Kerajaan Arab Saudi baru saja melontarkan pernyataan negaranya siap mengerahkan pasukan darat melawan militan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Suriah jika disetujui koalisi Amerika Serikat. Di bawah pimpinan koalisi militer AS, selama ini Arab Saudi memang telah berpartisipasi dalam serangan udara membidik basis-basis ISIS di Suriah.
Arab Saudi beralasan serangan udara tanpa dukungan pasukan darat dinilai kurang efektif menghancurkan ISIS. Sebagai sekutu Arab Saudi, Amerika masih mempertimbangkan hal tersebut. Di pihak lain, Iran sebagai pesaing regional Arab Saudi di Timur Tengah berkomentar Arab Saudi tidak akan punya nyali mengerahkan pasukan daratnya di medan tempur Suriah. Pemerintah Suriah sendiri tegas menolak rencana Arab Saudi itu dan menuding sebagai bentuk agresi militer terhadap kedaulatan Suriah.
Sebelumnya, Desember 2015 lalu, Arab Saudi mengumumkan akan membentuk aliansi militer negara Islam yang berpusat di Riyadh. Arab Saudi saat itu menyatakan akan memimpin koalisi 34 negara mayoritas berpenduduk muslim untuk memerangi ISIS dan teroris lainnya.
Alih-alih mendapat sambutan positif, kabar terakhir beberapa negara yang namanya disebut bergabung dalam aliansi ini justru membantah dan menolak bergabung. Salah satunya Indonesia, bahkan pemerintah Indonesia memprotes Arab Saudi karena dinilai telah mencatut nama Indonesia. Koalisi ini tampak sekali dibangun atas dasar ambisi menguatkan blok Arab Saudi di dunia Islam.
Yang menjadi pertanyaan, jika aliansi Arab Saudi ini memang sungguh-sungguh dibentuk untuk melawan ISIS, kenapa pemerintah negara Irak, Iran, dan Suriah yang selama ini berhadapan langsung dengan ISIS tidak diajak bergabung dalam aliansi ini. Belum ada kejelasan apakah kesiapan Arab Saudi mengerahkan pasukan darat di Suriah terkait dengan aliansi negara Islam yang digagasnya. Dalam laporannya di edisi 10 Februari 2016, Al-Arabiya menulis Kerajaan Arab Saudi akan menjadi tuan rumah aliansi militer negara Islam bulan depan bertempat di Riyadh.
Belajar dari invasi militer ke Yaman pada 2015 yang dilakukan oleh koalisi negara Arab pimpinan Arab Saudi, Yaman kini justru terancam sebagai negara tanpa masa depan. Apalagi situasi dalam negeri Arab Saudi sejatinya saat ini sedang menghadapi ancaman dan aksi serius terorisme, khususnya dari ISIS.
Sepanjang tahun 2015, misalnya, beberapa kali terjadi serangan bom bunuh diri. Teror bom pertama kali yang didalangi ISIS di Arab Saudi terjadi pada 22 Mei 2015 di sebuah masjid Imam Ali di Provinsi Qatif yang menewaskan 10 orang dan melukai 70 orang lainnya. Sepekan kemudian terjadi pengeboman kembali di sebuah masjid dan menewaskan sedikitnya 4 orang.
Kemampuan aparat keamanan Arab Saudi mengantisipasi teror ISIS semakin dipertanyakan ketika terjadi kembali aksi bom bunuh diri pada Agustus 2015 di sebuah masjid yang terletak di markas militer yang menewaskan 15 anggota kepolisian Arab Saudi. Pada Oktober 2015, serangan bom di sebuah masjid di Kota Najran yang melukai 19 orang dan 3 tewas.
Di awal tahun 2016 terjadi lagi serangan bom bunuh diri disertai tembakan menyerang jamaah masjid di Kota Mahasen. Kali ini ISIS memang tidak mengeluarkan pernyataan bertanggung jawab atas aksi ini.
Namun, jika diperhatikan, rentetan teror sepanjang tahun 2015–2016 di Arab Saudi memiliki kesamaan pola, yakni menyasar umat yang sedang beribadah di masjid dan kebanyakan kejadiannya sedang salat Jumat. Bagi orang waras, aksi ini sungguh sulit dimengerti, ISIS yang menyebut dirinya Islam tapi aksinya membunuhi orang yang salat. Semua itu karena ISIS mempunyai definisi sendiri yang kemudian dijadikan dalil pembenaran atas aksi teror mereka.
Sederhananya begini: ISIS menyebut yang diledakkan itu bukanlah masjid, tapi kuil. Sedangkan korban bom pada salat Jumat tersebut, ISIS menganggap mereka bukan umat Islam, karena mereka adalah Syiah. Jika korbannya ternyata kaum Sunni, ISIS menilai mereka adalah umat Islam yang telah murtad dan halal nyawanya dicabut. Kesimpulannya, ISIS selalu punya alasan untuk semua aksi terornya, dan mereka meyakini sendiri alasan itu.
Dalam Dabiq terbaru, majalah yang dikelola ISIS, ISIS merilis daftar nama target pembunuhan, yakni deretan ulama kerajaan Arab Saudi, termasuk Mufti Agung Syaikh Abdul Azis Alu. Majalah tersebut juga menulis bahwa Kerajaan Arab Saudi telah melakukan dosa besar karena telah mengizinkan kaum Syiah memasuki tanah suci Makkah dan Madinah. Itulah mengapa dalam setahun terakhir ini ISIS juga menargetkan pejabat kerajaan, di samping juga minoritas kaum Syiah.
Yang jelas, motif yang paling kuat adalah ISIS ingin memicu konflik sektarian di Arab Saudi. Tak heran kaum minoritas Syiah di Arab Saudi berulang kali memprotes Kerajaan Arab Saudi karena dinilai tidak mampu menciptakan rasa aman bagi mereka dalam beribadah.
Walhasil, rencana Arab Saudi mengerahkan pasukan darat atas nama memerangi ISIS di Suriah wajar dipertanyakan. Apalagi jika Saudi nanti menggunakan pasukan anggota aliansi negara-negara Islam. Namun, mencermati ketidakmampuan Arab Saudi mengatasi terorisme di dalam negerinya sendiri, besar kemungkinan dia punya misi lain di balik rencana pengerahan pasukan darat ke Suriah.
Maka, penting bagi negara muslim terbesar di dunia seperti Indonesia untuk tidak ikut terseret dalam blok-blok negara di Timur Tengah yang sedang berseteru, sekalipun menamakan aliansi negara Islam. Indonesia harus cermat sebelum merespons isu-isu di Timur Tengah.
Pemerintah Indonesia dan Arab Saudi memang telah sepakat bahwa ISIS bukan Islam, ISIS adalah musuh bersama yang harus diperangi. Namun dalam hal strategi melawan ISIS, Indonesia boleh tidak sepakat dengan cara yang diusung Arab Saudi.