Di tengah upaya mengakhiri konflik panjang dan sangat destruktif di Suriah, Turki memaksakan operasi militer besar-besaran di Efrin, perbatasan Turki-Suriah. Wilayah ini berpenduduk mayoritas Kurdi dan masuk dalam wilayah Suriah, kendati sangat dekat dengan perbatasan Turki.
Operasi itu tak hanya melibatkan pasukan udara, tapi juga puluhan ribu pasukan darat dan milisi Tentara Pembebasan Suriah (FSA). FSA merupakan pasukan oposisi yang berupaya menjatuhkan rezim Basyar al-Asad. Pasukan tersebut selama ini dikenal loyal kepada pemerintah Turki.
Operasi ini nampaknya merupakan respons keras Turki terhadap langkah Amerika Serikat yang akan membangun “kekuatan militer baru” di utara Suriah. Sebagian besar anggota pasukan ini direncanakan berasal dari para pejuang Kurdi, terutama veretan perang melawan militan ISIS. Sebagaimana diketahui, para pejuang Kurdi merupakan pasukan darat yang berperan sangat penting dalam keberhasilan perang melawan ISIS, di Irak maupun Suriah.
Turki sangat mengkhawatirkan perkembangan itu. Peningkatan secara drastis kemampuan militer Kurdi di Irak maupun Suriah selalu bermata dua. Di satu sisi, penguatan pasukan Kurdi sangat penting untuk menghadapi kekuatan organisasi teroris yang masih cukup kuat di sebagian wilayah Suriah. Tapi di lain sisi, penguatan pasukan Kurdi berpotensi menjadi sumber petaka bagi negara Turki atau negara lain di kawasan. Sebab, tak bisa dipungkiri, aspirasi para pejuang Kurdi di mana pun adalah untuk merdeka. Turki memandang aspirasi ini sangat berbahaya bagi keamanan nasionalnya jika dibarengi dengan penguatan drastis kemampuan militer mereka.
Apalagi kekuatan-kekuatan politik dan militer Kurdistan di Suriah sudah disusupi oleh unsur-unsur kekuatan PKK, terutama pasca perang enam tahun terakhir. PKK adalah organisasi politik dan militer Kurdistan Turki yang berperan sebagai oposisi dan melawan negara Turki dengan cara mengangkat senjata. Pemerintah Turki menyebut kelompok itu sebagai kelompok separatis dan teroris. Sebab, anggota kelompok itu diduga kuat terlibat dalam sejumlah aksi teror di Turki.
Turki tentu telah belajar dari kasus Kurdistan Irak. Kurdistan Irak berhasil memanfaatkan situasi kacau akibat perang melawan ISIS untuk memperbesar pasukannya. Pasca kekalahan ISIS di Mosul, Peshmerga, milisi Kurdi Irak telah menjelma sebagai pasukan tempur terlatih dan memiliki kemampuan persenjataan yang tangguh. Dan itu menjadi modal bagi mereka untuk berani melakukan langkah politik, yaitu referendum menuju kemerdekaan, kendati mereka belum memproklamasikan kemerdekaan itu hingga sekarang.
Kurdi Suriah rupanya juga ingin meniru jalan sejarah Kurdi di Irak. Mereka mendompleng strategi baru AS. Tujuan jangka panjangnya tentu terbentuknya kesatuan tentara Kurdi yang benar-benar tangguh dan terlatih di Suriah, yang kemudian akan menjadi modal berharga bagi upaya kemerdekaan.
AS tentu memberikan pelatihan militer dan logistik persenjataan memadai bagi pasukan “bentukannya” itu. Sejumlah pengamat di beberapa media di Timur Tengah bahkan menyebut bahwa AS telah membekali pasukan Kurdistan Suriah dengan kemampuan pertahanan udara yang kemungkinan mebuat pertempuran di Efrin semakin lama.
Taktik Pecah dan Kuasai
Pemerintahan AS di bawah Trump rupanya mengambil strategi baru di Suriah. Sinyalemen itu mulai jelas dari pernyataan Menteri Luar Negeri Rex W. Tillerson yang menyatakan bahwa AS akan tetap bertahan di Suriah. Negara itu tidak “jadi” melepas Suriah. Negara itu bahkan akan membentuk pasukan keamanan perbatasan yang terutama beranggotakan pasukan Kurdi.
Sebagaimana dinyatakan pemerintah AS, tujuan dari keberadaan pasukan itu adalah menghancurkan sisa-sisa kelompok teroris dan mencegah kebangkitannya kembali. Kedua, mencegah rezim Basyar Assad bertahan dalam pemerintahan Suriah pasca perang. Ketiga, menjaga keamanan perbatasan.
Tentu kita tak bisa langsung percaya dengan tujuan yang dinyatakan pemerintahan AS ini. Sebab, faktanya “negara” ISIS di Suriah dan Irak sudah tumbang dan tinggal anasir-anasir dan sel-selnya. Yang jelas, AS dengan strategi baru itu berupaya tidak mau kehilangan muka dan pengaruh di Timur Tengah. Ia tak mau kehilangan wibawa di hadapan para sekutunya. AS tak mau mengakui kekalahan dalam perang tujuh tahun yang sudah menghancurkan Suriah. Trump dan sekutunya bersikeras mempertahankan keberadaannya di Suriah, kendati ini berpotensi semakin meluluhlantahkan Suriah dan kasawan sekitarnya.
Maka, kartu tersisa yang bisa dimainkan oleh AS saat ini adalah Kurdistan. Pasukan-pasukan oposisi lainnya terbukti kurang bisa diandalkan. Heroisme pasukan Kurdistan selama tujuh tahun kekacauan di Suriah memang menonjol dibandingkan dengan milisi-milisi lain, bahkan jika dibandingkan dengan pasukan reguler Irak sekalipun.
AS tentu tahu bahwa Kurdistan Suriah juga memendam hasrat yang membuncah untuk bisa memiliki negara merdeka. Ambisi AS dan hasrat Kurdistan Suriah ini kemudian menemui titik temu yang lalu direspons dengan sangat keras oleh Turki di atas.
AS di bawah Trump sepertinya tak terlalu peduli dengan kemungkinan kembalinya kekacauan luas di Suriah. Mereka tak begitu peduli dengan akibat-akibat perang yang sudah tak masuk akal lagi. Trump sangat egois dengan strategi barunya yang berpotensi memecah belah kekuatan etnis-etnis besar di Arab Timur itu. Yang terpenting bagi Trump dan sekutu Arabnya tentu adalah capaian militer dan politik pasca perang nanti.
Turki pun juga demikian. Mereka tak mau tahu dengan akibat-akibat perang yang mungkin akan meluas. Bagi Erdogan, sumber ancaman apa pun bagi keamanan nasional Turki harus ditumpas sejak dini bahkan sebelum lahir, meski pasukan mereka harus masuk ke negara lain. Karena itulah, mereka kembali melakukan intervensi militer besar-besaran ke wilayah utara Suriah agar bayi yang kelak bisa membahayakannya itu tidak lahir.
Kolom terkait:
Bara Menyala di Baghdad dan Kurdistan
Menakar Ongkos Pembekuan Hasil Referendum Kurdistan
Turki, Minyak, dan Referendum Kurdistan