Derai air mata membasahi pipi keluarga Tamimi saat mengetahui anaknya, Mohammed Tamimi, disekap dan ditawan oleh tentara Israel. Ia tak sendiri. Bersama sepuluh orang temannya, ia ditangkap karena dianggap tidak mematuhi perintah tentara Israel agar tidak keluar rumah di pemukiman Palestina, kawasan Nebi Saleh. Namun, apa daya melihat kekejaman yang dilakukan pemerintah Israel terhadap tetangga-tetangganya, ia tak kuasa untuk melawan.
Teriakan, makian, dan cacian dikeluarkan oleh ia dan teman-temannya saat mencoba melawan gerakan tangan para tentara Israel. Tapi, mereka terdesak. Mereka, yang rata-rata masih di bawah usia 20 tahun, tak bisa melawan lebih kejam seperti apa yang dilakukan tentara Israel. Mereka digelandang ke barak tawanan. Seperti anjing yang harus tunduk pada majikannya.
Mohammed Tamimi adalah seorang anak Palestina yang berusia belum genap 17 tahun. Namanya populer sejak medio pertengahan Desember 2017. Saat itu, ia baru saja keluar dari rumah sakit pasca penembakan yang dilakukan tentara Israel ke arah kepalanya. Bahkan, operasi pun harus dilakukan dua kali untuk mengangkat peluru yang bersarang di kepalanya. Ia juga sempat mengalami koma selama empat hari.
Atas peristiwa yang menimpanya, untuk sementara Mohammed tidak dapat pergi menimba ilmu ke sekolah demi pemulihan kesehatannya. Peristiwa tersebut diangkat berbagai media Timur Tengah, salah satunya Middle East Eye, yang menyoroti kebiadaban tentara Israel. Israel dianggap tak memiliki rasa kemanusiaan dengan menumpas habis lawannya tak pandang segala usia.
Uniknya, meskipun berbagai media Timur Tengah telah menarasikan kekejaman tentara Israel, mereka menyanggah kebenaran tersebut. Melalui salah satu pejabat di pemerintahan Israel, Yoav Mordechai menerangkan bahwa sebenarnya Mohammed mengalami kecelakaan tunggal. Kecelakaan yang dimaksud adalah Mohammed gagap dalam mengendarai sepeda hingga akhirnya terjungkal dan jatuh ke lubang yang agak dalam.
Sungguh, pernyataan tersebut dianggap klarifikasi yang menyesatkan. Bagaimana mungkin mereka bisa mengelak ketika ternyata ada peluru yang bersarang di kepalanya? Apakah peluru tersebut ditanamkan ke dalam lubang, kemudian ketika Mohammed jatuh, peluru tersebut tak sengaja tertancap di kepalanya? Atau apakah tentara Israel sengaja menutup-nutupi perbuatannya demi tak disidang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa?
Rasa-rasanya tak mungkin jika kasus “sepele” seperti itu bisa naik ke meja perundingan PBB. Toh, dulu tahun 2017 pernah ada laporan yang menyangkut kekejaman tentara Israel. Tapi, laporan tersebut ditolak karena tidak sesuai dengan data yang akurat di lapangan. Hingga saat ini, dunia mungkin masih belum “tahu” laporan seperti apa yang pantas diterima oleh PBB jika menyangkut peristiwa Israel dan Palestina.
Mohammed tak sendirian. Masih banyak peristiwa serupa yang menimpa masyarakat di sana terutama dari kalangan remaja dan anak-anak. Kita tentu masih ingat peristiwa enam tahun yang lalu, seorang wanita Malala Yousafzai yang mengalami peristiwa sama persis, yaitu kepalanya ditembak.
Sama seperti Mohammed, peristiwa penembakan tersebut terjadi ketika Malala belum genap berusia 17 tahun. Bedanya, pelaku penembakan Malala adalah tentara Taliban. Sedangkan peristiwa Mohammed dilakukan oleh tentara Israel.
Keberanian Malala atas perlawanannya terhadap tentara Taliban membuahkan nobel perdamaian pada tahun 2014. Ia dianggap pantas mendapatkannya karena gigih menyuarakan penindasan terhadap anak-anak.
Yang patut diperhatikan adalah sampai kapan pertempuran di Timur Tengah, khususnya perseteruan Israel dengan Palestina, akan berakhir? Tak ada yang mampu menjawabnya secara lantang dan lugas. Barangkali, selama senjata masih diproduksi, selama itu pula perang tak akan usai.
Mereka, para orang dewasa yang sedang bertempur, mungkin tak menyadari ada hak-hak anak yang dirampas akibat perang tak berkesudahan. Para orang dewasa mungkin juga tak meresapi bahwa anak-anak seharusnya dibiarkan bermain dengan hati yang gembira. Bukan diperlihatkan bermain senjata dengan raut muka yang bengis dan tatapan mata dengan penuh amarah.
Apalagi jika anak-anak dilibatkan ke dalam perang. Tentu akan memantik reaksi keras dari dunia internasional, khususnya pemerhati anak-anak. Sayangnya, tak banyak yang bisa dilakukan Mohammed dan teman-temannya seperti di belahan bumi lain. Mereka “terpaksa” terjun ke medan perang demi mempertahankan tanah, harkat, dan martabat keluarganya, meski mungkin mereka tahu ada pengorbanan mahal yang harus dikeluarkan.
Seperti Tamimi, demi melawan tentara Israel, ia harus merelakan kehilangan 1/8 bagian kepalanya karena peluru yang menembus di daerah tersebut. Belum lagi mata sebelah kirinya yang cedera karena efek yang ditimbulkan dari penembakan tersebut.
Perang merenggut kebebasan hingga kegembiraan. Perang menghadirkan ketakutan hingga kesedihan. Tapi, yang jelas, perang juga menghabiskan banyak biaya. Tidak hanya jutaan namun hingga triliunan dolar.
Mereka yang berperang mungkin harus meruwat akal sehat dan merawat pikiran yang jernih. Hingga pada akhirnya mereka sadar bahwa perang hanya menghabiskan tangisan dan kemanusiaan, bukan menghibahkan kegembiraan.
Kolom terkait:
Palestina Merana, Amerika Tertawa
Yerusalem Sayang, Yerusalem Malang
Palestina di Tengah Keabsurdan Dunia Islam [Hari Al-Quds Internasional]