Krisis di Al-Aqsa sedikit menurun tensinya. Pendeteksi logam yang sempat dipasang oleh Israel di kawasan Masjid al-Aqsa telah dilepas. Namun, yang masih menjadi pergulatan baru adalah Israel memberlakukan pelarangan laki-laki berusia di bawah 50 tahun untuk masuk di Al-Aqsa. Gelombang protes berupa demonstrasi kembali bermunculan. Otoritas Palestina masih menganggap Israel menaruh ketidakpercayaan kepada warga Palestina.
Apakah krisis Al-Aqsa akan benar-benar berakhir? Tak ada yang mampu menjawabnya. Ada banyak pihak baik internal maupun eksternal yang memiliki kepentingan di balik kerusuhan Al-Aqsa. Ada yang menganggap pembunuhan yang dilakukan tiga warga Arab kepada dua polisi Israel menjadi biang kerok munculnya kerusuhan Al-Aqsa. Namun, jika lebih jeli melihat kericuhan tersebut, ada faktor lainnya. Salah satunya pembahasan RUU Pencegahan Pembagian Jerusalem.
Pembahasan RUU tersebut telah dilakukan oleh Parlemen Israel pada 16 Juli lalu. Ada beberapa tahap yang harus dilalui RUU sebelum menjadi UU. Untuk sementara ini, hasilnya adalah parlemen Israel secara tegas menyetujui pencegahan pembagian Jerusalem. Tampaknya Israel berusaha memainkan ritme politik agar Palestina tidak mampu menjangkau kedaulatan yang diinginkan: menjadi negara merdeka sepenuhnya.
Pernyataan sikap setuju tersebut boleh dikatakan sangat terlihat. Mayoritas hampir seluruh anggota parlemen menyetujuinya. Namun, ada tahap pemungutan suara yang harus dilalui. Sejatinya ini kesempatan yang cukup lebar dengan berharap ada suara-suara yang mampu mengimbangi suara mayoritas parlemen Israel. Agaknya, Palestina harus lebih fokus pada pertarungan atas penegakan kedaulatannya.
Parlemen Israel jelas menyetujui RUU tersebut karena berkeinginan Jerusalem menjadi ibu kota mereka. Jika sampai itu, maka Israel melanggar perjanjian bahwa seharusnya Jerusalem adalah kota internasional. Kota yang boleh dimiliki dan dimasuki kedua negara. Israel berupaya mencegah bagaimanapun caranya Palestina tak memiliki hak kedaulatan.
Melihat jejak rekam sebelumnya, parlemen Israel (Knesset) memang berupaya “menjauhkan” Palestina. Di tahun sebelumnya ada persetujuan bagaimana orang-orang imigran Israel boleh bebas mendirikan pemukiman di tanah-tanah yang seharusnya dilarang. Kemudian di awal tahun 2017, pelarangan adzan karena berpotensi mengganggu ketentraman masyarakat Israel.
Knesset sengaja melakukan hal tersebut. Mereka lebih berusaha memikirkan bagaimana warga Palestina enyah dari situ. Padahal jika mengacu KTT
OKI) ataupun pertemuan tingkat menteri OKI, sangat jelas bahwa sebaiknya Palestina merdeka dengan diberi hak kedaulatan masing-masing tiap negara. Israel memiliki kedaulatannya sendiri, begitu pula dengan Palestina. Setidaknya itu telah terangkum pada KTT OKI yang diselenggarkan di Jakarta setahun silam.Peran Indonesia
Pada Selasa (1 Agustus) pertemuan luar biasa setara tingkat menteri OKI telah dilaksanakan di Istanbul, Turki. Inisiasi tersebut berasal dari sejumlah negara yang tergabung dalam OKI, termasuk Indonesia. Melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Indonesia sangat serius mengecam segala tingkah laku Israel. Indonesia berharap Palestina benar-benar merdeka, apalagi melihat perbudakan Israel kepada Palestina selama 50 tahun.
Indonesia bisa mengajak Turki, Iran, Arab Saudi, Yordania, dan negara-negara teluk untuk berunding dan bekerjasama bagaimana caranya membuat Palestina benar-benar merdeka. Sebenarnya mengutuk Israel melalui OKI adalah lagu lama. Sejak awal berdirinya OKI hingga diadakan pertemuan konferensi tingkat tinggi setara menteri, isu Palestina selalu disisipkan. Namun, kenyataannya hingga saat ini Palestina belum bisa menjadi negara yang memiliki hak kedaulatan tersendiri.
Indonesia bisa dikatakan negara dengan mayoritas Muslim terbesar yang memiliki kedekatan khusus dengan Palestina. Setiap kali Palestina diguncang bencana ataupun krisis, Indonesia adalah negara yang selalu berusaha memberikan reaksi keras. Namun, saat ini tidak hanya LSM atau ormas yang melakukan reaksi cukup keras. Kementerian Agama hingga level wakil presiden pun memberikan reaksi serupa. Ini artinya Indonesia berharap melalui OKI akan benar-benar terwujud kemerdekaan Palestina.
Namun, sekali lagi, yang patut diingat kepada negara-negara OKI bahwa Israel adalah “anak kandung” Amerika Serikat. Israel akan dilindungi oleh Amerika Serikat entah bagaimana dan apa pun caranya supaya tetap berada di wilayah tersebut. Mengacu pada janji Trump saat mencalonkan presiden, kekhawatiran paling genting adalah rencananya memindahkan Ibu Kota Israel dari Tel Aviv ke Jerusalem. Setidaknya hingga saat ini jika RUU Pencegahan Pembagian Jerusalem berhasil disetujui, bukan tidak mungkin rencana Israel semakin mulus.
Hal itu berarti langkah mulus baik bagi Trump untuk mengimplementasikan janji maupun bagi Israel untuk menghapuskan Palestina dari peta dunia. Satu-satunya cara adalah melalui tekanan dari dunia internasional. Jika tekanan pun belum bisa berhasil, maka peran dialog akan lebih dikedepankan.
Indonesia adalah salah satu negara yang selalu mengedepankan jalan dialog untuk menyelesaikan permasalahan daripada menempuh jalur militer. Kasus Rohingya di Myanmar, pertikaian di wilayah Filipina Selatan hingga eskalasi konflik Arab Saudi dan Qatar adalah beberapa peran Indonesia yang terlibat dan tanggap cepat untuk menyelesaikan konflik.
Indonesia pula yang meyakinkan negara-negara OKI untuk segera mengadakan pertemuan tingkat menteri agar solusi guna menyelesaikan masalah Al-Aqsa segera diambil. Tapi apakah krisis Al-Aqsa akan benar-benar berakhir pasca pertemuan di Istanbul itu? Mungkinkah Indonesia bisa menjadi kunci untuk itu?
Baca juga:
Tragedi Al-Aqsa: Di Antara Palestina dan Israel
Palestina di Tengah Keabsurdan Dunia Islam [Hari Al-Quds Internasional]