Minggu, Oktober 13, 2024

Dari Buthaina untuk yang Menutup Mata pada Yaman

Husein Ja'far Al Hadar
Husein Ja'far Al Hadar
Vlogger Islam Cinta yang tak lagi jomblo. Direktur Cultural Islamic Academy, Jakarta. Mahasiswa Tafsir Qur’an Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Si yatim piatu Buthaina (kedua atas) saat mencoba membuka matanya untuk melihat orang lain dan beragam postingan dukungan untuk Buthaina yang viral. [sumber: twitter]

Sejak awal persekongkolan negara-negara Teluk di bawah komando Arab Saudi menginvasi Yaman pada 2015, sebagian kita bertanya-tanya: mengapa mereka begitu mudah bersepakat untuk menyerang Yaman, namun begitu sulit melakukan hal serupa untuk Palestina yang jelas-jelas dibantai oleh Israel?

Sebagian kita bertanya: apa lantaran ada relasi kepentingan terselubung antara mereka dan Israel? Atau masih sempatkan terselip ketakutan di tengah pembantaian paling mengerikan di muka bumi ini? Bukankah jika persekongkolan itu terjadi, hanya cukup masing-masing orang di negara-negara Teluk itu membawa seember air untuk menenggelamkan Israel?

Jika benar seperti diungkapkan Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Mustafa Ibrahim Al-Mubarak, pada 2015, bahwa tak ada tendensi politik minyak dalam invasi itu, melainkan lantaran “ada tanggung jawab secara konstutisional yang mengharuskan melindungi rakyat dan menjaga kesatuan wilayah negara, kemerdekaan, dan keselamatan teritorial Yaman,” maka pertanyaan tersebut makin relevan.

Kini, di tengah arus solidaritas yang begitu masif terhadap etnis etnis Rohingya, sebagian kita–yang memang berpandangan bahwa kemanusiaan tak mengenal sekat apa pun: ras, agama, mazhab, dan lain-lain, serta sejak awal serangan atas Yaman telah mengutuknya–bertanya-tanya kembali: mengapa arus semacam itu tak mengalir juga ke Yaman?

Mengapa kita seolah begitu mudah mengutuk kejahatan kemanusiaan yang dilakukan non-Muslim, namun gagap jika ia dilakukan oleh sekelompok Muslim pada kelompok Muslim lainnya? Amnesty International melalui websitenya amnesty.org hingga menurunkan laporan bertajuk: “Yemen: The Forgotten War”. Mengapa bisa lupa atas tragedi kemanusiaan yang–seperti dalam laporan tersebut–menyisakan 18,8 juta orang yang membutuhkan bantuan kemanusiaan, termasuk makanan, air, tempat tinggal, bahan bakar, dan sanitasi, serta 2 juta anak putus sekolah?

Amnesty International telah mengumpulkan bukti dan mendokumentasikan 34 serangan udara koalisi Arab Saudi di enam wilayah berbeda di Yaman: Sana’a, Sa’da, Hajjah, Hodeidah, Ta’iz, dan Lahj telah melanggar International Humanitarian Law yang mengakibatkan 494 kematian warga sipil (termasuk setidaknya 148 anak-anak). Termasuk serangan yang tampaknya sengaja menargetkan warga sipil dan benda sipil seperti rumah sakit, sekolah, pasar, dan masjid, yang merupakan kejahatan perang.

Koalisi itu juga dicatat menggunakan amunisi-amunisi perang terlarang buatan Amerika Serikat dan Inggris yang membahayakan masa depan orang-orang Yaman.

Hingga seorang anak perempuan berusia lima tahun, Buthaina Muhammad Mansour al-Raimi namanya, secara tak sengaja, menghentak kita yang “lupa” itu, melalui salah satu kekuatan yang mungkin bisa efektif di era digital ini: “viral”.

Ia satu-satunya yang selamat dari keluarganya setelah sebuah serangan udara yang menghancurkan sebuah gedung apartemen di ibu kota Yaman pada 25 Agustus lalu. Orangtua dan lima saudaranya tewas bersama enam belas korban lainnya.

Dua pekan lalu, di penghujung minggu pertama bulan ini, di sebuah kamar rumah sakit di Yaman, para simpatisan menyanyikan lagu dan bermain gitar untuk menghibur Buthaina. Dia tersenyum, namun air mata tetap turun dari matanya. Dia kemudian mengambil krayonnya dan menggambar sketsa keluarganya.

Di sela-sela ia dirawat dan dihibur di rumah sakit, seorang wartawan lokal bernama Karem Alzerii mendatanginya dan mencoba berbincang dengannya. Matanya tertutup rapat oleh memar lantaran kejatuhan puing-puing saat serangan terjadi. Ia mengalihkan wajahnya pada wartawan itu, dan memaksa mata kanannya terbuka untuk melihat siapa yang sedang berbicara dengannya itu.

Momen itu dipotret oleh kamera Karem, ia share di media sosialnya, dan sontak viral dengan tajuk seolah isyarat kecil dari anak kecil tentang sesuatu yang besar: lihatlah kami, Yaman! Orang-orang di media sosial memasang foto dengan adegan yang sama sebagai kampanye untuk kita membuka mata dan tak melupakan tragedi kemanusiaan yang menimpa Yaman.

Hingga kini, Buthaina tak betul-betul mengerti apa yang terjadi. Yang ia tahu hanya bahwa ia ingin memeluk ayahnya. Dan pamannya, Ali al-Raimi, mencoba mengambil peran ayah Buthaina saat ini.

“Saya tidak pernah bisa menggantikan ayah Buthaina, tapi dia adalah anak perempuan saya sekarang dan akan selamanya. Kami berharap kerugian kami akan menyebabkan berakhirnya perang tiga tahun yang menghancurkan Yaman dan membunuh ribuan anak yang tidak bersalah,” kata Ali dalam wawancaranya.

Kata bibinya, Samah al-Raimi, saat larut malam, Buthaina kerap terjaga, menangis, dan berteriak. Ia tak tahu itu jeritan tangis dan jerit atas sakit fisik Buthaina atau lantaran mimpi buruk tentang serangan malam yang mematikan itu. “Saya memberikan perhatian padanya dua kali lipat dari perhatian saya pada anak saya sendiri. Namun, sungguh itu tak cukup atas tragedi tak terlupakan yang menimpanya. Selamanya!” kata Samah.

Dalam catatan UNICEF, di setiap kawasan perang, diperkirakan tiap 10 menit seorang anak meninggal. Dan, Yaman adalah wilayah dengan krisis kemanusiaan terbesar di dunia saat ini. Bagaimana kita bisa melupakannya?

Arab Saudi menyebut serangan yang mengorbankan Buthaina itu sebagai kesalahan teknis yang tak disengaja, dengan permintaan maaf di ujungnya. Sebuah pernyataan yang bukan hanya bertentangan dengan fakta dan data yang ada, salah satunya dari Amnesty International seperti telah disebutkan di atas. Tapi juga konyol.

Anda datang tanpa duduk perkara dan visi yang jelas, serta segudang tanya yang tak (bisa) dijawab seperti ditanyakan di awal kolom ini, mengobrak-abrik negara orang yang tentu Anda tak mau itu dilakukan negara lain pada negara Anda, melakukan serangan brutal, memakai senjata ilegal bahkan dalam kacamata “Hukum Perang” sekalipun, terus menewaskan warga sipil, wanita, dan anak-anak sembari tak malu berucap maaf dan maaf, serta berperang di kawasan yang bukan medan perang namun mereka sulap seolah semua wilayahnya adalah medan perang.

Akhirnya, mungkin Buthaina hendak berkata pada Arab Saudi: tak usahlah meminta maaf, hentikan saja semua serangan dan kekacauan ini. Itu saja! #I_Speak_For_Buthaina

Kolom terkait:

Kenapa Rohingya Lebih Menarik dari Yaman?

Politisasi Agama: Dari Rohingya, Palestina, sampai ISIS

Rohingya dan Komoditas Politik Domestik

Husein Ja'far Al Hadar
Husein Ja'far Al Hadar
Vlogger Islam Cinta yang tak lagi jomblo. Direktur Cultural Islamic Academy, Jakarta. Mahasiswa Tafsir Qur’an Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.