Jumat, April 19, 2024

Erdogan, Rohingya, dan Politik Turki di Uzak Dogu

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
Emile Erdogan, istri Presiden Turki Erdogan, mengunjungi pengungsi Muslim Rohingya di Bangladesh (7/9).

Mencermati secara seksama siapa pemimpin negara Muslim yang paling lantang bersuara tentang Rohingya, maka nama Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan akan mengisi daftar pertama. Sejak medio Agustus, Erdogan dan pemerintah Turki secara tegas bersuara mengajak publik internasional untuk menghentikan tindak kekerasan terhadap etnik Rohingnya.

Melalui Menteri Luar Negeri Mevlut Cavusoglu, Turki sangat aktif melakukan negosiasi dan pembicaraan dengan berbagai tokoh seperti Kofi Annan dan secara tegas mengatakan siap menanggung semua biaya terkait pengungsi Rohingga di negara-negara tetangga mereka, seperti Bangladesh, Malaysia dan Indonesia. Langkah terbuka yang dipelopori Turki melalui Erdogan tersebut tentu semakin membuat decak kagum semua simpatisannya, khususnya mereka yang ada di Indonesia.

Secara historis, Turki mempunyai alasan kuat untuk ikut mengambil peran dalam krisis Rohingya. Sejarah mencatat bahwa sejak pertengahan abad ke-19, minoritas umat Muslim di Burma (Myanmar) telah memulai relasi erat dengan kesultanan Ottoman, terjadi surat menyurat sejak tahun 1870. Komunitas umat Muslim di China, India, dan Myanmar serentak membantu Kesultanan Ottoman dalam perang Ottoman-Yunani 1897 di bawah kepemimpinan Sultan Abdul Hamid II.

Yang dicatat secara fenomenal keterhubungan umat Muslim di Myanmar dengan Ottoman adalah ketika kesultanan Islam terakhir itu hendak membangun sebuah proyek penting berupa rel kereta dari Istanbul ke Mekkah. Bersama komunitas umat Muslim di Nusantara—termasuk Indonesia dan Malaysia—umat Islam di Myanmar juga mengambil bagian dengan mendukung dan menyumbang untuk proyek tersebut (Erhan Afyoncu, Sabah 10/09/2017).

Akar sejarah di atas—meski tidak terlalu dominan bagi Ottoman—menjadi kesadaran bersama di bawah kepemimpinan Erdogan yang ingin membawa Turki menjadi Neo-Ottoman, yang besar, kuat, dan menyatukan semangat Islam di semua penjuru. Untuk mewujudkan grand design mereka dengan jargon Yeni Turkiye (Turki Baru), pemerintahan Turki secara terbuka sudah melakukan langkah-langkah strategis, khususnya dengan negara-negara yang pernah menjadi bagian kekuasaan langsung Ottoman.

Negara-negara Balkan, Asia Tengah, dan sebagian negara Afrika telah terkelola dengan baik sebagai kekuatan baru bagi Turkey-ally. Langkah Turki dalam mengeratkan hubungan terhadap negara-negara di atas sudah dilakukan secara rapi sejak pemerintahan Erdogan memegang tampuk kekuasaan.

Yang menarik kemudian adalah langkah Turki di negara-negara dengan komunitas Muslim seperti di Asia Tenggara. Dalam lima tahun terakhir Turki mulai aktif hadir dan menjalin kerja sama dengan negara-negara yang oleh mereka disebut Uzak Dogu (Timur Jauh), yaitu negara-negara ASEAN, khususnya Malaysia, sebagai negara yang memang sangat dekat dengan Turki.

Selain itu, untuk menunjukan komitmen mereka terhadap negara-negara Timur Jauh, Turki pun dengan sangat lantang mengambil peran khusus dalam krisis Rohingya. 

Perhatian serius pemerintah Turki terhadap krisis Rohingya sebenarnya sudah berjalan sejak tiga tahun terakhir. Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan pernah menelepon langsung Perdana Menteri Najib Razak pada Mei 2015 dan meminta Malaysia untuk menerima ledakan pengungsi Rohingnya yang tengah menyelamatkan diri dari pembantaian militer Myanmar.

Sejak saat itu berita-berita tentang Rohingya muncul di headline media-media Turki. Nama Indonesia dan Malaysia, sebagai negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, pun ikut menjadi highlight.

Di tengah situasi krusial seperti itu, saya mendengar langsung pertanyaan-pertanyaan masyarakat Turki ihwal lambannya respons Indonesia dan Malaysia terhadap krisis Rohingya, sebagai komunitas umat Muslim yang bersaudara. Ketika krisis Rohingya meledak dahsyat tahun 2015, tidak hanya Turki yang melihat kelambanan sikap negara-negara seperti Indonesia, Malaysia dan Thailand, media-media internasional yang secara masif meliput tragedi tersebut seperti The Guardian, BBC dan Aljazeera juga telah membuka mata masyarakat dunia ihwal negara-negara perbatasan yang seolah tidak mempunyai peran apa-apa terhadap kasus genosida di Myanmar.

Dalam pentas politik global, Indonesia tidak akan menjadi besar jika hanya mengurus internal negara sendiri. Keaktifan secara politik dan kerja sosial-kebudayaan harus ditunjukkan sebagai justifikasi kekuatan kita sebagai negara besar. Stabilitas perbatasan dan regional adalah kunci terhadap stabilitas dalam negeri sendiri. Indonesia sebagai negara besar harus mempunyai kemauan besar terhadap isu-isu krusial yang terjadi di negara-negara tetangga dekat.

Kini masyarakat internasional semakin menaruh simpati terhadap Turki yang menunjukkan sikap politiknya yang taktis. Dalam konteks krisis Rohingya, kehadiran Turki secara elegan untuk menunjukkan political will harus dilihat bukan melulu karena persaudaraan kaum Muslimin, tetapi pembelajaran politik strategis dalam meneropong situasi-situasi internasional. Kemajuan pesat dalam aspek ekonomi dan militer dalam satu dekade terakhir telah mendorong mereka terus menunjukkan keperkasaannya di pentas internasional.

Kehadiran Turki dalam krisis kemanusiaan di Uzak Doğu ini memberikan pelajaran penting bagi Indonesia tentang bagaimana menghadapi krisis dan sekaligus mengambil momentum. Politik Turki sangat ciamik memainkan momentum, seperti yang mereka tunjukkan di kawasan Timur Tengah. Kebijakan politik luar negeri yang aktif-strategis mereka tidak boleh tidak telah mendapatkan simpati dan pengakuan internasional.

Turki sudah terlatih menghadapi krisis di perbatasan seperti di Irak dan Suriah sebagai contoh kasus terbaru. Jauh sebelum itu Republik Turki sudah terbiasa menghadapi tantangan serius di Siprus, Yunani, Armenia, Azerbaijan, dan negara-negara Balkan lainnya.

Di bawah pemerintahan AKP (The Justice and Development Party), kebijakan luar negeri Turki yang aktif dan strategis sangat diperhitungkan oleh publik internasional. Pemerintahan yang berideologi neo-Ottoman ini ingin menunjukkan dan mengembalikan pesan keperkasaan Turki sebagai negara bekas imperator berabad-abad. Dalam krisis Rohingga, komitmen politik Turki juga disampaikan secara terbuka dan sekaligus mengucurkan bantuan dana jutaan US$ dolar kepada UN Migration Agency (IOM) dan UNHCR sejak 2015.

Sebagai negara yang dikenal mempunyai hubungan dekat dengan Turki, Malaysia dan Indonesia pun tidak boleh tidak harus mengapresiasi kamauan dan komitmen Turki terhadap krisis Rohingya.

Kolom terkait:

Rohingya dan Komoditas Politik Domestik

Politisasi Agama: Dari Rohingya, Palestina, sampai ISIS

Persekusi dan Nestapa Muslim Rohingya di Myanmar

Jokowi, Rohingya, dan Diplomasi Kita

Bernando J. Sujibto
Bernando J. Sujibto
Meraih Pascasarjana Sosiologi di Universitas Selcuk, Turki. Meneliti peacebuilding, kekerasan, sastra dan kebudayaan Turki.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.