Minggu, November 3, 2024

Indonesia “Panutan” Bagi Negara Afrika?

Dr. Christophe Dorigné-Thomson
Dr. Christophe Dorigné-Thomson
Dr. Christophe Dorigné-Thomson adalah penulis buku Indonesia’s Engagement with Africa (Palgrave Macmillan, November 2023) dan doktor ilmu politik Universitas Indonesia.
- Advertisement -

Pada debat ketiga antara calon Presiden pada Minggu, 7 Januari 2024, Prabowo Subianto menyatakan, “Kita sekarang pun sudah jadi panutan bagi banyak negara di Afrika. Begitu banyak negara di Afrika sekarang melihat ke kita, datang ke kita, minta belajar dari kita, karena kita dianggap negara selatan yang cukup berhasil”.

Beberapa media Indonesia langsung menentang pandangan ini secara blak-blakan dengan mengatakan bahwa sama sekali tidak ada bukti mengenai pernyataan tersebut. Sebenarnya hal serupa sudah dideklarasikan oleh Prabowo pada Juli 2023 tanpa menimbulkan polemik.

Permasalahannya, tanggapan-tanggapan tersebut dari media dan para akademisi yang menjadi sumber media tidak didasarkan pada pengetahuan serius mengenai kebijakan Indonesia di Afrika atau dinamika Afrika. Reaksi-reaksi ini menggarisbawahi kurangnya pengetahuan sebagian besar media dan akademisi di Indonesia tentang Afrika.

Para akademisi di luar negeri, baik lokal maupun asing, kurang mengamati juga keterlibatan Indonesia dengan Afrika. Padahal komentar berbasis data dan pengalaman sangat penting. Oleh karena itu, kita harus melihat masalah ini lebih serius, terlepas dari apakah sebuah calon Presiden, yang kebetulan sudah menang pemilihan Presiden 2024, benar atau salah.

Secara historis, tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia mempunyai reputasi positif di Afrika mengingat diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika pada bulan April 1955 di Bandung. Sebenarnya, sejak mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1945, Indonesia telah menjadi teladan anti-kolonialisme dan kemerdekaan negara-negara terjajah di seluruh dunia, terutama di Afrika.

Gerakan kemerdekaan Afrika secara eksplisit merujuk ke Bandung dan beberapa di antaranya hadir di Bandung, seperti Front de Libération Nationale (FLN) dari Aljazair. Fakta sejarah ini tidak boleh dilupakan karena tetap berpengaruh dan seharusnya dipertimbangkan oleh media. Namun, mari kita fokus pada era Jokowi, karena Prabowo bisa dikatakan mewakili posisi pemerintah, meski pemenang Pilpres ini bertindak sebagai calon presiden saat debat. Setelah menyelenggarakan KTT Asia-Afrika bersamaan dengan peringatan 60 tahun Konferensi Bandung pada bulan April 2015, Presiden Jokowi menyatakan Afrika sebagai prioritas politik luar negeri pada tahun 2017.

Pada bulan April 2018, Kementerian Luar Negeri menyelenggarakan Indonesia-Africa Forum yang pertama di Bali, disusul Indonesia-Africa Maritime Dialogue dan Indonesia-Africa Infrastructure Dialogue pada tahun 2019, menggarisbawahi fokus prioritas Indonesia. Dalam salah satu kunjungan terpanjangnya ke luar negeri, Jokowi mengunjungi benua Afrika pada Agustus 2023, singgah di Kenya, Tanzania, Mozambik, dan Afrika Selatan. Kunjungan bersejarah ini menandai dan mengkonfirmasi pentingnya strategis baru yang diberikan Indonesia terhadap hubungannya dengan Afrika.

Meskipun masih kurang, kita dapat melihat bahwa topik Afrika semakin mendapat penekanan dalam beberapa tahun terakhir, sehingga semakin menghidupkan kata “Afrika” dalam ungkapan “Asia-Afrika”. Di bawah kepemimpinan Retno Marsudi, Kemlu telah menangani Afrika dengan lebih serius melalui Direktorat Afrika yang cukup dinamis, meskipun anggarannya perlu ditingkatkan.

Ditunjuk oleh Jokowi, meningkatnya keterlibatan tokoh senior seperti Jenderal Luhut Binsar Pandjaitan dengan negara-negara Afrika juga sangat berkontribusi terhadap peningkatan kepentingan strategis benua ini bagi Indonesia. Selain mendampingi Jokowi di Afrika, Luhut juga melakukan kunjungan terpisah ke Afrika, misalnya ke Republik Demokratik Kongo, untuk membentuk aliansi di bidang critical minerals dan kehutanan tropis. Serta mempromosikan hilirisasi di Indonesia sebagai model potensial bagi negara-negara Afrika yang kaya sumber daya alam seperti Kongo atau Zimbabwe dan mau menikmati hasil transformasi SDA mereka.

Sejak menjadi Menteri Pertahanan (2019-sekarang), Prabowo telah menerima beberapa pemimpin Afrika untuk membahas masalah pertahanan, khususnya industri pertahanan, pelatihan, dan pendidikan militer. Prabowo tidak berbohong. Tentu saja, kata “panutan” bisa didiskusikan lebih mendalam secara ilmiah. Hal ini harus menjadi peran media dan akademisi. Sebagai pejabat pemerintah dan calon presiden pada saat itu, Prabowo sulit untuk mengatakan hal lain. Haruskah Prabowo mengatakan Indonesia anti-model bagi negara-negara Afrika?

- Advertisement -

Prabowo telah dikunjungi oleh banyak pejabat pertahanan Afrika yang meminta untuk belajar dari Indonesia. Ini adalah fakta. Selama pertemuan saya dengan beberapa pemimpin Afrika, mereka sering menyatakan keinginan untuk belajar lebih banyak dari Indonesia dalam hal pengelolaan sumber daya, pemberantasan terorisme, pertahanan, pengelolaan keberagaman, dan beberapa aspek ekonomi seperti ekonomi digital dan infrastruktur. Memang benar, Indonesia dianggap sebagai negara yang cukup sukses oleh negara-negara Afrika dalam bidang-bidang tersebut.

Sebetulnya, Afrika menyadari Indonesia menghadapi tantangannya sendiri seperti setiap negara sebesar yang lain, sebagaimana negara-negara Afrika juga. Itu sebabnya Indonesia menarik bagi mereka. Kesenjangan sosio-ekonomi antara Indonesia dan Afrika seringkali tidak terlalu lebar sehingga solusi yang dilakukan Indonesia mungkin akan lebih mudah diterapkan di benua ini dibandingkan dengan tawaran dari negara-negara besar lainnya. Indonesia menarik sebagai mitra alternatif, terutama untuk menghindari jebakak persaingan AS-Tiongkok dan politik kekuatan besar. Indonesia dan negara-negara Afrika dapat saling membantu untuk menyeimbangkan negara adidaya dalam konteks hubungan Global South.

Bagi negara-negara Afrika, Indonesia berpotensi menjadi referensi tambahan, selain negara Eropa, Amerika Serikat, India, Tiongkok, Jepang, Rusia, Korea Selatan, Turki, negara Arab, Iran, Israel, Brazil, Singapura, Malaysia, Thailand atau Vietnam. Tetapi masyarakat Afrika membuat pilihannya sendiri dan menentukan nasibnya sendiri. African agency atau kapasitas Afrika untuk mengambil keputusan sendiri saat menghadapi kekuatan eksternal adalah sebuah hal yang nyata dan external powers harus menyadari fakta ini.

Negara Afrika mungkin melihat Tiongkok untuk proyek infrastruktur tertentu dan India untuk proyek infrastruktur lainnya. Mereka akan melakukan kerjasama pendidikan dengan Eropa, kerjasama pertanian dengan Korea Selatan, dan kerjasama kesehatan dengan Jepang. Mereka akan mencari investasi kemana-mana. Pendekatan mereka mirip dengan Indonesia. Mereka berbicara dan terlibat dengan semua pihak eksternal yang dapat memberi mereka manfaat. Pada akhirnya, mereka berdaulat dan memutuskan sendiri.

Indonesia memiliki banyak keunggulan untuk menjadi salah satu “panutan” utama negara-negara Afrika, terutama di bidang ekonomi, keamanan, geopolitik, dan budaya. Masyarakat Indonesia juga memiliki pola pikir non-kolonial, egaliter, dan mandiri yang sesuai dengan masyarakat benua Afrika.

Namun, seperti sinkretisme Indonesia yang terkenal yang memungkinkan Indonesia memadukan pengaruh asing untuk menciptakan sesuatu yang khas Indonesia, masyarakat Afrika juga menciptakan dan bertujuan untuk menjadi model mereka sendiri. Juga memanfaatkan semua pengaruh dan kemitraan yang menguntungkan di seluruh dunia untuk melahirkan abad kesuksesan Afrika yang baru, dan kemakmuran bagi benua termuda di dunia secara demografik. Seperti generasi muda Indonesia, generasi muda Afrika juga kreatif, kritis, semakin nasionalis, dan ingin sukses. Mereka tidak mau menunggu.

Apa yang sebenarnya digarisbawahi oleh pernyataan Prabowo adalah perlunya Indonesia untuk meningkatkan kapasitas akademik dan pengetahuan media mengenai Afrika agar dapat memberikan tanggapan yang lebih tepat terhadap pernyataan terkait Afrika yang datang dari calon presiden utama pada saat itu. Mengingat meningkatnya kepentingan strategis Afrika bagi Indonesia dalam konteks perubahan geopolitik yang besar, kekuatan akademik dan pemahaman Indonesia mengenai benua Afrika harus segera ditingkatkan untuk menghindari kesalahan serius di benua Afrika di mana semua pemain global bersaing untuk mendapatkan hati dan pikiran masyarakat Afrika. Yang pasti jalan Indonesia menuju kekuatan besar melewati benua Afrika.

Kekuatan intelektual merupakan penentu utama keberhasilan politik luar negeri. Indonesia mempunyai keunggulan historis, kemauan politik yang berkembang sejak era Jokowi dan segera di bawah Prabowo, konglomerat besar dan citra yang cukup positif di Afrika sehingga harus lebih mengkaji dan memahami masyarakat dan dinamika negara-negara Afrika untuk menciptakan keterlibatan yang lebih bernilai. Tidak ada keraguan bahwa Indonesia mampu melakukan hal tersebut jika ada kemauan, dan berkontribusi terhadap masa depan Asia-Afrika yang bermakna.

Dr. Christophe Dorigné-Thomson adalah penulis buku Indonesia’s Engagement with Africa (Palgrave Macmillan, November 2023) dan doktor ilmu politik Universitas Indonesia.

Dr. Christophe Dorigné-Thomson
Dr. Christophe Dorigné-Thomson
Dr. Christophe Dorigné-Thomson adalah penulis buku Indonesia’s Engagement with Africa (Palgrave Macmillan, November 2023) dan doktor ilmu politik Universitas Indonesia.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.