Jumat, April 19, 2024

Gebrakan Erdoğan Melawan Kelompok Ekstremis

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.

Ada kejadian menarik pada Sabtu pekan lalu (6/4) di Provinsi Adana, Turki. Pihak otoritas setempat (Çukurova Zabita/Kepolisian Kota Çukurova) menutup sebuah asrama yang dihuni oleh pelajar perempuan bercadar dari Jamaah Furkan (Furkan Vakfi). Asrama tersebut bernama Furkan Eğitim ve Hizmet Vakfı (Lembaga Pelayanan dan Pendidikan Furkan), yang sekaligus menjadi kantor pusat mereka di Turki.

Meski sempat masif di media sosial dan jejaringan online dari simpatisan mereka, kejadian tersebut tetap tidak mendapatkan porsi pemberitaan dari media arus utama Turki. Nyaris semua media besar, khususnya yang berafiliasi dan dikuasai oleh negara, bungkam dan tidak menurunkan berita tentang situasi demo mereka di halaman asrama yang sudah disegel tersebut.

Sementara media-media yang memberitakannya, khususnya dari media yandaş (media partisan milik pemerintah) seperti Anadolu Ajansı, Star, Milliyet, Akşam, Sabah, dll., justru semakin memperjelek citra jemaah yang didirikan oleh Alparslan Kuytul tersebut. Karenanya, masyarakat Turki menunjukkan antipati dan membiarkan kejadian tersebut berlalu begitu saja.

Sebagai bentuk protes, mereka tinggal di jalan-jalan di sekitar asrama menunggu pemerintah membuka kembali tempat tinggalnya. Mereka memanfaatkan live update lewat media sosial sebagai sikap outspoken kepada masyarakat internal Turki dan dunia internasional.

Media-media internal mereka seperti http://www.furkanhaber.net dan media sosial @furkanvakfi dimanfaatkan secara aktif untuk menyebarkan informasi kepada publik. Tagar seperti #AdanaValiliğindenSkandal (Skandal dari Pemerintah Adana), #ÖğrenciEvlerineMühür (Penutupan terhadap Asrama Pelajar), hingga tagar #KuruSıkıMedya (Senjata Jahat Media), yang secara khusus melawan pemberitaan yang menuduh jemaahnya berafiliasi dengan Al-Qaeda dan ISIS.

Sementara itu, media arus utama seperti Anadolu Ajansı membeberkan gerakan tersembunyi di balik Jamaah Furkan. Dalam investigasi yang dikeluarkan oleh Diroktorat Satuan Pasukan Antiteor Provinsi (İl Emniyet Müdürlüğü Terörle Mücadele Şube Müdürlüğü), Jamaah Furkan dituduh sebagai kelompok yang bergerak di luar hukum dan melakukan kegiatan yang melawan stabilitas publik. Mereka diaggap sebagai  kelompok kriminal (suç örgütü).

Furkan Vakfi

Furkan Vakfi tergolong jamaah baru di Turki, berdiri sekitar tahun 1994. Pendirinya, Alparslan Kuytul, adalah alumni teologi di Universitas Al-Azhar, Mesir (1993-1997). Sebelum kuliah di Mesir, Kuytul telah menyelesaikan pendidikan jenjang S1 di Çukurova Üniversitesi, Adana, pada jurusan arsitektur dan lulus tahun 1991. Selama rentang kuliah di Al-Azhar, Kuytul mendirikan jamaah yang bergerak di ranah pengajaran dan pendidikan agama bernama Jamaah Furkan di kota kelahirannya sendiri.

Dalam aspek pengajaran agama, jamaah ini tergolong ketat di Turki, misalnya dengan mewajibkan anggota perempuan yang tinggal di asrama untuk memakai cadar (niqab). Secara umum, masyarakat Turki tidak akrab dengan perempuan bercadar. Kita akan sangat jarang bisa melihat kelompok-kelompok masyarakat yang bercadar dan beraktivitas di tengah-tengah masyarakat umum.

Meskipun ada kelompok-kelompok jamaah Islam lain yang menganjurkan anggotanya untuk bercadar, kehadiran mereka tetap mendapatkan perhatian khusus karena publik Turki secara umum masih belum akrab dengan cara berpakaian seperti itu. Bahkan anggota keluarga dari para elite pemerintahan seperti istri Presiden Erdoğan dan Ahmet Davutoglu tetap berpenampilan standar pakaian muslimah khas Turki.

Karena masih tergolong kecil dan anggotanya terbatas, sepak terjang jamaah ini tidak terlalu fenomenal. Berbeda, misalnya, dengan Jamaah Gulen (Hizmet) yang sudah bercokol di Turki sejak tahun 1960-an. Namun, seiring dengan dibukanya keran demokrasi di Turki, berbagai kelompok keagamaan di Turki semakin bebas bergerak termasuk jamaah Alparslan Kuytul sendiri.

Akhirnya sebuah tragedi penting terjadi dalam sejarah perjalanan kelompok mereka di Turki, yaitu ketika akhir Januari 2018 Satuan Polisi Antiteror Provinsi Adana melakukan operasi di asrama Furkan Vakfi dan menangkap Alparslan Kuytul bersama sekitar 21 muridnya dengan tuduhan sebagai kelompok yang berafiliasi dengan organisasi teroris seperti ISIS dan Al-Qaeda.

Meski belum bisa dibuktikan secara hukum ihwal keterlibatan mereka dengan organisasi terorisme, pemerintah Turki sejak 2017 berkomitmen melakukan operasi senyap terhadap “kelompok-kelompok ekstremis” yang ditengarai berpotensi membahayakan pemerintahan dan negara Turki.

Alparslan Kuytul, pendiri Furkan Vakfi, saat diciduk polisi.

Sebelum penangkapan terhadap Jamaah Furkan, misalnya, ada kelompok yang dituduh berafiliasi dengan Al-Qaeda di bawah pimpinan Halis Bayancuk alias Hanzala Hoca. Kelompok ini sudah ditangani oleh pihak berwajib sejak November 2017 dan hukuman untuk Bayancuk tinggal menunggu ketok palu hakim.

Selain itu, pemerintah Turki juga tetap meradar kelompok-kelompok ektremis seperti Hezbullah dan jamaah lainnya yang dalam pertimbangan mereka mengancam stabilitas kekuasaan dan negara.

Sikap pemerintah Turki terhadap Jamaah Furkan menyisakan beberapa pertanyaan saya yang nanti akan terjawab seiring waktu. Pertama, dalam banyak kesempatan Erdoğan secara tegas untuk menghabisi semua kelompok teroris di internal Turki, baik mereka yang berafiliasi dengan Islam maupun kelompok lain.

Bukti atas komitmen tersebut adalah penangkapan dan pelarangan terhadap kelompok seperti Halis Bayancuk dan terakhir Jamaah Furkan sendiri. Artinya, lambat laun Erdoğan akan terus menumpas kelompok apa pun (termasuk dari kalangan Islamis sendiri) yang dinilai mengancam stabilitas kekuasaannya.

Kedua, sikap oposisi. Karena pelarangan dan penangkapan besar-besaran terhadap Jamaah Furkan terjadi untuk pertama kalinya, saya ingin memastikan bahwa kita harus menunggu perkembangan selanjutnya. Mengapa? Karena tuduhan berafiliasi dengan ISIS dan Al-Qaeda kepada mereka belum bisa dibuktikan sebelum investigasi selesai dan pengadilan memutuskannya.

Namun begitu, ada satu hal penting yang saya tangkap di balik gerakan Jamaah Furkan: mereka kerap kali berseberangan dengan Erdoğan. Sikap oposisi seperti itu, seperti juga terjadi kepada opisisi dari kelompok ideologi lain, harus superhati-hati jika tidak ingin dibubarkan dan dipenjarakan karena mereka bisa dianggap sebagai agen propaganda yang melawan pemerintah dan negara.

Selain komentar-komentarnya yang secara terbuka melawan Erdoğan, ada dua sikap oposisi yang ditunjukkan pendiri Jamaah Furkan terhadap keputusan yang diambil oleh pemerintahan Erdoğan. Pertama, penolakan Kuytul terhadap Referendum 16 April 2017 dengan menyatakan suara “tidak” (hayır).

Kedua, penentangan Kuytul terhadap keputusan pemerintah dan majelis yang mengirimkan pasukan militer ke Afrin, Suriah. Dua sikap oposisi tersebut sudah sangat cukup untuk mendefinisikan kelompoknya yang jelas-jelas melawan pemerintah Erdoğan. Bahkan media Turki menyebutkan bahwa Jamaah Furkan adalah satu-satunya jamaah yang ingin melawan pemerintahan Erdoğan secara terbuka.

Sementara itu, banyak kasak-kusuk yang muncul dari nitizen di balik operasi terhadap Jamaah Furkan berupa satir dan parodi. Yang terkenal, misalnya, “Seandainya pemerintahan dari CHP (kelompok sekuler) mengeluarkan satu pelajar bercadar saja, semua masyarakat Turki akan berdiri melawannya,” “Andai kelompok kiri yang melakukannya, sudah pasti akan dinilai sebagai melawan Islam”, dan semacamnya.

Kritik satir seperti ini tumpah ruah di antara pihak-pihak oposisi untuk mengejek-ejek pemerintahan Turki yang kali ini dipimpin oleh kelompok Islamis.

Sebagai penutup tulisan ini, saya tergeletik untuk menanyakan bagaimana fangirls dan fanboys Erdogan di Indonesia melihat kenyataan seperti ini? Di mana letak kampanye pro-Islamis gaya Erdogan yang sangat diagung-agungkan oleh segelintir kelompok di Indonesia?

Atau bagaimana jika pemerintah Indonesia melakukan hal yang sama terhadap kelompok “Islam ekstremis”, dengan menutup basis/pesantren sebagai pusat gerakan mereka? Akankah berjilid-jilid demo akan digelar lagi?

Akhirnya saya bersepakat dengan penulis Ali Karahasanoğlu (Yeniakit.com, 2 Februari 2018) yang meminta kita untuk jernih memisahkan di mana kepentingan politik dengan memakai agama, dan di mana pula kita mesti menempatkan posisi agama. “Erbakan siyasetçi idi.. Din adamı değildi..Tayyip Erdoğan da ha keza..Bir siyasetçi… Necmatin Erbakan (guru politik Islam Turki) adalah seorang politisi… bukan alim ulama. Tayyip Erdoğan juga begitu, seorang politisi,” tulis Karahasanoğlu.

Sampai di sini, saya berharap kalian semakin jelas mengerti di mana politik dan di mana pula agama!

Kolom terkait:

Setelah Militer Turki Menaklukkan Afrin

Turki 103 Tahun Silam: dari Çanakkale ke Afrin

Memerangi Terorisme, Belajar dari Turki

Erdogan dan Operasi Militer Turki di Suriah

Bom Istanbul: Turki di Tengah Pusaran ISIS

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.