Meski Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memberikan sanksi ekonomi kepada Korea Utara beberapa pekan lalu, Korea Utara tak banyak berbenah. Seharusnya jika sebuah negara diberi sanksi, negara tersebut akan instropeksi dan mencoba tunduk pada sanksi tersebut. Namun, kenyataannya sungguh berbeda. Korea Utara tak mengindahkan sanksi tersebut dan memilih untuk meluncurkan sebuah rudal balistik pada Selasa (29/8/2017).
Rudal tersebut ditembakkan dari Ibu Kota Korea Utara, Pyongyang, melewati Jepang, Hokkaido sebelah utara pada pukul 06.00. Kemudian rudal tersebut terbelah menjadi tiga bagian dan jatuh di laut timur Hokkaido. Dalam sejarah, rudal tersebut adalah rudal pertama yang berhasil melewati wilayah Jepang sejak tahun 1998.
Rudal yang diluncurkan Korea Utara sebenarnya bukan rudal baru. Rudal dengan nama Hwasong 12 sudah pernah diluncurkan saat peringatan “Day of the Sun”, yaitu peringatan tentang hari kelahiran pendiri Korea Utara, Kim Il Sung. Bahkan rudal yang diklaim mampu mencapai jarak 4.500 kilometer itu sudah mengalami uji coba hingga 5 kali. Dalam rentang enam tahun terakhir saja, sedikitnya terdapat 80 rudal telah diluncurkan. Seakan Kim Jong Un ingin menunjukkan bahwa peluncuran rudal adalah buah eskalasi semenanjung Korea yang tidak ada ujungnya.
Ancaman Serius Korea Utara
Korea Utara seakan tidak henti-hentinya mengembangkan dan meluncurkan rudal. Rudal terbaru dan belum diluncurkan adalah rudal jenis jenis KN-14 dan KN-08 yang jarak tempuhnya diklaim mencapai 10.000 km. Bahkan yang lebih mengerikan lagi nantinya di dalam rudal tersebut akan mampu memuat hulu ledak nuklir. Bisa kita bayangkan dampak peluncuran nuklir tersebut.
Tak hanya Guam wilayah Amerika Serikat, mungkin bisa jadi Afrika bahkan Indonesia menjadi target serius bagi Korea Utara. Tidak heran setelah peluncuran tersebut, Indonesia melalu Menteri Luar Negeri Retno Marsudi turut mengecam peluncuran nuklir yang jatuh di Hokkaido, Jepang.
Penciptaan rudal balistik antar benua dimaksudkan oleh Korea Utara sebagai tujuan terakhir dalam penunjukan kekuatan. Apalagi di era ini, secara fisik jalan terakhir untuk melakukan serangan berat melalui peluncuran nuklir. Dan sepertinya Korea Utara paham akan hal tersebut. Jadi, jangan kaget jika Korea Utara pun rela membangun Intercontinental Ballistic Missile (ICBM) dengan menghabiskan banyak uang dan waktu demi mengembangkan senjata nuklir.
Korea Utara pun berani mengambil langkah untuk terus mengembangkan senjata nuklir karena melihat bahwa konflik antar Korea yang dikenal “Korean War” pada tahun 1953 tidak berakhir dengan perjanjian damai. Yang ada pada saat itu hanyalah gencatan senjata. Jadi, wajar saja Korea Utara khawatir karena bisa saja sewaktu-waktu musuhnya (Korea Selatan dengan dibantu AS) akan mencoba menyerang mereka.
Dan tampaknya Korut semakin bersiap-siap setelah melihat adanya laporan dari Dewan Keamanan dan Sekretaris Jenderal Antonio Guterres dari Dubes Korea Utara Ja Song-Nam bahwa ada surat tertanggal 25 Agustus 2017 yang berisi adanya latihan gabungan antara Amerika Serikat dengan Korea Selatan. Korea Utara pun menganggap yang dilakukan oleh kedua negara tersebut adalah ancaman serius ke Semenanjung Korea dalam hal perdamaian dan keamanan internasional.
Bahkan beberapa pejabat berwenangnya telah berulangkali mengingatkan kepada Amerika Serikat bahwa tindakan yang dilakukan adalah tindakan ilegal. Memancing reaksi untuk menimbulkan rasa berang hingga mengobarkan keinginan untuk perang.
Tantangan bagi Korea Utara
Langkah selanjutnya yang harus ditunjukkan oleh Korea Utara adalah menunjukkan bahwa pengembangan senjata nuklir hanya untuk perdamaian dan keamanan internasional. Masalahnya, baik dari DK PBB maupun para pemimpin negara-negara besar telanjur mengecam aksi yang dilakukan Korea Utara. Presiden AS Donald Trump pun menyatakan kegemasannya melihat langkah Korea Utara yang tergesa-gesa mengambil sikap. Padahal, sebelumnya, Trump mengapresiasi Kim Jong Un yang bersiap melangsungkan dialog dan berani menunda serangan nuklir ke Guam.
Namun, kenyataannya berbeda. Rudal tetap diluncurkan. Tapi bukankah setiap pemimpin tahu akan adanya risiko dari tiap langkahya. Saya meyakini Kim Jong Un tak mungkin melakukan tindakan bodoh itu jika rival tak melakukan provokasi terlebih dahulu.
Ini masalah dan taktik klasik dari Amerika Serikat. Mereka selalu memancing dan memprovokasi lawan untuk segera melancarkan serangan. Beberapa konflik di Timur Tengah seperti Iran, Suriah, dan Yaman adalah beberapa bukti provokasi Amerika Serikat. Jika sudah terprovokasi, mau tak mau, lawan akan mencoba melakukan serangan. Bisa berwujud sporadis ataupun bisa hanya sesekali saja. Jika lawan sudah terprovokasi, maka ada alasan bagi Amerika Serikat melalui hak veto di DK PBB untuk melancarkan serangan.
Jika DK PBB sudah menyetujui, Amerika Serikat akan mengajak sahabat seperti Korea Selatan atau Jepang untuk menyatakan setuju melakukan serangan ke Korea Utara. Maka yang terjadi Korea Utara adalah buah provokasi dari apa yang telah dilakukan Amerika Serikat.
Di luar itu, salah satu cara meredakan konflik tersebut adalah kemunculan Tiongkok sebagai pengendali konflik. Menghangatnya hubungan dan meningkatnya kerjasama Tiongkok dan AS dalam beberapa tahun belakangan ini bisa menjadi acuan dalam penyelesaian konflik. Dan ini disertai pula dengan fakta bahwa Tiongkok menjadi satu-satunya negara yang terlibat ekspor impor dengan Korea Utara. Dan jangan lupa, Tiongkok adalah salah satu anggota DK PBB yang mampu memberikan saran, walau tentu saja AS adalah kunci dari DK PBB.
Namun, seberapa jauh Tiongkok akan muncul dalam konflik Semenanjung Korea? Bukankah Tiongkok telah menjatuhkan sanksi ekonomi bagi Korea Utara? Yang patut diingat, Tiongkok adalah negara yang diperkirakan menjadi negara terbesar, baik secara ekonomi maupun politik. Dan tentu saja politik itu dinamis dan tak mengikat. Bisa jadi sekarang Korea Utara sanksi oleh Tiongkok, namun di kemudian hari justru Tiongkok akan membela Korea Utara.