Di era pandemi yang mencemaskan dunia, banyak sekali muncul informasi tentang pandemi (infodemi) yang menyesatkan. Seorang herbalis dari Kandahar, Afganistan bernama Hakim Alokozai, misalnya, menyatakan berhasil membuat cairan obat penyembuh pasien Covid-19. Mohammad Zaman, warga Kabul, menempuh perjalanan 335 km hanya untuk ketemu Alokozai, dan membeli obat cair racikannya, Juli 2020 lalu.
Mohamad Zaman beberapa kali datang ke rumah Alokozai, membeli obat tersebut dalam jumlah besar. Ia bagikan obat itu ke saudara-saudaranya yang terserang corona. Dan, konon, menurut Zaman, setelah mengonsumsi obat itu, pasien corona itu sembuh. Luar biasa! Tapi ketika petugas kesehatan setempat mendatangi Alokozai dan Zaman untuk membuktikan kebenaran ceritanya, jawabannya tidak rasional, muter-muter.
Zaman dan Alokazai mungkin kerjasama untuk menipu orang-orang awam. Dalam kondisi stress – apalagi di Afghanistan yang bau anyir darah perang saudara – klaim-klaim semacam itu sudah modus. Mencari keuntungan di tengah kegentingan.
Hal yang serupa terjadi di Solo. Tri Dewa, warga Punggawan, Banjarsari, Solo, mengaku telah menemukan ramuan herbal atau jamu yang dapat menyembuhkan pasien positif Covid-19. Ramuan berbentuk jamu itu berasal dari olahan 20 jenis empon-empon seperti jahe merah, kunir, serai hingga daun kelor.
Tri Dewa mengklaim ramuan yang diberi nama Contravid itu telah menyembuhkan tujuh pasien terpapar virus corona di Jakarta. Tri Dewa pun memberanikan diri bertemu Wali Kota Solo, F.X. Hadi Rudyatmo, di Balai Kota, Senin (13/4/2020), untuk menawarkan resep herbalnya itu. Lelaki 50 tahun itu berharap jamu Contravid mendapat dukungan Pemkot Solo untuk diproduksi massal dan dibagikan pada publik.
“Ramuan ini sudah teruji. Ada tujuh pasien positif Covid-19 di Jakarta yang sembuh setelah minum produk ini lima hari berturut-turut,” klaim Tri Dewa saat dihubungi Solopos.com, Senin (13/4/2020) malam. Tri Dewa menjelaskan ramuan jamu Covid-19 itu tidak ditemukan secara tiba-tiba. Dia mulai tekun mempelajari manfaat tiap jenis empon-empon sejak wabah SARS menyerang penjuru dunia pada medio 2002.
Saat itu Tri mengolah sekitar 10 jenis empon-empon untuk obat penderita SARS. Tri kemudian menambahkan 10 jenis empon-empon baru yang dinilainya berkhasiat untuk menyembuhkan Covid-19.
“Racikan ini saya rebus dengan tambahan ion positif. Rebusan ini kemudian saya kemas dalam botol berukuran 250 ml. Untuk menyembuhkan Covid-19, sebotol jamu cukup diminum sehari sekali selama lima hari berturut-turut,” jelasnya. Namun Tri Dewa mengakui minuman temuannya belum melalui uji laboratorium. Artinya, secara ilmiah khasiat jamunya tak bisa dibuktikan kebenarannya.
Klaim orang-orang yang mengaku “herbalis” menemukan obat penyembuh infeksi corona bertebaran di mana-mana. Agustus 2020 lalu, misalnya, publik dikejutkan video wawancara penyanyi Anji (Erdian Aji Prihartanto) di kanal Youtube dengan orang yang mengaku Prof. Dr. Hadi Pranoto — yang konon — berhasil membuat obat penyembuh pasien Covid-19. Obat herbal racikannya, menurut Hadi Pranoto, sudah menyembuhkan pasien covid dan sudah beredar di luar negeri. Luar biasa bukan?
Publik kaget, karena yang mengklaim menemukan obat covid itu seorang guru besar. Yang mewawancarai juga seorang seleb top. Apa yang terjadi kemudian? Setelah ditelusuri, Hadi Pranoto adalah profesor abal-abal. Kedua orang ini, yang menghebohkan dunia Youtube, kemudian ditahan polisi untuk mempertangggungjawabkan perbuatannya yang menipu publik.
Tapi informasi hoax tersebut, sudah terlanjur viral. Bayangkan, infodemi bohong Anji dengan follower 3,67 juta lebih itu, telah mempengaruhi jutaan orang. Belum lagi dengan sharing video tersebut oleh para follower Anji. Niscaya puluhan juta netizens sudah menerima infodemi hoax tersebut. Dan mereka niscaya terpengaruh. Itulah bahayanya jika hoax disebarkan pesohor.
Sebelum kasus Anji, kementerian pertanian mengumumkan khasiat kalung eucaliptus. Kementan menyatakan kalung tersebut bisa mencegah penularan virus corona. Virus corona, katanya, mati bila “bersentuhan” dengan molekul atau aroma eukaliptus. Geger kalung anticorona itu pun kemudian lenyap sendiri. Kementan dikritik ilmuan akan kecerobohan klaimnya.
Di level dunia, Presiden AS Donald Trump menyebarkan infodemi hoax amat membahayakan. Kata Trump, suntik atsu minum desinfektan bisa menangkal virus corona. Meski pernyataan Trump menjadi bahan ejekan para ilmuwan, tak sedikit orang awam yang percaya. Pusat Kontrol Racun di Kota New York melihat adanya lonjakan jumlah orang yang keracunan cairan desinfektan pembersih rumah tangga, April 2020, setelah Trump menyatakan suntikan cairan pembersih lantai itu bisa menangkal infeksi corona. National Public Radio (NPR) melaporkan sedikitnya 30 kasus keracunan dalam periode 18 jam usai pernyataan Trump yang menyesatkan itu.
Klaim penyembuhan obat-obatan semacam di atas selalu muncul saat ada pandemi. Kecemasan, kebingungan, dan frustrasi publik menjadi lahan subur untuk klaim palsu tersebut. Selama pandemi flu Spanyol yang berlangsung 1918-1920 dengan korban tewas 50 juta orang di seluruh dunia, misalnya, klaim ditemukannya obat penyembuh muncul di mana-mana. Di Amerika Serikat dan Kanada, misalnya, obat-obat palsu beredar luas dan diperjual-belikan. Hal serupa terjadi ketika dunia dilanda HIV/AIDS. Begitu juga sewaktu muncul epidemi Ebola dan SARS di Afrika.
Kini infodemi dan klaim ditemukannya obat penyembuh infeksi Covid-19, muncul di mana-mana. Lebih parah lagi, infodemi dan klaim obat penyembuh tersebut cepat tersebar luas karena adanya internet. Media sosial (medsos) menjadi sarana ampuh untuk memviralkan infodemi menyesatkan tersebut.
British Medical Journal (BMJ) Global Health, Maret 2020, mengungkapkan: lebih dari 25% video tentang Covid-19 yang paling banyak ditonton di Youtube berisi informasi menyesatkan. Video tersebut telah ditonton 62 juta kali. Fenomena ini benar-benar memprihatinkan. Mirisnya, pelaku penyebaran infodemi sesat tersebut motifnya uang. Ini benar-benar membahayakan publik.
Klaim penemuan obat-obatan untuk Covid-19, harus bisa dibuktikan secara ilmiah. Ini karena dunia ilmiah mewajibkan pembuktian nyata dan terverifikasi. Karena itulah klaim tersebut harus melalui berbagai tahapan uji klinis dan hasilnya wajib dipublikasikan secara ilmiah guna mendapatkan tinjauan dan penilaian dari para ahli medis. Proses ini diperlukan agar obat-obatan yang dihasilkan benar-benar menyembuhkan dan aman.
Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ari F Syam dan ahli kesehatan masyarakat dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman, secara terpisah, Selasa (18/8/2020), mengatakan, klaim obat-obatan tidak bisa dilakukan sembarangan dengan pernyataan di media massa. Prosesnya harus melalui uji klinik dan review serta tinjauan dari ilmuwan terkait. Apalagi untuk obat-obatan yang diklaim bisa mengatasi Covid-19, wabah penyakit mematikan yang kini menjadi pandemi.
”Setelah uji klinis, hasilnya harus diuji dengan didaftarkan ke kongres dunia dan selanjutnya dipublikasi di jurnal internasional untuk mendapatkan pengakuan bahwa uji klinik tersebut valid serta bisa masuk panduan dan protokol pengobatan baru,” kata Ari.
Dari gambaran tersebut, kita hendaknya jangan cepat percaya bila ada klaim atau pengakuan orang yang bisa meracik obat antivirus corona. Dalam hal ini pejabat, peneliti, dan figur publik pun sebaiknya berhati-hati dalam menyampaikan informasi masalah-masalah penting terkait Covid-19.
Perlu diketahui, pemerintah sudah menyediakan berbagai macam kanal digital dan website resmi tentang Covid-19. Ikuti penjelasan resmi pemerintan tentang berbagai hal terkait Covid-19 tersebut. Supaya tidak tersesat di belantara infodemi yang salah dan keliru, yang banyak muncul di jagat nyata maupun maya.