Jumat, Januari 24, 2025

Industri Senjata Rusia: Meredup di Tengah Perang

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Jika kita berbicara tentang Rusia, apa yang terlintas di pikiran selain vodka? Tentu saja, senjata! AK-47 dari Kalashnikov, jet tempur MiG, dan sistem pertahanan rudal S-400 adalah beberapa contoh senjata buatan Rusia yang mendunia. Kehebatan arsenal Rusia ini telah menempatkan mereka sebagai salah satu eksportir senjata terbesar di dunia. Industri pertahanan menjadi tulang punggung kekuatan dan sumber kebanggaan nasional Rusia.  Tidak hanya berperan penting dalam konflik yang sedang berlangsung di Ukraina, industri ini juga menjadi penopang ekonomi Rusia.  Setelah minyak, senjata adalah komoditas ekspor paling berharga bagi negara Beruang Merah tersebut.

Namun, di balik gemerlap reputasi sebagai produsen senjata terkemuka, perang di Ukraina telah  menorehkan luka yang menganga pada industri pertahanan Rusia.  Dalam tiga tahun terakhir, ekspor senjata Rusia mengalami kemerosotan tajam.  Sebagai gambaran, pendapatan Rusia dari penjualan senjata tahun ini merosot drastis hingga di bawah 1 miliar dolar AS! Angka ini sangat kontras jika dibandingkan dengan tahun 2021, di mana Rusia meraup lebih dari 14 miliar dolar AS dari ekspor senjata.

Penurunan drastis sebesar 93% ini tentu menjadi alarm bagi industri pertahanan Rusia.  Penurunan ini terjadi secara bertahap,  dimulai pada tahun 2023 ketika penjualan turun dari 14 miliar dolar AS menjadi 8 miliar dolar AS, kemudian  merosot lagi menjadi 3 miliar dolar AS di tahun yang sama.  Perang di Ukraina menjadi penyebab utama kemerosotan ini. Kebutuhan  pasukan Rusia akan  senjata  untuk  perang  di  Ukraina  memaksa  industri  pertahanan  Rusia  untuk  memprioritaskan  pemenuhan  kebutuhan  domestik.  Akibatnya,  pelanggan  asing,  bahkan  sekutu  penting  seperti  India,  harus  menunggu  lebih  lama  untuk  mendapatkan  pesanan  mereka.

India dan Rusia telah lama menjalin kemitraan strategis di bidang pertahanan. India merupakan pasar terbesar bagi senjata Rusia, sementara Rusia menjadi pemasok utama alutsista bagi India. Namun, hubungan yang telah terjalin erat ini  mengalami  ketegangan  dalam  beberapa  tahun  terakhir.  Rusia  mengalami  kesulitan  dalam  memenuhi  sejumlah  pesanan  dari  India,  di  antaranya  pengiriman  dua  skuadron  sistem  rudal  pertahanan  S-400  yang  seharusnya  terealisasi  tahun  lalu.  Laporan  terbaru  menyebutkan  bahwa  pengiriman  sistem  rudal  tersebut  kemungkinan  besar  baru  akan  dilakukan  pada  tahun  2026.

Penundaan juga terjadi  pada  pengiriman  kapal  selam  serang  bertenaga  nuklir  yang  seharusnya disewa  India  dari  Rusia.  Kapal  selam  tersebut  diperkirakan  baru  akan  tiba di India pada  tahun  2028.  Selain  itu,  India  juga  mengeluhkan  keterlambatan  pengiriman suku cadang  untuk  alutsista  yang  sudah  dimiliki,  seperti  jet  tempur  Su-30 dan tank  tempur  T-90.  Keterlambatan  ini  menimbulkan  kecemasan  di  pihak  India  dan  telah  disampaikan  berulang  kali  kepada  Rusia.

Di sisi lain,  India  mulai  menjajaki  alternatif  lain  dan  mengurangi  ketergantungannya  pada  enjata  Rusia.  India  beralih  ke  Barat,  khususnya  Amerika  Serikat,  untuk  memenuhi  kebutuhan  alutsista  canggih.  Sejak  tahun  2018,  India  telah  menandatangani  kontrak  pembelian  senjata  senilai  20  miliar  dolar  AS  dengan  Amerika  Serikat,  termasuk  drone  jarak  jauh  dan  jet  tempur  canggih.  Perubahan  haluan  ini  tidak  hanya  dilakukan  oleh  India.  Banyak  negara  lain  juga  mulai  mengurangi  ketergantungan  pada  Rusia,  termasuk  China.

China, yang  sebelumnya  85%  kebutuhan  pertahanannya  dipenuhi  oleh  Rusia,  kini  hanya  mengandalkan  Rusia  untuk  68%  dari  total  kebutuhan  alutsistanya.  Meskipun  angka  tersebut  masih  cukup  besar,  namun  menunjukkan  adanya  tren  penurunan.  Hal  ini  disebabkan  oleh  beberapa  faktor,  di  antaranya  embargo  senjata  dari  negara-negara  Barat  dan  upaya  China  untuk  mengembangkan  industri  pertahanan  dalam  negeri.  Kondisi  ini  merugikan  Rusia,  karena  China  tidak  hanya  membeli  lebih  sedikit  senjata  dari  Rusia,  tetapi  juga  mulai  bersaing  dengan  Rusia  di  pasar  senjata  global,  terutama  di  kawasan  Afrika  Sub-Sahara.

Dahulu, Rusia merajai pasar senjata di Afrika Sub-Sahara. Namun, dominasi tersebut kini telah berpindah tangan ke China.  Tahun lalu, China berhasil menggeser Rusia sebagai pengekspor senjata terbesar di kawasan tersebut.  Tidak hanya China,  Prancis dan Korea Selatan juga  semakin menunjukkan taringnya di pasar  senjata Afrika Sub-Sahara.  Prancis, misalnya,  mencatatkan  penjualan  pesawat  tempur  yang  melampaui  Rusia.  Sementara  itu,  Korea  Selatan  berhasil  mengungguli  Rusia  dan  China  dalam  hal  ekspor  platform  darat,  yang  mencakup  berbagai  jenis  kendaraan  tempur  seperti  tank,  kendaraan  lapis  baja,  dan  sistem  artileri.

Pergeseran  kekuatan  ini  menunjukkan  bahwa  Rusia  semakin  kehilangan  pijakan  di  pasar  senjata  global.  Di  satu  sisi,  Rusia  kesulitan  memenuhi  permintaan  karena  terfokus  pada  produksi  senjata  untuk  perang  di  Ukraina.  Di  sisi  lain,  muncul  pemain-pemain  baru  yang  menawarkan  keunggulan  masing-masing.  China  dan  Korea  Selatan  menawarkan  harga  yang  lebih  terjangkau,  sementara  Prancis  menawarkan  teknologi  canggih  yang  hampir  setara  dengan  sistem  pertahanan  Amerika  Serikat.

Kondisi  ini  menuntut  Rusia  untuk  berbenah  diri.  Basis  pelanggan  Rusia  yang  terus  menyusut—dari  35  negara  pada  tahun  2011  menjadi  hanya  12  negara  pada  tahun  2023—menunjukkan  urgensi  bagi  Rusia  untuk  beradaptasi  dengan  dinamika  pasar.  Rusia  perlu  mengejar  ketertinggalan  dengan  memanfaatkan  keunggulan  tradisionalnya,  yaitu  memproduksi  senjata  berteknologi  tinggi  dengan  harga  yang  kompetitif.  Selain  itu,  Rusia  juga  harus  memulihkan  kepercayaan  pelanggan  dengan  memastikan  pengiriman  yang  tepat  waktu.

- Advertisement -

Vladimir Putin tahu bahwa dia harus merebut kembali ruang itu. Mungkin itu sebabnya dia menantang Amerika untuk berduel rudal kemarin. “Jika para ahli Barat yang Anda sebutkan berpikir bahwa Orion dapat ditembak jatuh, kami mengusulkan mereka dan mereka yang di Barat dan Amerika Serikat yang membayar mereka untuk analisis mereka untuk melakukan semacam eksperimen teknologi, duel teknologi tinggi abad ke-21. Biarkan mereka menyebutkan beberapa objek, katakanlah di Kiev, pusatkan semua pertahanan udara dan kekuatan pertahanan rudal mereka di sana, dan kami akan menghantamnya dengan Orion dan melihat apa yang terjadi. Kami siap untuk eksperimen semacam itu. Apakah pihak lain siap?”

Dia berbicara tentang rudal Orion. Rusia menggunakan rudal ini bulan lalu di Ukraina. Putin mengatakan bahwa ini adalah senjata baru, senjata yang dapat melakukan perjalanan lebih cepat daripada kecepatan suara dan menjatuhkan target dengan akurasi tepat. Barat telah menyatakan keraguan atas klaim ini; mereka mengatakan Orion adalah senjata lama, tetapi Putin tidak menerima itu, karena itu tantangannya. Ini bukan hanya peringatan bagi Barat; itu juga pesan untuk yang lain bahwa di arena senjata, Rusia mungkin terpuruk, tetapi tidak keluar.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.