Saya suka mengenang masa kecil di lereng Gunung Sindoro yang menyenangkan, khususnya di musim liburan seperti Ramadhan. Bulan Puasa adalah panggung festival kreativitas bagi anak-anak desa. Mereka membuat berbagai mainan.
Salah satunya membuat wayang-wayangan: air kali di belakang rumah dialirkan ke kincir bambu yang disambungkan dengan tali; kincir berputar ritmis, tali menggerakkan boneka-boneka yang menari dalam lampion lampu minyak damar di depan rumah.
Anak-anak yang lain membuat petasan bumbung. Mereka mencari bambu besar melubangi ruas-ruasnya dan membenamkannya dalam tanah dalam posisi mirip meriam siap tembak. Campuran karbit dan air menjadi amunisinya. Ketika disulut, meriam bambu mengeluarkan suara menggelegar.
Teknologi Sederhana di Desa
Anak-anak yang paling kecil di desa tahu tentang teknologi sederhana itu. Tanpa disadari, mereka tahu tentang ilmu fisika, mekanika dan kimia bahkan sebelum masuk sekolah dan universitas. Mereka tahu bagaimana memanfaatkan apa yang tersedia dekat rumah mereka untuk kesenangan.
Tapi, di era videogame dan playstation, kesenangan seperti itu dipandang “primitif”, sebagian besar telah ditinggalkan, bahkan oleh anak-anak di desa.
Tak hanya kesenangan anak-anak. Banyak ilmu dan teknologi praktis di desa, yang berguna untuk pertanian dan ekonomi, telah ditinggalkan: dari membuat pupuk kandang, merakit kincir angin untuk memompa air irigasi, membuat lampu minyak damar, dan mengolah aneka ragam panganan lokal.
Teknologi Tepat Guna
Tapi, benarkah teknologi tepat guna di pedesaan itu primitif? Dan benarkah cuma romantisme masa silam ketika setiap tahun pemerintah menyelenggarakan pameran Gelar Nasional Teknologi Tepat Guna?
Dua tahun lalu, pameran nasional itu mendatangkan 8.000 peserta dari semua provinsi Indonesia. Para peserta memamerkan perangkat bikinannya sendiri, yang diilhami pengetahuan tradisional berbagai daerah Kepulauan Indonesia dan diperkaya dengan pengetahuan modern.
Salah satu yang dipamerkan, misalnya, adalah alat pembakar ikan tanpa membuatnya gosong. Itu alat sederhana, bisa dibuat di desa, dan merupakan solusi praktis sehari-hari.
Kita bisa berharap pameran seperti itu tidak sekadar seremonial; harus ada upaya lanjutan untuk kembali mempopulerkan kembali teknologi tepat guna.
Tapi, di tengah gempuran gaya hidup perkotaan yang serba mesin dan serba listrik, upaya mempopulerkan kembali teknologi tepat guna hanya bisa dilakukan jika ditopang oleh cara berpikir yang tepat, baik di kalangan pemerintah maupun masyarakat. Pilihan teknologi adalah pilihan ideologis.
Ideologi di Balik Teknologi
Ideologi teknologi tepat guna dipopulerkan oleh Ernst Friedrich “Fritz” Schumacher, pakar ekonomi Inggris, pada 1970-an. Schumacher menuangkan gagasan tentang pentingnya teknologi tepat guna dalam bukunya yang terkenal “Small is beautiful”.
Menurut Schumacher, “kehidupan ekonomi yang paling rasional adalah memproduksi kebutuhan lokal dari sumberdaya lokal.” Bukan sentralisme ekonomi tapi desentralisme dan distribusi ekonomi. Bukan “produksi massal” yang penting bagi Schumacher, tapi “produksi oleh massa” atau “produksi oleh rakyat.”
Produksi oleh massa, termasuk oleh rakyat pedesaan, menuntut adanya teknologi. Dan di pedesaan, baik di kalangan petani maupun nelayan, teknologi tepat guna adalah jawabannya, yakni teknologi yang mudah (user-friendly), ramah lingkungan, dan bisa diterapkan di masyarakat yang paling sederhana sekalipun.
Gagasan Schumacher banyak dipengaruhi oleh kehidupan Mahatma Gandhi. Dalam film epik-biografi yang dibuat Richard Attenborough, kita bisa melihat bagaimana Gandhi memintal bajunya sendiri dengan peralatan sederhana. Gandhi juga menggerakkan jutaan rakyat India untuk mengolah garam dari tanah sendiri. Nampaknya sederhana. Tapi dengan langkah itulah Gandhi menaklukkan kolonialisme Inggris.
Teknologi Desa dan Green Lifestyle
Menengok kembali kehidupan masa lalu di desa, serta merenungkan kembali pentingnya teknologi tepat guna, bukanlah bentuk romantisme atau pelarian diri. Bukankah kini orang banyak bicara tentang “green lifestyle”, “green economy”, “green energy” dan “green-green” yang lain?
Kesederhanaan adalah kekuatan. Teknologi tepat guna ala pedesaan justru kini harus dipandang sebagai simbol kemajuan dan kemodernan.
Lebih dari segalanya, teknologi dan produksi tepat guna menjamin keberlangsungan dan kedaulatan ekonomi di negeri-negeri berkembang seperti Indonesia.**