Jumat, April 26, 2024

Injil Muslim: Kontroversi Barnabas Revisited

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).

injil-muslim

Minggu ini saya mengajar topik “A Muslim Gospel” (Injil Muslim) dalam mata kuliah “Islam and Christian Theology”. Saya menugaskan mahasiswa untuk membaca The Gospel of Barnabas, sebuah teks yang kemungkinan ditulis oleh Muslim, namun diatribusikan ke salah satu murid Yesus. Diskusi berlangsung menarik ketika kami mencoba mengidentifikasi isi Injil Barnabas tersebut.

Saya ajukan pertanyaan dasar: Bagian mana dari Injil Barnabas yang sesuai dengan al-Qur’an atau Injil resmi, dan bagian mana yang sulit dikategorikan?

Tampak jelas dari identifikasi yang kami lakukan bahwa Injil ini lebih banyak bersuaian dengan al-Qur’an daripada Injil resmi. Misalnya, “Injil” digambarkan sebagai kitab yang diturunkan kepada Isa, bukan ditulis oleh murid-muridnya. Artinya, Injil itu seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa atau al-Qur’an kepada Nabi Muhammad.

Yesus sendiri menolak disebut “anak Tuhan”, apalagi Tuhan, melainkan sebagai Nabi utusan Tuhan. Dia juga menyangkal telah membolehkan makan daging babi dan menolak khitan.

Juga disebutkan secara eksplisit bahwa Yesus tidak disalib. Adalah Judas yang secara ajaib berubah wujud menjadi Yesus. Ini sebenarnya elaborasi dari al-Qur’an, karena Kitab Suci kaum Muslim tidak menyebut nama Judas. Disebutkan dalam beberapa tempat, Yesus memprediksi kedatangan Nabi Muhammad, keturunan Isma’il.

Kesamaan Injil Barnabas dengan al-Qur’an begitu jelas sehingga saya menyebutnya “Injil Muslim”. Alasan lain, sebagaimana akan didiskusikan di bagian akhir, Injil ini kemungkinan memang karya seorang Muslim.

Kontroversi Injil Barnabas

Karena banyak kesamaannya dengan ajaran al-Qur’an tentang Yesus, maka mudah dimengerti kenapa Injil Barnabas ini seringkali digunakan dalam polemik kaum Muslim melawan umat Kristiani.

Barangkali Muslim pertama yang merujuk pada Injil ini ialah seorang ulama India Rahmatullah Kairanawi dalam debat publik dengan pastur asal Jerman Karl Pfander. Debat dua hari yang terjadi di Agra, India, pada 1854 tersebut telah didiskusikan banyak sarjana. Saya juga menyinggungnya singkat dalam buku Polemik Kitab Suci (2013).

Debat Kairanawi-Pfander itu memang berpusat pada soal otentisitas Alkitab dan ketuhanan Yesus. Kairanawi, di luar dugaan Pfander, ternyata cukup mengenal kajian kritik historis terhadap Alkitab yang berkembang di kalangan sarjana Barat abad ke-19 dan dia secara leluasa menggunakannya untuk menunjukkan ketidakotentikan Alkitab. Lebih jauh, Kairanawi menunjuk “Injil otentik”, yakni Injil Barnabas, yang memuat ajaran-ajaran yang sejalan dengan al-Qur’an.

Semangat polemik Kairanawi itu sekarang dilanjutkan oleh Zakir Naik, seorang dokter yang mengaku sebagai ahli perbandingan agama. Sebelum Naik, pendebat Ahmed Deedat dari Afrika Selatan juga belajar dan mewarisi Kairanawi.

Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, juga menyebut adanya Injil Barnabas asli yang menurutnya tersimpan di museum Inggris. Menarik dicatat, dalam bukunya yang ditulis 1899, Mirza Ghulam merujuk pada Injil Barnabas yang menyebutkan Yesus tidak mati disalib. Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa Yesus berhasil melarikan diri ke Asia dan meninggal di Kashmir, sebuah daerah yang menjadi sengketa antara India dan Pakistan hingga sekarang.

Debat Kairanawi-Pfander rupanya juga sampai ke telinga Muhammad Rasyid Rida di Mesir. Murid Syeikh al-Azhar Muhammad Abduh ini terlibat polemik dengan sejumlah missionaris. Karuan saja Rida punya kepentingan untuk menyebarluaskannya. Maka, ia pun berinisiatif menerjemahkannya ke Bahasa Arab dari teks Inggris.

Menariknya, dia meminta Khalil Sa’adah, seorang Kristen Ortodoks, untuk membantu mengalihbahasakan. Tidak jelas kenapa Rida mempercayakan penerjemahannya pada seorang Kristen. Baik Rida maupun Sa’adah menulis kata pengantar untuk edisi Arab yang terbit pada 1908. Sementara Sa’adah menganggap Injil Barnabas sebagai karya palsu, Rida meyakini keotentikannya.

Popularitas Injil Barnabas di kalangan kaum Muslim menanjak setelah diulas oleh Abu Zahrah dalam buku Muhadharah al-Nasraniyah (1942). Sejak itulah Injil tersebut diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk Indonesia. Karya Abu Zahrah itu direspons cukup komprehensif oleh Jacques Jomier, seorang dominikan asal Prancis yang tinggal di Kairo. Buku Jomier yang banyak dibaca orang ialah Bible et Coran (1959).

Asal-Usul Injil Barnabas

Terlepas dari penggunaan Injil Barnabas dalam polemik Muslim-Kristen, ada juga kalangan ulama yang punya naluri kritik historis meragukan otentisitas Injil Barnabas. Misalnya, penulis prolifik Mesir, Abbas Mahmud Aqqad, yang menulis artikel “Injil Barnabas” pada 1959 mempersoalkan penamaan dan atribusi teks yang ditulis sekitar abad ke-16 itu kepada Barnabas.

Di kalangan sarjana Barat, ketertarikan terhadap Injil ini sudah muncul cukup awal. Seperti kita tahu, sudah sejak lama sarjana-sarjana Barat ingin mengetahui “Yesus historis”, bukan Yesus yang diyakini secara teologis. Mereka menelusuri sumber-sumber apa pun dan mana pun yang dapat mengantarkan pada pengetahuan yang lebih baik tentang “Yesus historis”, termasuk dengan mengkaji Injil Barnabas itu.

Di kalangan kaum Muslim, perhatian tentang Injil Barnabas mulai berkembang dari informasi yang diperoleh dari terjemahan al-Qur’an yang diterbitkan oleh sarjana Barat George Sale pada 1734. Dalam kata pengantarnya, Sale menyebut adanya Injil tersebut yang isinya sejalan dengan ajaran al-Qur’an, namun ia meragukan nilai historisnya.

Saat ini sudah banyak dilakukan studi serius tentang historitas teks Barnabas yang hanya bisa dilacak hingga ke akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17. Sayangnya, sebagian kalangan yang meyakini keotentikan Injil ini tak mampu menghadirkan bukti pendukung. Mereka yang menganggap teks Barnabas bisa dilacak ke manuskrip awal Kristen ternyata mencampur-adukkan teks ini dengan Surat Barnabas. Padahal, keduanya sangat berbeda.

Betul, para peneliti masih berbeda pendapat tentang asal-muasal teks asli Injil Barnabas: Apakah ditulis dalam bahasa Italia, Spanyol atau Arab? Dua manuskrip yang ada sekarang ditulis dalam Bahasa Italia dan Spanyol. Kesimpulan Lonsdale Ragg yang melakukan studi komparasi keduanya, bahwa teks Spanyol kemungkinan terjemahan dari Italia. Ragg pula yang menerjemahkan Injil ini ke dalam Bahasa Inggris, yang kemudian diterbitkan edisi Arabnya oleh Rasyid Rida.

Dalam manuskrip Italia kita temukan anotasi Arab di bagian pinggir halaman. Bisa jadi, anotasi Arab tersebut tidak menyingkap misteri asal-usul Injil Barnabas. Tapi, setidaknya, hal itu mengindikasikan pembaca Arab tidak mengenal teks lain yang lebih awal dari manuskrip Italia.

Para peneliti masih berspekulasi siapa sebenarnya yang menulis Injil Barnabas ini. Mereka mengusulkan sejumlah nama Muslim yang berbeda-benda. Namun, siapa pun penulisnya, pastilah ia sangat mengenal isi kandungan al-Qur’an tentang Yesus, sehingga Injil Barnabas ini begitu menekankan aspek kemanusiaan Yesus, bukan sebagai anak Tuhan.

Ada banyak argumen bisa diajukan untuk mendukung pandangan bahwa Injil Barnabas kemungkinan ditulis cukup belakangan. Bukan saja karena kita tak punya teks yang lebih awal, tapi juga karena isi Injil ini menggambarkan perdebatan yang muncul belakangan di kalangan teolog Muslim. Yang cukup menonjol ialah bagaimana Barnabas memposisikan diri sebagai antagonis dari da’wah Paulus.

Memang dalam Kitab Para Rasul (Perjanjian Baru) pasal 15 disebutkan perselisihan antara Barnabas dan Paulus. Tapi, Injil Muslim ini menggambarkan lebih jauh penolakan Barnabas terhadap ajaran Paulus dan menganggap nama yang disebut terakhir sebagai seorang yang menyesatkan ajaran Yesus yang asli.

Tuduhan terhadap Paulus semacam itu dipopulerkan oleh teolog Muslim Abd al-Jabar pada abad ke-11 dalam kritiknya terhadap asal-muasal agama Kristen. Deskripsi tentang Paul dalam literatur Muslim memang perlu didiskusikan lebih lanjut, karena membentuk cara pandang sebagian kaum Muslim terhadap Kristen, seperti dikampanyekan Zakir Naik atau Ahmed Deedat, dan bahkan juga sebagian kalangan di Indonesia yang suka berpolemik.

Itulah sekelumit diskusi kelas tentang “A Muslim Gospel”. Dan sekarang sesi pertanyaan dibuka. Pertanyaan yang baik bersumber dari rasa keingintahuan yang mendorong si penanya membuka cakrawala dengan menelusuri sumber-sumber yang sekarang tersedia. Monggo sambil diseruput kopinya!

Mun'im Sirry
Mun'im Sirry
Assistant Professor di Fakultas Teologi Universitas Notre Dame, USA, Owner KEPITING++. Beberapa karyanya: "Islam Revisionis: Kontestasi Agama Zaman Radikal" (Suka Press, 2018), "Polemik Kitab Suci: Tafsir Reformis atas Kritik Al-Quran terhadap Agama Lain" (Gramedia, 2013), "Kontroversi Islam Awal: Antara Mazhab Tradisionalis dan Revisionis" (Mizan, 2015), dan "Scriptural Polemics: The Qur’an and Other Religions" (Oxford University Press, 2014).
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.