetangga.
Dilema ini disadari betul oleh pemerintah. Karena itu, kita mengerti bahwa untuk membantu menyelesaikan konflik di negara tetangga pemerintah lebih banyak menempuh jalur diplomasi di balik layar. Jangan sampai usaha membantu dibaca oleh pemerintah Myanmar sebagai bentuk intervensi kedaulatan. Dan selama ini menurut saya usaha itu cukup sukses.
Baru-baru ini pemerintah bersama Aliansi LSM untuk Myanmar (AKIM) memprakarsai program Humanitarian Assistance for Sustainable Community (HASCO) untuk Myanmar. Berkat diplomasi pemerintah, sejumlah LSM Indonesia juga mendapatkan izin untuk beroperasi di Arakan. Bahkan pemerintah Indonesia telah mengantongi izin untuk membangun rumah sakit di Mrauk U, Provinsi Arakan.
Meskipun demikian, dalam kondisi tertentu pemerintah harus bisa dan berani pula menempuh jalur yang lebih tegas. Norma non-interference memiliki wajah ganda. Di satu sisi, prinsip ini memungkinkan terciptanya stabilitas kawasan. Namun, di sisi lain, prinsip ini pula yang menyebabkan ketidakberdayaan negara di kawasan dalam menghadapi krisis kemanusiaan dan pelanggaran HAM akibat konflik.
ASEAN dan negara-negara anggotanya dikritik karena terlalu kaku menerapkan prinsip ini dan seolah membiarkan kekerasan HAM berat terjadi. Kita masih ingat, ketika terjadi konflik di Kamboja pada tahun 1980-an, ASEAN baru berani bergerak setelah rezim Pol Pot membunuh lebih 2 juta orang.
Maka, salah satu peran lain yang bisa dimainkan Indonesia sebagai negara terbesar di kawasan Asia Tenggara adalah dengan menempuh jalur ASEAN, Indonesia harus mendorong ASEAN menerapkan prinsip non-interference secara seimbang dengan prinsip kewajiban negara melindungi hak asasi manusia (responsibility to protect). Dengan kata lain, kedaulatan negara tidak lagi mutlak.
Dalam kondisi ketika negara melakukan kejahatan HAM berat, negara anggota ASEAN bisa ikut campur untuk menyelesaikan masalah itu secara kolektif dan konstruktif. Jangan sampai apa yang terjadi di Kamboja terulang kembali di Myanmar. Jangan pula kita terlambat dalam menyelamatkan jutaan nyawa manusia.
Kolom terkait:
Politisasi Agama: Dari Rohingya, Palestina, sampai ISIS
Kenapa Rohingya Lebih Menarik dari Yaman?