Sabtu, April 20, 2024

Geert Wilders, Politik di Belanda, dan Sebagian dari Kita

Taufiq Hanafi
Taufiq Hanafi
Mahasiswa di Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV), Leiden Universiteit, ​Belanda.

Geert Wilders [Sumber: Youtube]
Kurang dari dua hari lagi rakyat Belanda akan menyelenggarakan pesta demokrasi empat tahunan. Karena pesta, maka tentunya kemeriahan adalah bumbu utama. Banyak orang sengaja melibatkan diri dalam percakapan mengenai Pemilu 15 Maret ini di kafe, taman, dan pasar mingguan. Para relawan kampanye pun tidak ketinggalan turut ambil peran. Mereka membagi-bagikan selebaran di pintu-pintu keluar stasiun kereta api sambil menebar harapan, lengkap dengan senyuman.

 

Namun, di balik kemeriahan itu, ada yang rupanya akhir-akhir ini diliputi dengan kegundahan. Dia adalah Mark Rutte, Perdana Menteri Belanda yang pada November tahun lalu sowan ke Istana Negara, Jakarta, menemui Presiden Joko Widodo dan menghadiahinya keris antik.

Kegundahan Rutte paling jelas mengemuka saat dirinya diwawancara di Amsterdam pada Kamis pekan lalu. Dia meramalkan bahwa kekacauan akan menimpa Belanda bila Geert Wilders, saingan politiknya dari Partai untuk Kebebasan (Partij voor de Vrijheid, PVV), memenangkan pemilu ini. Ia menyerupakan kekacauan ini dengan kekacauan yang terjadi di Inggris selepas Brexit dan Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Donald Trump. Dan bila sampai terjadi, maka Prancis dan negara-negara Eropa lainnya akan mengikuti.

Oleh sebagian orang, ramalannya tersebut dianggap tuduhan politis tak berdasar. Mereka menduga bahwa itu dilakukan Rutte karena kini dia dan partainya mulai kehilangan kepercayaan dan tidak lagi didengar suaranya. Oleh banyak lembaga polling, partai yang dipimpin Mark Rutte, Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi  (Volkspartij voor Vrijheid en Democratie, VVD), diperkirakan akan merugi pada pemilu kali ini.

Pada 5 Maret lalu, Peil, salah satu lembaga polling terkemuka di Belanda, menyebut bahwa VVD akan kehilangan setidaknya setengah dari jumlah kursi yang sekarang dimilikinya. Sementara, Wilders dengan jurus populisme xenofobiknya justru mampu menuai simpati dari rakyat dan diperkirakan oleh lembaga polling yang sama akan memperoleh hampir dua kali lipat jumlah kursi yang akan diperolehnya di tahun 2017. Dari semula 15 di pemilu 2012 menjadi 25. Bahkan, menurut survei lain yang dikeluarkan oleh TNS NIPO pada 1 Februari 2017, PVV akan memperoleh 35 kursi dari total 150 dan menjadikannya partai terbesar di Belanda.

Lalu mengapa kemenangan PVV ini meresahkan bagi sebagian?

PVV didirikan pada tahun 2006, dua tahun setelah Wilders pecah kongsi dari VVD​ akibat perbedaan​ pendapat perihal keanggotaan Turki di Uni Eropa. Semula Wilders hanya punya satu kursi di majelis rendah Belanda setelah dia menolak menyerahkan keanggotaannya kepada VVD. Karenanya, selama beberapa tahun dia dikenal sebagai Partai Satu Orang, Grup Wilders. Namun, jumlah kursinya bertambah menjadi 9 kursi di 2006.

Kecenderungan untuk terus menuai lebih banyak suara ini semakin jelas di tahun-tahun berikutnya, apalagi setelah Wilders semakin mantap berdagang komoditas politik seperti fasisme Barat, sauvinisme, antipati kepada para pendatang, kebencian terhadap Islam, dan kecurigaan kepada Uni Eropa yang dianggapnya telah memakan banyak uang rakyat Belanda. Kepercayaan rakyat Belanda terhadapnya tumbuh semakin subur.

Serupa Trump di belahan bumi sebelah barat, Wilders mengusung slogan “Maak Nederland weer van ons” (Belanda untuk kita lagi) dan merumuskan verkiezingsprogramma (program kampanye pemilu) 2017-2021 yang dibuka dengan kalimat tebal “Miljoenen nederlanders hebben schoon genoeg van de islamisering van ons land” (Jutaan orang Belanda sudah muak dengan Islamisasi bangsa kami). Kalimat pembuka tersebut kemudian ditebalkan kembali pada butir pertama program kampanya PVV, yakni de-islamisasi Belanda (Nederland de-islamiseren).

Dari sebelas butir yang dimaktubkan dalam program tersebut, butir pertama adalah janji politik yang dijelaskan paling panjang lebar dan menjadi agenda utama. Butir pertama tersebut ditemani dengan delapan sub-butir mulai dari tidak dipekerkenankannya warga Belanda asal Syria untuk kembali ke Belanda; penutupan perbatasan bagi pendatang (khusus dari negeri-negeri Muslim); pelarangan penggunaan penutup kepala; pelarangan penggunaan atribut keislaman; pemenjaraan langsung bagi orang yang disangka Muslim radikal; penutupan masjid; penutupan sekolah-sekolah Islam; dan pelarangan al-Qur’an. Saking menyeluruhnya penjelasan pada butir pertama ini, kesepuluh butir lainnya tampak seperti dibuat asal-asalan.

Wilders juga tidak segan-segan menyerang kaum imigran di berbagai kesempatan secara langsung. Ia meyakini bahwa selama bertahun-tahun tinggal di Belanda, para imigran, khususnya yang berasal dari Maroko, hadir hanya untuk menyebar teror, kekerasan, dan perusakan budaya. Berbagai bentuk vandalisme yang terjadi di berbagai kota ditimpakan kepada para imigran tersebut. Bahkan, dalam satu kampanye dia secara terang-terangan merujuk kepada para imigran tersebut sebagai “sampah” yang mesti segera dibersihkan.

Dalam kesempatan lain di Den Haag, dia mengajukan tiga pertanyaan kepada para pendukungnya terkait dengan situasi sosial politik Belanda saat ini. Dari ketiga pertanyaan tersebut yang paling mencolok adalah pertanyaan terakhir yang berbunyi, “Willen jullie in deze stad en in Nederland meer of minder Marokkanen?” (Apakah Anda menginginkan lebih banyak atau lebih sedikit orang Maroko di kota ini dan di Belanda?). Jawabannya bisa ditebak dengan mudah.

Yang tidak mudah adalah mengetahui bahwa di Belanda, yang merupakan negara paling liberal di Eropa, kebencian terhadap kelompok, ras, dan agama tertentu kini telah terlembaga dan mewujud menjadi sebuah kewajaran.

Sampai pada titik ini saja Wilders sudah cukup meresahkan. Dia melibas apa yang disepakati bersama sebagai nilai-nilai Belanda, yakni kemerdekaan, empati, dan toleransi.

Banyak pihak mengecam, namun Wilders tetap santai melenggang. Bahkan, proses peradilan dirinya atas tuduhan ujaran kebencian, alih-alih membuat jera, justru malah semakin menebalkan pesonanya. Dan Mark Rutte sepertinya tidak bisa berbuat banyak. Dia justru secara tidak langsung bersepakat dengan pendapat Wilders mengenai para sampah yang disebut di atas. Rutte memperingatkan agar para imigran “doe normaal” (berlaku wajar) bila ingin tetap tinggal di Belanda.

Sementara ini imigran Maroko saja yang disasarnya. Namun, melihat kecenderungan politis Wilders dan tindak tanduk sebagian kelompok imigran lain, bisa saja pendatang dari Turki dan Indonesia dijadikan sasaran berikutnya karena dianggap tidak mampu berintegrasi dan menghormati budaya Negeri Kincir Angin.

Awal Februari lalu, misalnya, di hari Jumat di depan sebuah kincir angin di kota Den Haag, lima belas pendatang dari Indonesia berulah dengan secara terbuka menyatakan dukungan terhadap gerakan fasisme religius di tanah air dan menyiarkannya secara kontinyu di banyak media sosial. Lebih jauh lagi, mereka mengeluarkan rilis yang diterbitkan di salah satu koran nasional yang kemudian dibaca dan dibagikan di banyak media sosial oleh ratusan pengguna.

Mereka abai dari kewajiban untuk menjaga sesama sekaligus lupa bahwa selain mengundang bahaya bagi diri mereka sendiri, aksi tersebut bisa juga menggiring orang Indonesia lain di Belanda kepada posisi sulit. Mereka juga tampak tidak acuh dengan kenyataan bahwa sebagian besar orang Indonesia yang tinggal di Belanda memiliki pandangan politik yang berbeda terhadap apa yang sedang terjadi di tanah air. Dengan demikian, kekhawatiran Mark Rutte dan peringatan dia menjadi sangat relevan. Mungkin sudah sepatutnya para imigran “berlaku wajar” dan menjunjung tinggi langit di bumi tempat kaki dipijakkan.

Dan pada akhirnya, Wilders yang anti-Islam di Belanda sama saja dengan tokoh bising di tanah air yang didukung 15 orang yang disinggung di atas. Mereka berbagi kesamaan dalam semangat membeda-bedakan, kreativitas berpikir yang rendah, dan daya kritis yang buruk, serta ketakutan pada hantu asing.

Yang menjadikannya berbeda hanyalah belahan bumi dan sasarannya saja. Wilders mempermasalahkan nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an, sementara di Indonesia logo pada lembaran rupiah kertas. Keduanya sama-sama meresahkan.

Taufiq Hanafi
Taufiq Hanafi
Mahasiswa di Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV), Leiden Universiteit, ​Belanda.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.