Tiap kali musim haji tiba, hampir tak lepas dari kisah pilu yang menimpa sejumlah calon jemaah haji Indonesia yang sudah bertekad untuk menunaikan ibadah suci ini. Berbagai cerita kegagalan terkuak di detik-detik akhir perjalanan mereka setelah berpamitan kepada sanak keluarga dan handai taulan untuk menuju ke titik pemberangkatan menuju Arab Saudi.
Berita kegagalan 177 calon jemaah haji Indonesia yang tertahan di Filipina tahun ini menjadi salah satu potret kelam dari sekian cerita “ketertipuan” mereka yang terjadi sejak beberapa tahun silam. Seolah tak jera dari pengalaman para calon jemaah haji yang meratapi kegagalan dan kerugian finansial yang telanjur dibayarkan kepada oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, banyak para calon jemaah haji masih nekat untuk menempuh jalur-jalur tidak resmi yang berada di luar ketentuan pemerintah.
Tentu saja kita selalu bertanya-tanya, mengapa peristiwa pilu ini selalu terjadi hampir tiap tahun menjelang musim haji tiba? Ada apa dengan kesadaran kita dalam menyikapi dan meyakini ibadah haji? Bukankah persyaratan elementer berhaji—sebagaimana disitir dalam al-Qur’an—adalah kemampuan?
Dalam kajian fiqh kontemporer, mampu di sini bukan saja berhubungan aspek finansial maupun fisik secara personal. Akan tetapi, kepatuhan terhadap prosedur dan persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah adalah bentuk ekspresi yang sangat fundamental pula dalam mendefinisikan “kemampuan” secara sistemik. Sebab, meski ibadah haji adalah mekanisme teologis yang melempengkan hubungan diri seseorang dengan Tuhan, keterlibatan pihak lain seperti pemerintah dalam mewujudkan pelaksanaan ibadah haji yang nyaman dan aman adalah sebuah keniscayaan yang perlu diimani dan diamini pula.
Di sinilah problem mendasar dari kealpaan kita dalam memahami berhaji. Sejatinya, haji harus difahami sebagai sebuah identitas keberagamaan yang pada mulanya bersumber dari pengakuan (syahadah) dan pada muaranya bersumbu pada perilaku kebaikan (mabrur). Maka, untuk melaksanakan ibadah haji membutuhkan cara padang yang segar (fresh eyes) terhadap segala sesuatu yang melingkupi, baik yang berhubungan dengan persoalan teknis-administratif maupun prinsip-substansial yang sudah diatur oleh pemerintah.
Penyikapan ini menjadi penting agar keberadaan kita tidak mudah dijebak oleh jaringan sindikat yang selalu menebarkan modus kejahatan ke berbagai pihak yang ujungnya adalah sekadar meraup keuntungan dengan cara tidak halal. Sebab, dalam kehidupan manusia yang sudah dilingkupi semangat persaingan ekonomi untuk memperoleh pendapatan sebanyak-banyaknya, tidak sedikit orang yang menempuh beragam jenis sindikasi untuk menggapai tujuan utamanya: keuntungan sebesar-besarnya dengan cara yang paling nyaman.
Kesadaran Material
Secara sosiologis, baik pihak yang kerap menipu para calon jemaah haji maupun beberapa calon jemaah haji yang menjadi korban penipuan adalah satu mata rantai kealpaan yang menyikapi ibadah haji sebatas kesadaran materiil. Dalam kesadaran materiil—atau dalam pandangan Louis Althusser berupa eksistensi materiel—ada praktik-praktik materiil yang mempengaruhi kesadaran seseorang maupun pihak lain agar bersedia masuk dalam sistem sindikasinya.
Dalam kesadaran materiil ini, ibadah haji yang bersifat spiritual diturunkan keberadaannya dalam lingkup materiil bahwa untuk menggapainya bisa ditempuh dengan cara-cara yang diinginkan, walau berbenturan dengan pakem aturan yang berlaku.
Implikasinya, kedua belah pihak sama-sama terlibat dalam cara yang instan dan by pass untuk mencapai keinginan yang bersifat emosional dan temporal. Dalam kaitan ini, walaupun para calon jemaah haji berada dalam titik nadir kekecewaan dan kerugian dikarenakan ajakan kelompok tak bertanggung jawab, itu adalah bagian dari risiko yang harus disadari sebagai konsekuensi logis dari kenyataan yang sudah dilakukan.
Tersebab oleh keinginannya yang terlalu membuncah untuk menunaikan ibadah haji namun melampaui batas-batas aturan yang sudah ditentukan pemerintah, lalu bertemu dengan pihak-pihak tertentu yang menawarkan program pemberangkatan yang keluar dari koridor waktu pelaksanaan yang semestinya, maka berbagai kisah pilu kegagalan menjemput impian ke tanah suci pun akan selalu terjadi.
Sejatinya, ibadah haji tidak dimaknai sebagai kesadaran materiil semata. Meskipun berbagai perangkat keberangkatan ke tanah suci banyak ditunjang oleh ketersediaan materiil yang memadai, bukan berarti mengabaikan berbagai aspek immateriil lain yang sangat urgen untuk diperhatikan.
Dalam aspek immateriel—merujuk pada pandangan Emiel Durkehiem—berhubungan erat dengan moralitas seseorang dalam mematuhi peraturan yang berlaku. Dalam hal ini, ketika pelaksanaan ibadah haji tidak serta-merta menegaskan kemampuan dan keinginan individu, melainkan telah terabsorsi dalam aturan pemerintah, maka puncak dari kepatuhan seseorang yang ingin menunaikan ibadah haji adalah mematuhi peraturan yang telah ditentukan pemerintah.
Di sini lah cara pandang berhaji kita yang perlu dibenahi sejak dini. Bahwa, ketika kita ingin menunaikan ibadah haji tidak sekadar mengedepankan kesadaran materiil, tetapi perlu meneguhkan kesadaran transendental. Agar dalam prosesnya tidak hanya dipengaruhi oleh perilaku praktis dan pragmatis untuk mencapai tujuan.
Kesadaran Transendental
Dalam kaitan ini, kesadaran transedental—dengan merujuk pada pemikiran Ali Syari’ati dalam buku Makna Haji—merupakan kepulangan manusia kepada Allah yang melampaui batas-batas materiil apa pun dan tidak diserupakan oleh sesuatu apa pun yang bersifat temporal.
Uraian Ali Syariati tersebut memberikan penjelasan kepada kita bahwa ketika kita mendeklarasikan diri untuk menghadap Allah, maka sepatutnya kita menghadirkan segala sesuatu yang terbaik dari diri kita meliputi berbagai cara dan proses yang diridlai. Tidak sepatutnya dalam proses kepulangan menuju Allah ini masih dipahami sebagai peneguhan identitas kedirian yang bersifat materiil. Akan tetapi, sisi immateriil berupa kepatuhan kepada Allah yang diawali dengan ketaatan prosedur legal untuk menuju Baitullah harus disadari sebagai sunnatullah yang harus diperhatikan.
Dengan demikian, ketika kesadaran transendental melingkupi jiwa kita, apa pun yang menjadi persyaratan untuk berangkat haji sejatinya diterima dengan tulus dan lapang dada. Selain itu, semestinya kita harus tahu diri dengan ketentuan keberangkatan haji yang sudah diatur oleh pihak pemeirntah. Sebab, ketika pemegang urusan (ulil amri) telah berniat baik membantu proses keberangkatan haji, namun masih ada di antara kita yang bersikukuh berangkat haji dengan cara-cara yang tidak resmi, maka pada tahap awal ini akan terkesan ada penyelewengan niat dalam sanubari tentang haji.
Karena itu, dibutuhkan kesadaran transendental dalam diri kita bahwa ketika kita mendaftarkan diri untuk berhaji, namun jadwal keberangkatan kita masih tergolong lama, lalu ada kehendak lain yang tidak memungkinkan kita untuk benar-benar berangkat, sesungguhnya hati kita sudah tercatat sebagai jemaah haji yang perolehan pahalanya setimpal dengan mereka yang sudah menunaikan ibadah haji. Sebab, mabrur yang selama ini dilekatkan dengan elan vital pelaksanaan ibadah haji bisa terjadi pula pada sikap dan perilaku kebaikan lain yang berjalan secara istiqomah. Termasuk sikap dan perilaku menunggu ketentuan keberangkatan haji dengan sabar dan tawakal.