Anda pernah mendengar yang namanya ikan haring merah? Ia sejenis ikan asap dengan bau sedemikian menyengat hingga bisa mengalihkan anjing-anjing pemburu. Istilah itu kemudian dipakai buat menunjukkan segala macam yang mengalihkan perhatian dari masalah sesungguhnya dari isu-isu tertentu. Karena tak ada ikan itu di Indonesia, kita kerap menggantinya dengan kambing hitam.
Dalam kemarahan dan kebingungan selepas serangan teror macam kemarin, itu binatang-binatang mudah muncul. Entah karena dipicu mereka yang punya agenda-agenda tertentu, atau sekadar akibat terburu-burunya masyarakat bikin kesimpulan. Berikut di antaranya.
Desakan revisi UU Antiterorisme
Salah satu yang paling kencang berbunyi selepas serangan kemarin adalah ini barang. Revisi terhadap UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kata pemerintah dan banyak warganet serta ormas-ormas, pokoknya barang yang digagas sejak serangan Jalan MH Thamrin 2016 lalu itu harus segera diselesaikan.
Pertanyaan buat para pendorong, kamu orang sudah baca draf revisi itu regulasi atau belum? Kawan-kawan di Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sudah. Apa yang mereka temukan? Mereka menemukan 10 pasal bermasalah yang sangat berpotensi memberangus kebebasan sipil dan jadi alat penyalahgunaan wewenang.
Di antaranya, soal mekanisme dan waktu penahanan yang sedemikian longgar, pengabaian supremasi hukum lewat pelibatan TNI, serta definisi terlampau cair yang sangat boleh jadi memunculkan multitafsir. Salah satu pasal bahkan disebut memiliki “potensi tinggi penyiksaan dan tindakan sewenang-wenang selama proses penangkapan”.
Selepas kekejian yang dilakukan para pengebom, mudah bagi kita bilang bahwa mereka pantas disiksa, bahkan dibunuh. Tapi bagaimana jika prosedur itu, dipicu definisi yang terlampau longgar dan pembuktian ringan, kemudian menjaring mereka-mereka yang sedianya tak bersalah?
Semisal pihak tak bersalah itu terluka dan merasa dizalimi dalam proses, ia hanya sedorongan lagi jadi teroris betulan. Jika orang tak bersalah itu mati dalam proses, keluarganya juga hanya sedorongan lagi jadi ekstremis dengan dendam kesumat.
Pembubaran PKS dan HTI
Izinkan saya bercerita tentang seorang ulama dari Solo.
Lahir pada 1937, semasa muda ia adalah seorang muslim yang penuh gairah. Ia belajar banyak ilmu agama dan ingin betul nilai-nilai yang ia pelajari diterapkan di masyarakat. Pada pertengahan 1950-an, dalam usia yang sangat muda, ia bergabung dengan partai politik Masyumi yang gencar menuntut kembali diberlakukannya Piagam Jakarta lewat jalur-jalur konstitusional.
Sedang aktif-aktifnya anak muda itu mendakwahkan agenda Masyumi, Presiden Sukarno membubarkan parpol tersebut pada 1960. Seperti banyak simpatisan Masyumi saat itu, ideologi yang dianut pemuda itu justru kian kental.
Pada akhir 1967, pemuda yang terkenal dengan nama Abdullah Sungkar itu merangkul kawan sepemikirannya, Abu Bakar Ba’asyir, mendirikan radio dan pondok pesantren dengan garis Islam yang lebih keras. Pada 1980-an hingga 1990-an, ditengah represi Orde Baru terhadap kegiatan politik Islam, mereka merangkum orang-orang sepemikiran dalam Jamaah Islamiyah (JI). Organisasi itu kemudian divonis bertanggungjawab atas sejumlah aksi pengeboman, salah satu yang paling akbar adalah Bom Bali I pada 2002.
Kian kemari, JI kemudian berevolusi menjadi Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) yang dipimpin Abu Bakar Ba’asyir. Aman Abdurrahman, salah seorang muridnya kemudian tak puas dan membentuk Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang bersimpati dan membaiat kepemimpinan ISIS. Keluarga-keluarga pelaku pemboman di Surabaya dan Sidoarjo belakangan, disebut sebagai rekrutan JAD.
Dari alur itu, jelas bahwa pembubaran Masyumi dan represi politik Islam pada masa lalu punya peran membentuk ekstremisme Islam di Indonesia saat ini. Ini bukan kata saya, Martin van Bruinessen, profesor kajian Islam Indonesia dari Belanda menuliskan, “adalah pembubaran Masyumi dan depolitisasi Islam Indonesia di bawah rezim Soeharto yang membelokkan pemikiran Islam.” Pembubaran itu mengarahkan para simpatisan ke arah juang yang lebih radikal seperti yang diajarkan Sayyid Qutb.
Artinya, penghambatan jalur politik konstitusional dari entitas mana pun di Indonesia akan selalu jadi bom waktu.
Menyalah-nyalahkan Salafi-Wahabiyah
Tak hanya di Indonesia, ini semacam jadi pandangan otomatis selepas serangan-serangan teror. Bahwa kekejian itu pasti berkaitan dengan konservatifisme yang dianut para pengikut Salafi-Wahabiyah. Pandangan ini didasari karena memang para pelaku terorisme kerap menggunakan pandangan-pandangan yang mereka klaim berasal dari pemurnian yang dikampanyekan Ibn Taimiyyah pada abad ke-13 dan Muhammad ibn Abdul Wahhab pada abad ke-18.
Sidney Jones, seorang peneliti kawakan radikalisme Tanah Air juga mulanya berpikir demikian. Ia mengakui, pengaruh pendanaan Arab Saudi terhadap kegiatan dakwah Tanah Air memunculkan suasana yang leboh konservatif dan intoleran.
Kendati demikian, seperti ia sampaikan dalam salah satu artikel di The New York Times pada 2016 lalu, hal tersebut belum tentu punya korelasi dengan terorisme. Ia mencatat, dari seribu terpidana terorisme yang ia teliti di Indonesia sejak 2002 hingga saat itu, hanya ada empat atau lima orang yang punya kaitan dengan institusi Salafi atau Wahabi.
“Soal kekerasan beragama, kaitan ke Saudi di Indonesia kebanyakan hanya ‘ikan haring merah’,” kata Sidney.
Ia mengamati, ada jurang menganga antara para “jihadis” dan pengikut Salafi-Wahabiyah di Indonesia. Ini saya amati juga menengok penolakan para ulama Salafi-Wahabi di Indonesia terhadap aksi-aksi sepanjang akhir 2016 dan awal 2017 silam. Para pengikut Salafi-Wahabiyah Indonesia juga menahan diri dari mengkritik pemerintah secara terbuka. Oh, ya, apa saya sudah bilang bahwa perempuan pelaku pemboman gereja di Surabaya lahir di keluarga Nahdliyin?
Kalaupun kita berandai-andai terorisme lahir dari paham Salafi-Wahabiyah, semata menyalahkan mereka juga bukan cara efektif. Jika aliran itu memang bersalah, apa lalu tindakan selanjutnya, membubarkan? Hal ini bakal punya efek serupa dengan poin nomor dua.
Acara mencap aliran tertentu dalam Islam lebih dekat dengan terorisme ini juga semacam kemalasan kelompok Islam lainnya. Ia lama-lama berubah jadi mekanisme melarikan diri dari kesalahan, menyangkal bahwa ekstremisme adalah penyakit umat Islam secara keseluruhan.
Nabi Muhammad (damai selalu untuknya), kerap menekankan bahwa umat Islam laiknya satu tubuh. Yang satu sakit yang lain ikut merasakan. Jika kita menganggap ekstremisme sebagai penyakit, maka ia semestinya bukan penyakit satu saliran saja.
Artinya, semisal bikin itu acara-acara dialog toleransi dan tolak kekerasan, bisa tidak yang datang bukan orang-orang itu lagi? Percuma bicara sama kelompok yang memang sudah sepakat. Ia tak bakal mengubah apa-apa.
Pada akhirnya, mencari cara-cara yang benar guna memberangus terorisme memang bukan perkara mudah. Tapi tulisan ini bukan hendak menguliti itu hal. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa sejarah mengajarkan, banyak cara-cara salah yang tak semestinya kita ambil. Friedrich Nietzsche punya adagium terkenal soal ini, “Barang siapa melawan monster semestinya tak mengizinkan dirinya jadi monster serupa.”