Rabu (4/1) beredar kabar Istana kalang kabut setelah Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo mengumumkan penghentian sementara semua kerjasama militer Indonesia dengan Australia. Alasannya, perwira Kopassus yang dikirim belajar ke Sekolah Komando di Perth, Australia, menemukan materi yang menghina TNI, invasi Timor Timur, soal Papua, dan adanya bukti Pancasila diplesetkan sebagai Pancagila.
Diperoleh juga kabar bahwa dalam kurikulum Sekolah Komando Pasukan Khusus Australia (SAS), siswa Kopassus harus membuat esai yang mendukung argumen bahwa “Papua harus merdeka karena merupakan bagian dari rumpun Melanesia”. Tentu saja, rangkaian penghinaan ini tidak dapat diterima dan membuat marah sejumlah petinggi di Cilangkap.
“Damage Control”
Namun, kabarnya, keputusan penghentian semua kerjasama militer itu tidak dikoordinasikan terlebih dahulu oleh menteri terkait. Bahkan, konon, tidak dikonsultasikan dengan Presiden Jokowi. Di sini nampak masih ada kegagapan dalam koordinasi antarmenteri pemerintahan Jokowi. Dan kini menyangkut kebijakan yang bisa berdampak serius pada politik luar negeri.
Tidak heran jika Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu langsung bertindak dengan mengecilkan dampak keputusan itu dengan mengatakan “curut-curut” yang kurang ajar itu sudah dihukum oleh Australian Defence Force, seraya menambahkan jangan sampai karena ulah para letnan Australia yang kurang ajar itu menyebabkan hubungan Indonesia dan Australia menjadi buruk.
Menteri Pertahanan Australia Marise Payne juga langsung menanggapi keputusan Jenderal Gatot dengan menyatakan minta maaf dan tindakan perbaikan segera diambil. Media Australia mengabarkan bahwa Kementerian Pertahanan mengutus KASAD Australia Jenderal Angus Campbell ke Indonesia untuk bertemu dengan KASAD Indonesia Jenderal Mulyono dan Panglima TNI meminta maaf secara langsung untuk meredakan ketegangan.
Sementara itu, Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull menyambut baik sikap Presiden Joko Widodo dalam meredakan suasana. Sebagaimana diberitakan, Presiden Jokowi mengatakan meskipun memahami keputusan Panglima TNI, dia menegaskan hubungan Indonesia dan Australia tidak akan terpengaruh hanya karena “persoalan di tingkat operasional”, bukan pada tingkat kebijakan. Turnbull mengatakan Australia siap bekerjasama dengan Indonesia atas dasar kepentingan bersama dan saling menghormati.
Karena itu, hanya kurang dari 24 jam, Indonesia mengubah posisinya. Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Wiranto pada Kamis (5/1) menegaskan, yang dihentikan hanya pelatihan program bahasa. Dia juga menambahkan, kerja sama akan dilanjutkan kembali tatkala pihak Australia sudah nyata-nyata melakukan langkah-langkah penyelesaian dari kasus tersebut.
Pernyataan Wiranto yang didampingi Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu dan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dikeluarkan setelah ketiganya terlebih dahulu dipanggil Presiden. Kehadiran tiga menteri itu nampaknya ditujukan memberikan sinyal kepada Australia bahwa Jakarta tidak ingin memperpanjang masalah yang bisa mempengaruhi hubungan dua negara yang sudah berjalan dengan baik.
Penegasan Wiranto yang sampai harus didampingi Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri memberi sinyal kuat pada dunia internasional bahwa Jakarta sedang melakukan upaya “damage control” atas pernyataan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Masalahnya, jika ketidakpastian dibiarkan, itu akan menimbulkan masalah baru dalam hubungan bilateral dan terutama yang terkait dengan soal Papua.
Australia dan Papua
Sejak diperintah Malcolm Turnbull, Indonesia sangat diuntungkan dalam menahan internasionalisasi kemerdekaan Papua. Australia selalu menghindar dari upaya berbagai pihak, terutama negara-negara di Pasifik yang getol menyerukan kemerdekaan Papua. Bahkan Forum Negara-Negara Pasifik yang diselenggarakan di Mikronesia, 7-11 September 2016, dan dihadiri Australia batal mengangkat isu Papua. Sekretaris Jenderal Forum Pasifik dari Papua Nugini mengatakan isu Papua adalah masalah “sensitif” bagi Australia, Selandia Baru, dan Papua Nugini karena menyangkut Indonesia.
Sikap Australia ini yang membuat Indonesia semakin percaya diri dalam menggagalkan keanggotaan separatis Papua di Asosiasi Negara-Negara Rumpun Melanesia (MSG). Dalam keterangan persnya tanggal 23 Desember 2016, Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri Desra Percaya mengatakan pada pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri MSG, Indonesia mendorong Melanesian Spearhead Group (MSG) untuk menyusun norm-setting dan guidelines yang jelas bagi aplikasi keanggotaan baru.
Peraturan ini ditujukan bagi mereka yang menghormati prinsip kedaulatan, tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain, dan memegang teguh hukum internasional. Dengan demikian, upaya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk menjadi anggota penuh MSG akan tertutup selamanya.
Desra juga menegaskan, kelompok separatis Papua ini hanya mewakili sebagian yang sangat kecil dari warga Papua di luar negeri. Mereka telah berkali-kali mengajukan keanggotaan penuh di MSG sejak tahun 2013. Namun, berkat upaya diplomasi Indonesia niat tersebut berhasil digagalkan.
Jakarta tidak ingin kemenangan diplomasi yang gemilang ini buyar begitu saja karena terbuka kemungkinan Australia berubah pendirian dalam soal Papua gara-gara pernyataan Jenderal Gatot Nurmantyo. Selain itu, Indonesia juga tidak ingin ketegangan tersebut bisa mengganggu persiapan KTT Asosiasi Negara-Negara Kawasan Lautan Hndia (IORA) di mana Australia menjadi anggota yang, konon, akan dilaksanakan di Bali awal Maret mendatang.
Dalam pertemuan itu, sejumlah kepala pemerintahan dari 20 negara akan hadir, termasuk perwakilan 6 negara mitra dialog. PM Australia diharapkan hadir. Indonesia memandang penting KTT IORA sebagai jawaban atas tuduhan selama ini bahwa Indonesia lebih mementingkan bilateralisme ketimbang multilateralisme. Karena itu, langkah sigap diperlukan mengecilkan dampak pernyataan Jenderal Gatot Nurmantyo.
Kelegaan Australia
Bagi Australia, sikap Indonesia sangat melegakan karena, bagaimanapun, tanpa Indonesia Australia bak “benua yang terasing.” Indonesia adalah “jangkar” bagi Australia berhubungan baik dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan Asia Timur.
Ketegangan dengan Indonesia hanya membuat posisi China semakin kuat merangkul Indonesia. Padahal dalam kebijakan Pivot Asia, Indonesia sangat sentral dalam perebutan pengaruh dalam soal konflik Laut China Selatan. Hanya melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia, pengiriman pasukan dan armada militer Australia dan Amerika bisa lebih cepat sekiranya terjadi eskalasi konflik di kawasan itu.
Dari kacamata lain, Australia juga lega dengan langkah cepat Indonesia meredakan kontroversi keputusan Jenderal Gatot karena ini menegaskan tegaknya supremasi sipil Presiden Jokowi atas kekuatan militer di negerinya. Dalam konteks ini, Canberra gembira karena Presiden berhasil membuat hubungan kedua negara tidak selalu berada di jalur “sensitif.”
Tapi tentu saja Australia akan memantau bagaimana reaksi kalangan militer atas keputusan Panglima Tertingginya yang mungkin mengecewakan sejumlah jenderal di Clilangkap, termasuk mungkin Jenderal Gatot Nurmantyo sendiri.
Tulisan ini pendapat pribadi penulis, tidak mencerminkan kebijakan instansi di mana penulis bekerja.