Jumat, Maret 29, 2024

Sudahlah, Inggris, Sepakbola Tak Akan Pulang Kampung

Mahfud Ikhwan
Mahfud Ikhwan
Penulis Novel "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu"; Pengelola Blog Belakanggawang.

Sepakbola tak akan pulang ke kampung halaman, Inggris. Sori.

Ah, sebenarnya tak usah ada sori-sorian. Sepakbola tak akan kembali. Titik. Tidak tahun ini. Tak juga nanti. Mau bagaimana lagi?

Okelah, ambillah dan klaim sejarah asal-mula itu, dan kami tak akan lagi mengutak-atiknya … kalian telah melepas benda bulat itu. Entah untuk alasan pamer, sebagaimana anak-anak kaya membawa mainan mahalnya hanya untuk ditunjukkannya kepada teman-temannya yang miskin, atau karena ingin memberadabkan kami-kami para bangsa terjajah ini (seperti semua hal yang kalian pernah lakukan dahulu), kalian tak akan bisa mengambil lagi bola yang telah kalian operkan. Para pemain terbaik diukur dari kontrol bolanya, tapi tak ada seorang administratur terbaik pun yang bisa mengontrol sepakbola ia begitu dimainkan. Tak akan.

Ia sudah bergulir, menggelinding liar, membentur satu mata kaki ke mata kaki lain, dicocor jari kaki yang satu ke jari kaki lain, terpental dari satu kepala ke kepala lain, dan sejak itu kalian tak akan lagi mendapatkan bola yang sama. Ia sudah berkubang lumpur, tercemplung selokan, permukaannya telah mengelupas di sana-sini, benang-benang jahitnya sudah lepas di banyak bagian, pentil anginnya melesak, dan boleh jadi tak bulat lagi; ia tak akan berbentuk lagi.

Jadi, sebaiknya, lupakan saja. Jangan pernah berharap mengambil kembali bola yang sudah kadung menggelinding itu.

***

Memang, para pekerja kalianlah yang mengajari orang Italia, orang Spanyol, orang Prancis, juga orang Jerman, main bola; nama-nama orang kalian melekat di sejarah klub-klub terhebat di negara-negara itu; orang-orang kalianlah yang bahkan menentukan nama dan warna kaos yang mereka mesti pakai. (Itu kenapa AC Milan tidak menyebut dirinya Milano, Juventus berbaju hitam-putih, ada FC di depan nama Barcelona, sementara klub pertama di Jerman bahkan memasukkan kata English pada namanya.) Tapi kalau sejarah sepakbola mereka lebih besar (dan memang demikianlah yang telah terjadi) dan nama-nama Italia, Spanyol, Prancis, dan Jerman lebih banyak disebut dibanding nama-nama Inggris apabila orang bicara tentang sepakbola (dari Meazza, Muller, sampai Messi), maka tak ada yang lebih pantas disalahkan melebihi kalian sendiri.

Ketika para guru Inggris mengajarkan sepakbola di sekolah-sekolah kulit putih di dua sisi Sungai La Plata, mereka pasti cuma ingin mempertunjukkan keberadaban kepada para Indian biadab itu. Para guru Inggris itu pasti tak akan menyangka, di sisi utara sungai, di Uruguay, permainan yang mereka ajarkan itu tak menunggu lama untuk menciptakan para kampiun bola, yang sejarah kebesarannya mungkin tak akan bisa mereka kejar—boleh jadi untuk selamanya. Dalam spirit charrua, tak sampai duapuluh lima tahun kemudian, para murid dari negeri liliput berpenduduk dua juta itu berkeliling daratan Eropa, menyabet semua kejuaraan, dan mengajari pera bekas gurunya cara bermain bola yang lebih baik; saat itu, kalian justru masih saja menggerutu dengan cara orang Prancis menamai organisasi sepakbola dunia dan bagaimana mereka mengeja kepanjangannya.

Di sisi barat sungai, yang terjadi lebih buruk lagi. Guru-guru Inggris itu bukan saja menciptakan bangsa sepakbola yang akan selalu menjadi pengganjal para pengajarnya, begitu mereka berhadap-hadapan di lapangan; mereka juga—kelak—menciptakan monster yang akan selalu menghantui sejarah sepakbola Inggris, untuk seterusnya. Monster itu bernama Maradona. Ia punya kekuatan super di kaki kirinya. Namun, yang paling membunuh, dan ia akan terus membunuh—sepanjang kisah itu masih terus diceritakan, dan video di Meksiso 1986 itu masih terus diputar—adalah tangan kirinya.

Saat Charles Miller, seorang remaja tanggung, tiba dari Southampton dengan dua bola di tangannya di pelabuhan Santos, ia mungkin hanya ingin mengelabui bapaknya. “Ini ijazahku,” begitu kata Miller, yang tak menyelesaikan sekolahnya, sambil menyodorkan bola yang dibawanya kepada bapaknya. Tapi bola Miller itu kemudian jatuh ke kaki-kaki bekas budak Afrika di sepanjang pantai timur Brasilia. Di bawah kaki-kaki, dan pinggul, yang darinya lahir gerakan-gerakan Capoeira, juga tarian samba, bola tak lagi dimainkan dengan cara yang sama. Bersama tekukan bola Arthur Freiderich, Garrincha, Pele, Zico, Ronaldo, Ronaldinho, hingga Kaka, sejarah sepakbola, juga sejarah pada umumnya, telah sepenuhnya berbelok arah.

Kalian mungkin tetap akan mencoba mendada: “Tanpa kami, tak akan ada mereka.” Tapi, coba pikir, betapa jauh lebih mudah kami mengatakan: “Tanpa mereka, apa jadinya sepakbola.”

***

Di Bengal 1930, sepakbola kalian telah menciptakan para pahlawan belia yang, malangnya, melawan kalian sendiri. Bocah-bocah sekolah di Chittagong (sekarang masuk Bangladesh), yang tak rela lapangan bolanya dipakai sebagai tempat kemah tentara penjajah, memberontak di bawah komando guru mereka, Surya Sen—setidaknya, demikian yang digambarkan oleh sutradara Ashutosh Gowariker. Tentu saja dengan mudah bocah-bocah itu kalian tumpas, toh mereka hanya pakai senapan yang dicuri dari gudang senjata kalian, itu pun mereka lupa ambil amunisinya. Tapi, setelah itu, di seluruh Anak Benua, orang India meneriakkan kata merdeka lebih keras dari sebelum-sebelumnya. Dan ujungnya, kalian mesti pulang dengan menyeret ekor di antara selangkangan.

Di Jerman Barat 1974, dua tim turun ke gelanggang Piala Dunia dalam keadaan ketakutan, sebab di belakang mereka berdiri dua diktator gila yang menganggap terlalu penting sepakbola: Mobutu untuk Zaire, Baby Doc untuk Haiti. Mwepu Ilunga menendang (sekeras-kerasnya) bola yang seharusnya jadi jatah tendangan bebas Brasil, dan jadi bahan tertawaan seisi stadion, hanya agar Brasil tidak bisa mencetak gol lebih dari tiga, yang itu berarti akan membuat mereka pulang ke Zaire hanya untuk diarak menuju regu tembak. Di tim sebelah, setelah menjadi kepala berita karena berhasil mematahkan rekor tidak kebobolan milik Dino Zoff, Manu Sanon dan seluruh pemain Haiti mesti berdoa atas nyawa rekan setimnya Ernst Jean-Joseph, setelah nama terakhir itu dipukuli di depan banyak orang dan digelandang para pegundal Baby Doc dari hotel pemain begitu dinyatakan gagal tes doping.

Di Balkan awal ‘90-an, sepakbola memainkan peran yang tak kecil atas pecahnya sebuah negara dan terbunuhnya sebagian penduduknya. Arkan, seorang bajingan sekaligus ultranasionalis, melatih para pendukung fanatik klub Red Star Belgrade menjadi milisi yang efesien dan mematikan, yang saat pecah perang bertanggung jawab atas hilangnya ribuan nyawa orang Kroasia dan Muslim Bosnia. Seorang yang lain, Franjo Tudjman, menggabungan keterampilannya sebagai bekas jenderal, bekas presiden klub Partizan, dan penulis sejarah amatiran, ia menghasilkan sentimen nasionalisme sekeras fanatisme sekelompok ultras sepakbola, dan berhasil mengantar dirinya ke tampuk kekuasaan Kroasia merdeka.

Di sebuah negeri kepulauan di Asia Tenggara, belum lama berselang, sepakbola mengantar seorang tengkulak cengkeh cum makelar gula plus penyelundup beras sekaligus pengutil minyak goreng menjadi salah satu orang paling berkuasa di negerinya—bayangkan, ia bisa memimpin sebuah asosiasi olahraga yang sangat besar dari balik penjara. Baru-baru ini, juga karena sepakbola, seorang serdadu kelas kecamatan telah jadi gubernur sebuah provinsi besar, dan hari-hari ini mungkin ia sedang bermimpi, dengan sepakbola, boleh jadi tahun depan atau beberapa tahun lagi ia bisa jadi wakil presiden atau setidaknya menteri pertahanan.

Dan tentu saja masih banyak lagi, di tempat lain, di waktu berbeda; apa yang ditulis Jon Spurling dalam bukunya yang padat dan mencekam, Death or Glory: The Dark History of World Cup, jelas hanya sekelumit saja. Maka, jika kalian mau membawa kembali pulang sepakbola, bawa serta juga segala dosa-dosanya.

***

Jika kalian mau sedikit bersyukur, sepakbola sebenarnya telah kembali kepada kalian nyaris tiga dekade lalu. Tepatnya, pada 20 Februari 1992, ketika untuk pertama kalinya Liga Premier dibentuk. Liga itu yang membawa kepada kalian dewa-dewa dengan bola di kakinya: Cantona, lalu Zola, kemudian Bergkamp, dan ratusan yang lain setelahnya. Juga para peracik taktik terbaik yang pernah ada: Fergie, Wenger, Mou, Pep. Bahwa yang membawanya adalah uang dan jaringan televisi milik seorang Amerika kelahiran Australia bernama Rupert Murdoch, itu tentu saja sedikit ironi yang mesti kalian terima.

Beberapa pemain terbaik yang pernah dan sedang atau akan bermain di liga kalian akan tampil pada partai final di Luzhniki besok malam. Di antara mereka—Modric, Lovren, Pogba, Kante, Lloris, Vida—Minggu malam nanti akan mengangkat piala dan menjadi juara dunia. Jika emblem yang menempel di kaos mereka bukan Tiga Singa, dan mereka bukan bagian dari kalian, tentu saja itu bukan salah mereka.

“Itu salah Bapak menaruh bola,” begitu bunyi tulisan di kaos seorang anak SMA.

Mahfud Ikhwan
Mahfud Ikhwan
Penulis Novel "Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu"; Pengelola Blog Belakanggawang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.