Manuver Pangeran Muhammad bin Salman belum berakhir. Setelah sepekan yang lalu ia merumuskan janji bahwa akan menciptakan Arab Saudi ke arah “Islam Moderat” dan menginginkan dukungan dari negara-negara lain untuk menghadirkan Arab Saudi yang lebih terbuka, Sabtu (04/11/2017) Pangeran Salman mengeluarkan keputusan mengejutkan.
Melalui lembaga antikorupsi yang telah diperbaharui yaitu Nazaha, dia menahan 11 pangeran, 4 menteri, dan puluhan mantan menteri lainnya terkait dengan kasus korupsi. Keputusan menahan beberapa pejabat terkemuka mengundang pertanyaan dari berbagai kalangan pengamat politik internasional. Apakah Pangeran Salman benar-benar ingin melakukan reformasi atau sekadar ingin mempertegas kekuasaannya?
Pertanyaan tersebut layak diajukan jika melihat sepak terjang Pangeran Salman selama 3 tahun terakhir. Sejak Raja Salman berkuasa di Arab Saudi, ia berusaha memperluas kekuasaannya dengan menempatkan putra-putri terbaiknya dalam pemerintahan. Salah satunya adalah Muhammad bin Salman. Ia ditempatkan sebagai Menteri Pertahanan sejak tahun 2015. Namun kemudian pada pertengahan Juni tahun 2017, Muhammad bin Salman diangkat Raja Salman menjadi Putra Mahkota.
Ini artinya Pangeran Salman memiliki kekuasaan cukup luas. Dari permasalahan isu politik, sosial hingga ekonomi. Dan ia berencana mereformasi tak hanya dari sektor sosial dan ekonomi, melainkan juga sektor politik dan hukum.
Terpilihnya Pangeran Salman sebagai ketua komisi antikorupsi, maka ia memiliki kehendak untuk melakukan pencekalan, bergerak investigasi hingga membekukan aset. Nazaha, lembaga antikorupsi yang dipimpinnya, bukanlah lembaga baru. Lembaga tersebut merupakan ide dari Raja Abdullah sejak tahun 2011. Dalam perjalanannya, lembaga ini mengalami pasang surut, terutama pada Februari 2015. Ketika itu masyarakat menilai bahwa lembaga tersebut tidak becus dalam melakukan pencekalan kepada pejabat yang melakukan korupsi.
Hal itu dapat terungkap pada Global Competitiveness Report 2015-2016 bahwa birokrasi pemerintahan Arab Saudi merupakan satu dari empat masalah tertinggi yang menjadi penghambat dalam melakukan bisnis. Selain itu, akses keuangan juga dianggap sebagai faktor lambatnya bisnis di Arab Saudi. Maka, sejatinya hal tersebut bukanlah sesuatu yang mengejutkan apabila kemudian Pangeran Salman memecat sejumlah pejabat terkait korupsi.
Namun, yang menjadi kejutan adalah pergantian Menteri Garda Nasional dari Pangeran Miteb bin Abdullah ke Pangeran Khaled bin Ayyaf. Jika pergantian dilakukan karena adanya kegagalan struktural, mungkin tidak akan menjadi masalah. Namun, sepertinya pergantian tersebut lebih kepada mengamankan kekuasaan Pangeran Salman. Sudah menjadi rahasia publik bahwa diperkirakan Pangeran Salman akan menggantikan Raja Salman pada akhir tahun ini.
Jika benar demikian, maka Pangeran Salman lebih leluasa mengatur dan mengendalikan militer baik dari laut, udara maupun darat. Hal ini bisa terjadi demikian karena secara administratif ada garis vertikal antara Menteri Garda Nasional dengan Sang Raja.
Pangeran Salman diharapkan oleh masyarakat Arab Saudi untuk menegakkan hukum dan memutuskan hukuman yang tepat bagi para pejabat yang tersangkut kasus korupsi. Boleh dibilang, langkah Pangeran Salman menangkap pejabat tinggi termasuk hal berani. Di negara dengan paham ultra-konservatisme tersebut, mengungkap kekayaan para pejabat mungkin termasuk tabu. Namun, hal yang dinanti apakah dengan tertangkapnya beberapa pejabat akan mampu mengembalikan dan meningkatkan perekonomian Arab Saudi?
Kasus korupsi yang menjangkit beberapa pejabat Arab Saudi bisa diartikan bahwa memang ada yang salah dengan sistem perekonomian yang ada di Arab Saudi. Tak semata harga minyak yang turun karena krisis global, namun tata kelola birokrasi yang buruk juga menjadi salah satu penyebab kenapa perekonomian Arab Saudi turun dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Tingkah laku para pejabat yang sering mengumbar kekayaan patut diberikan perhatian yang pantas. Nazaha di bawah Pangeran Salman wajib memberantas segala bentuk korupsi yang ada di lingkungan kerajaan. Tak peduli itu berasal dari kalangan kerabat Raja Salman atau Raja Abdullah.
Selain itu, upaya Pangeran Salman untuk melakukan reformasi sosial seperti membolehkan perempuan menyetir bahkan bekerja layak diacungi jempol. Ini bisa membuktikan ke dunia internasional bahwa Arab Saudi layak dipandang sebagai negara besar yang bisa mengarah sebagai negara Islam Moderat.
Namun, sekali lagi, tantangan terbesar dari Pangeran Salman adalah ulama ultra-konservatif yang pengaruhnya masih menancap di lingkungan kerajaan. Apakah ini akan menjadi hambatan dari tiap langkah Pangeran Salman, utamanya dalam mengubah wajah ultra-konservatif menjadi moderat? Dan apakah ini juga akan menjadi rintangan dalam menuju visi Arab Saudi 2030?
Ketamakan dan keangkuhan dari para ulama bisa saja menjadi ganjalan terbesar Pangeran Salman. Namun, untuk urusan pemberantasan korupsi, apa pun harus ditegakkan dan dilakukan seadil-adilnya. Pengusutan secara tuntas terhadap para pejabat demi Arab Saudi yang lebih bersih harus terus diupayakan. Jika bukan begitu, perekonomian Arab Saudi akan disalip dari negara-negara tetangga, utamanya Iran.
Kekuasaan memang menjadi momok menggiurkan bagi sebagian penguasa dan sekaligus momok menakutkan bagi masyarakat. Mengeruk harta kekayaan masyarakat demi memuaskan hawa nafsu, ambisi, serta gengsi. Jika sudah demikian, tak peduli simbol agama yang sedang diembannya. Jika dihadapkan dengan uang, agama bisa menjadi urusan belakang. Itulah yang harus dilawan oleh Pangeran Salman dalam memberantas korupsi secara masif, sistematis, dan terstruktur di Arab Saudi.
Kolom terkait:
Pangeran Salman dan Kontraksi Kelahiran Arab Saudi Baru
Arab Saudi, Modernisasi dan Wacana Islam Moderat