Hari ini, 15 Juli, genap satu tahun percobaan kudeta militer di Turki. Kemenangan berada di pihak supremasi sipil, kekuatan baru dalam diskurus demokrasi Turki satu dekade terakhir. Sekomplotan militer yang menggawangi aksi di malam jahanam itu harus gigit jari. Kudeta militer tahun 1960, 1971, dan 1980 tak diizinkan berulang kembali malam itu.
Rakyat Turki bersatu untuk menolaknya dan luka yang sama tak ingin mereka kecap untuk kesekian kalinya. Mereka yang tumpah ruah ke jalanan dari semua faksi massa dan menentang segala bentuk pengkhianatan kepada negara adalah bukti kekuatan sipil yang mengagumkan.
Namun, suara-suara minor di balik tragedi malam jahanam itu tak bisa dihapus begitu saja. Sebagian rakyat Turki mempunyai persepsi tersendiri terhadap percobaan kudeta tersebut.
Sekuler vs Islamis
Menyeruaknya kembali isu kelompok Islamis vs sekuler adalah suara laten yang mungkin sudah tidak populer di Turki dalam lima tahun terakhir. Malam itu mereka bertarung di ranah simbol sebagai identitas perjuangan kelompok-kelompok ideologis di Turki.
Di mata kelompok sekuler, malam itu adalah puncak atraksi di mana Islam politik telah menguasai Turki, ditandai dengan seruan Presiden Recep Tayyip Erdogan agar rakyat turun ke jalan dan banyak dari mereka meneriakkan Allahu akbar. Kaum sekuler melihat fakta tersebut sebagai produk keberhasilan politisasi Islam. Mereka gerah ketika mendengar teriakan Allahu akbar menggema bertalu-talu, ditambah pemutaran sela (tarhim dan azan) di beberapa masjid di Anatolia malam itu.
Kontestasi simbol-simbol agama menjadi perhatian penting kelompok sekuler. Mereka tetap keukeuh memisahkan simbol agama di ruang publik negara. Meski sekularisme Turki sudah tidak lagi asertif (bertolak dari tesis yang dibangun Ahmet T. Kuru dalam buku Secularism and State Policies toward Religion: The United States, France, and Turkey, 2009), masih ada sisa-sisa kelompok yang menjaga moral dan falsafah Kemal Ataturk hadir dengan spirit demikian.
Tetapi secara umum, fenomena sekularisme di Turki dalam satu dekade terakhir sudah bergeser ke arah passive and soft secularism. Pergeseran makna dan praktik sekularime tersebut, meminjam istilah sosiolog Serif Mardin (2007), lahir karena faktor mahalle baskısı atau “tekanan komunitas”, sebuah teori untuk menggambarkan merebaknya arus dan gaya hidup Islami yang dialami masyarakat (sekuler) Turki. Ada gelombang Islam populis yang terus membesar dan membentuk oposisi kultural untuk menghapus memori sekuler.
Di ranah media massa, ada surat kabar berhaluan sangat sekuler dan kiri, Sozcu—media yang sangat anti-Erdogan dan pemerintahannya—justru searah dengan pemerintahan Erdogan dalam mengekspos jaringan Fethullah Gulen sebagai otak di balik kudeta. Berita-berita yang diturunkan setelah kudeta pun semakin hebat menghantam jemaah Gulen.
Saya memperhatikan fakta ini secara mendetail sebagai justifikasi kuatnya pertarungan Islamis vs sekuler. Karena Sozcu lahir salah satunya untuk menghantam jemaah-jemaah Islam secara umum di Turki. Tragedi kudeta adalah momentum bagi mereka bukan untuk mendukung pemerintah, tetapi untuk menguliti jemaah Islam yang ketepatan tertuduh sebagai otak di balik kudeta.
Parallel State
Percobaan kudeta tersebut juga dibaca sebagai puncak “operasi elite” kekuasaan, yang dalam konteks pemerintahan Turki ada faksi militer yang bercokol. “Operasi elit” adalah kata kunci yang kebanyakan disuarakan oleh intelektual publik seperti Ugur Dundar, Can Dundar, Taha Akyol, Yilmaz Ozdel dan Ahmet Hakan.
Mereka kritis dan sangat hati-hati membaca segala kejadian di tingkat elite, yang dalam banyak analisisnya selalu melihat bahwa kudeta tersebut diorkestrasi oleh Erdogan sendiri.
Tetapi, yang menarik, mereka melihat kudeta tersebut adalah bukti mengerasnya pertarungan di ranah elite militer itu sendiri. Dengan begitu, mereka tersadar kembali tentang tubuh militer yang penuh dengan tumor. Tumor di sini bisa dipahami dengan istilah lain mewabahnya parallel state itu sendiri. Suara-suara tersebut bermuara kepada kekhawatiran akan ancaman atas demokrasi yang ditimbulkan oleh institusi negara di tingkat elite.
Sebenarnya, secara umum rakyat Turki mengerti bahwa di dalam negara mereka ada yang namanya derin devlet (deep state) atau parallel state. Fenomena state within the state sudah menancap kuat dan mewarnai sejarah politik Turki sejak menjelang Ottoman runtuh. Gerombolan ini bergerak secara misterius dan invisible.
Mereka tidak mempunyai struktur konkret tetapi jaringannya berjumbai masuk ke dalam struktur negara. Dalam istilah Mike Lofgren (2016), ia diibaratkan perkumpulan hibrida dalam elemen-elemen pemerintahan (a hybrid association of elements of government) dan sekaligus bermain di level elite bisnis. Bahkan Hasan Taskin (2015) melihat derin devlet sebagai jaringan yang kutsal (sakral) bagi Turki karena di dalamnya bercokol gembong dan mafia.
Sementara itu, mantan Presiden Turki Süleyman Demirel (2005) meyakini derin devlet sebagai kelompok yang didominasi oleh jaringan militer dan bekerja mengontrol haluan negara dengan keyakinan bahwa Turki selalu berada dalam ancaman.
Derin devlet tidak harus melakukan kudeta militer tetapi memakai cara-cara militeristik, menciptakan chaos dan teror yang mengocok emosi publik. Jaringan ini di Turki makin mencekam ketika memasuki era Perang Dingin. Dalam sejarahnya, agen-agen intelijen seperti CIA dan Mossad bermain penuh. Di Turki, derin devlet yang mengemuka ada Kontrgerilla, komplotan Kenan Evren, Ergenekon, Balyoz, Spionase Militer hingga sekarang Gulenist.
Menyadari betapa dalamnya deep state di tubuh pemerintahannya, Erdogan memakai kekuatan puncak (state of emergency) untuk melumpuhkan semua jaringan Gulen. Hingga satu tahun ini, penyapihan besar-besaran terjadi di tubuh pemerintahan: di tubuh militer berjumlah 4801, 2745 hakim dan jaksa, 7,000 doktor, dan puluhan ribu guru dan PNS harus tertendang. Data ini akan terus bertambah karena pembersihan belum juga selesai.
Akhir Oposisi?
Penolakan kelompok oposisi terhadap kudeta harus dipahami sebagai upaya menyelamatkan Turki dari kekacauan dan perang sipil. Mereka tidak ingin sendi-sendi demokrasi yang dibangun secara tertatih-tatih hancur dalam semalam. Demikian pula suara massif yang memang menjadi kehendak rakyat Turki sehingga massa dari partai oposisi seperti Partai Pergerakan Nasionalis (MHP), Partai Rakyak Republik (CHP), dan (Partai Rakyat Demokratik (HDP) pun ikut bersama kehendak rakyat turun ke jalan.
Malam itu tidak penting ada afiliasi ketat kepada satu ideologi, selain mereka bergerak untuk menyelamatkan negara dan demokrasi, di bawah satu bendera negara Turki.
Namun, ada suara kritis yang terus mereka dengungkan agar penangkapan besar-besaran tersebut diproses ke pengadilan secara proporsional. Karena di waktu yang sama, mereka sebenarnya sadar bahwa aktor-aktor penting dari kelompok mereka akan mendapatkan giliran ditumpas pada akhirnya.
Kekhawatiran tersebut pun terbukti setelah waktu berjalan dalam satu tahun ini. Puluhan akademisi, wartawan, investigator idependen, analis dan penulis yang kritis terhadap pemerintah satu per satu ditangkap dengan tuduhan propaganda. Penyapihan hingga ke kelompok-kelompok oposisi, yang tak punya sangkut paut dengan gerakan Gulen, pun tidak bisa dihindarkan.
Univesitas yang terkenal sangat Kemalis (jauh dari tradisi Islamis kelompok Gulen dan kelompok Islam lainnya) seperti Bogazici University dan Middle East Technical University pun berada dalam ancaman penjinakan.
Untuk itu, pihak oposisi politik seperti simpatisan CHP dan HDP benar-benar mengawasi proses hukum, meski akhirnya mereka tidak berkutik. Sebagai puncak protes yang ingin diteriakkan adalah tuntunan keadilan, seperti long march “Jalan Keadilan” dari Ankara ke Istanbul yang dipimpin langsung oleh Ketua Partai Rakyak Republik, Kemal Kilicdaroglu (09/07).
Akhirnya, suara-suara sumbang dari oposisi yang paling masif adalah pengakuan kemunculan tokoh tunggal Presiden Erdogan sebagai pahlawan pun sulit ditolak. Ia menjadi the only man yang mampu menenangkan hati rakyat Turki yang malam itu berada dalam situasi mencekam dan penuh horor. Karena nyaris semua orang terkesima dengan sosok Erdogan dan Turki terselamatkan karena kehadirannya.
Untuk itu, sosok Erdogan pun semakin kuat untuk menyetir Turki ke depan. Tak heran pada referundum 16 April lalu, rakyat memilih evet (yes) untuk melanjutkan kepemimpinan Erdogan yang telah menancapkan kekuasaan penuh ke tengah-tengah rakyat Turki.