Minggu, Oktober 6, 2024

Bara Menyala di Baghdad dan Kurdistan

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Sebuah kendaraan militer pasukan federal Irak memasuki ladang minyak di Kirkuk, Irak, Senin (16/10). ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer

Kendati masih dalam skala terbatas, konflik bersenjata antara pasukan Irak dan pasukan pemerintahan regional Kurdi sungguh mengkhawatirkan. Bentrok kecil itu berpotensi menyulut bara besar di simpul etnis-etnis besar di Timur Tengah: Arab, Kurdi, Turk, dan Persia. Ini medan paling berbahaya jika terjadi perang, sebab dimensi etnis, sektarian, dan hubungan antarnegara akan bercampur menjadi satu.

Tentara Irak yang didukung paramiliter Syiah al-Hasyd al-Syabi telah menguasai tempat-tempat strategis di kota Kirkuk yang diperselisihkan. Bendera Irak kembali berkibar di kota itu dan di beberapa wilayah lain yang pernah direbut Peshmerga dari ISIS itu. Haedar al-Abbadi hanya menyebut operasi itu sebagai penegakan keamanan saja, belum deklarasi “perang”.

Sementara itu, tentara Kurdi sepertinya memang diperintahkan untuk menahan diri dan mundur oleh komando di Arbil ke wilayah sebelum Juni 2014. Itu wilayah otonomi Kurdistan, bukan wilayah yang direbut Kurdi dari ISIS. Sebagian menyebut mundurnya mereka dari Kirkuk dan wilayah-wilayah lain itu akibat “pengkhianatan” dari sejumlah pemimpin partai Persatuan Nasional Kurdistan.

Tentara Peshmerga yang dikenal garang dalam melawan ISIS hampir tak melakukan perlawanan apa pun sehingga masyarakat Kurdi di Kirkuk sangat kecewa dan sempat melempari batu iring-iringan pasukan Kurdi yang mundur. Kendati demikian, beberapa bentrok bersenjata sempat terjadi dalam skala terbatas antara keduanya dan menyebabkan jatuhnya korban di kedua pihak.

Setelah kemenangan telak dalam referendum, pemerintahan Arbil tak letih berupaya membangun jembatan dialog dengan Baghdad, kendati sepertinya tanpa hasil. Di tengah tekanan dan provokasi militer yang besar dari selatan, utara dan timur, pemerintahan Kurdistan masih berupaya keras membangun komunikasi dengan pemerintah federal (pusat) di Baghdad. Kekuatan militer mereka juga bersedia mundur dari wilayah yang diperselisihkan tetapi tetap kukuh tak mau membatalkan hasil referendum apa pun yang terjadi.

Inilah yang membuat Baghdad, Iran, dan Turki berang dan menggelar kekuatan militer “mengepung” Kurdistan. Pembatalan referendum adalah harga mati bagi ketiga negara ini. Bagi Irak, ini tentu masalah keutuhan nasional. Bagi Turki dan Iran, kemerdekaan Kurdistan dipandang sangat membahayakan keamanan nasional. Sebab, negara baru ini berpotensi menjadi basis bagi gerakan kemerdekaan Kurdi di Turki dan Iran. Saat ini saja, pasukan separatis Partai Pekerja Kurdistan (PKK) banyak diwartakan telah berbaris di Kurdistan Irak.

Sebaliknya, bagi Kurdistan, referendum tak mungkin dibatalkan. Mereka mau berkompromi masalah waktu proklamasi kemerdekaan dan banyak hal lain. Tetapi para pemimpin Kurdistan beberapa kali meneguhkan kesepakatan untuk mempertahankan hasil referendum dan menolak pembatalan. Karena itu, mereka saat ini menghadapi tekanan militer sangat hebat dari mana-mana.

Tekanan dari selatan adalah pasukan Irak dan paramiliter Syiah, dari timur pasukan Iran, dan dari utara adalah pasukan Turki. Kedua negara non-Arab (Persia dan Turk) itu siap masuk ke arena ketika genderang perang benar-benar sudah ditabuh.

Nasib Irak

Nasib Irak benar-benar hancur dan masih akan menghadapi kehancuran lebih parah lagi jika kedua pihak tak mampu menahan diri. Perang ISIS belum benar-benar selesai, kini mereka harus menghadapi kenyataan yang sangat mengkhawatirkan: pecahnya perang di simpul etnis-etnis besar Timur Tengah.

Akibat perang ISIS, Irak tengah ke utara bahkan sebagian wilayah barat porak poranda akibat perang yang luas untuk menghancurkan ISIS. Sentimen sektarian yang baru saja membaik akibat adanya musuh bersama kini menguat lagi.

Hikmah dari kehadiran tiga tahun ISIS di Irak adalah bersatunya kekuatan etnis dan sektarian yang bermusuhan antara satu dengan lainnya. Hubungan Syiah-Kurdi membaik, sebab mereka harus bekerja sama di lapangan menghadapi musuh bersama. Demikian pula dengan kelompok Sunni. Kendati awalnya terkesan ragu dengan ISIS, mereka akhirnya juga bergabung dalam perang di barisan pasukan Irak yang sebagian besar Syiah dan Kurdi.

Namun, harapan mencairnya hubungan etnis dan sekte itu seperti lenyap seketika dengan masalah referendum Kurdistan. Kebersamaan mereka dalam perang besar menghadapi kelompok sangat brutal ISIS seperti tak menyisakan apa-apa. Kini, mereka berhadapan sebagai musuh.

Bagi Irak secara keseluruhan, situasi ini sungguh mencemaskan. Belum ada waktu pemulihan sosial maupun keamanan setelah ISIS, apalagi melaksanakan pembangunan fisik, kini mereka harus menghadapi kemungkinan pecahnya perang yang lebih rumit. Sebab, jika perang benar-benar pecah, hampir dipastikan akan melibatkan pasukan Turki dan Iran entah dalam skala besar ataupun kecil. Dua negara ini adalah aktor sangat penting atau bahkan terpenting saat ini di Timur Tengah bahkan di dunia Islam.

Banyak usaha untuk menjelaskan keberanian Kurdistan nekat melaksanakan referendum, kendati ditentang kedua negara itu dan Irak. Salah satu penjelasannya, keberanian itu disebabkan ada dorongan dari musuh-musuh Iran dan Turki untuk melemahkan mereka dari dalam. Israel, Amerika Serikat, beberapa negara Barat, dan Saudi dituding membantu mengipasi Kurdistan Irak bahkan Kurdistan di Iran dan Turki.

Jika perang ini benar-benar terjadi, kemungkinan kekuatan Kurdistan Iran dan Turki akan membesar sebab mereka memperoleh “lahan” untuk mengembangkan kekuatan. Dengan begitu, Iran dan Turki akan menghadapi efek domino dari pergolakan di Irak ini dalam beberapa tahun ke depan. Jika sudah melibatkan dua negara itu dan Saudi, dimensi kawasannya sangat kuat. Ketiganya merupakan aktor terpenting di kawasan saat ini dan terlibat dalam konflik di Suriah, Yaman, dan Qatar.

Kolom terkait:

Selamat Berperang, Kurdistan!

Menakar Skenario Pasca Referendum Kurdistan

Turki, Minyak, dan Referendum Kurdistan

Kemerdekaan Kurdistan yang Tak Diinginkan

Menuju Negara Kurdistan Merdeka

Ibnu Burdah
Ibnu Burdah
Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam, Dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.