Pada 16 Februari 2017, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur mengabulkan permohonan keberatan yang diajukan oleh Kementerian Sekretariat Negara atas putusan Komisi Informasi Pusat (KIP) terkait dengan dokumen asli Tim Pencari Fakta (TPF ) Kasus Pembunuhan Munir Said Thalib.
Ketua Majelis Hakim PTUN Wenceslaus menyatakan, berdasarkan fakta persidangan, Sekretariat Negara terbukti tidak memiliki dokumen tersebut. Dengan demikian, putusan KIP yang dibacakan pada 10 Oktober 2016 soal kewajiban pemerintah mengumumkan secara resmi kepada publik dokumen TPF Pembunuhan Munir batal demi hukum.
Atas putusan itu, proses untuk memperjuangkan keadilan bagi Munir Said Thalib kembali berliku. Dimensi kasus ini tidak hanya menyangkut keadilan bagi almarhum Munir dan keluarganya, namun demi masa depan perlindungan aktivis HAM. Untuk itu, KontraS akan mengajukan kasasi atas putusan PTUN itu.
Penuntasan kasus pembunuhan Munir menabrak “tembok tebal.” Dukungan publik diperlukan agar kasus Munir segera tuntas, karena tanpa itu akan sulit menembus “tembok tebal” kekuasaan, mengingat kasus ini sarat dengan dugaan konspirasi dan permufakatan jahat para elite penguasa.
Dalam strategi perjuangan HAM, upaya hukum agar negara membuka dokumen TPF Pembunuhan Munir setidaknya mengandung dua tujuan. Pertama, menuntut akuntabilitas negara untuk segera dan secara konsisten menuntaskan kasus pembunuhan Munir sampai pada aktor intelektualnya.
Kedua, menarik perhatian dan dukungan publik atas kasus Munir dengan merawat ingatan publik. Hal ini penting karena kasus Munir tidak hanya mewakili dirinya sendiri, akan tetapi menyangkut rentannya perlindungan negara terhadap aktivis HAM.
Meskipun PTUN membatalkan putusan KIP, majelis hakim memerintahkan pada Sekretariat Negara untuk menelusuri dokumen dalam rangka tata kelola pemerintahan yang baik. Dengan adanya pengakuan dari Sekretariat Negara bahwa dokumen asli hasil TPF Munir tidak ada di arsip negara, menunjukkan betapa buruk dan tidak seriusnya negara dalam menangani kasus Munir dan mengelola arsip negara.
Sebagai dokumen negara dan bersifat rahasia, tentu ada konsekuensi hukum bagi yang dengan sengaja dan/atau lalai sehingga berakibat pada hilangnya dokumen.
Pasal 53 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menegaskan bahwa “setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, dan/atau menghilangkan dokumen Informasi Publik dalam bentuk media apa pun yang dilindungi negara dan/atau yang berkaitan dengan kepentingan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).”
Putusan PTUN bisa mengukuhkan kurangnya nyali dan keberanian negara untuk menyelesaikan kasus pembunuhan Munir, dengan alasan administratif, yaitu ketiadaan dokumen.
Menginjak usia ketiga pemerintahan Joko Widodo, hampir tidak ada langkah kongkret dalam mengusut kasus Munir. Padahal, Presiden Jokowi dalam pertemuan konsultatif dengan para pakar hukum pada akhir 2016 menyampaikan bahwa kasus Munir menjadi salah satu prioritas penegakan hukum yang akan dituntaskan.
PTUN telah memerintahkan Setretariat Negara untuk menelusuri dan menemukan dokumen asli TPF Pembunuhan Munir. Sebagai negara yang berlandaskan hukum (rule of law), putusan pengadilan harus dihormati dan dilaksanakan oleh Presiden Jokowi dengan menentukan langkah dan strategi dan batas waktunya agar dokumen asli TPF Pembunuhan Munir segera ditemukan.
Tanpa target waktu yang jelas dan terukur, publik dan terutama keluarga Munir dan sahabatnya akan kembali menonton drama sebuah pemerintahan yang dianggap tidak mampu dan lalai dalam menyimpan dan mengelola dokumen negara dan mengabaikan hak atas keadilan. Sekali lagi, putusan PTUN memang membatalkan putusan KIP, akan tetapi memberikan tanggung jawab dan kewajiban pada Sekretariat Negara untuk segera menemukan dokumen asli TPF Pembunuhan Munir.
Ketiadaan dokumen asli TPF Pembunuhan Munir jangan lantas membuat upaya negara kendor dalam menuntaskan kasus Munir. Tim Eksaminasi Pengadilan Kasus Munir yang dibentuk oleh Komnas HAM pada 2009 dan merampungkan pemeriksaannya pada 2010 telah merekomendasikan supaya dilakukan penyelidikan lagi atas kasus pembunuhan Munir.
Menurut Komnas HAM, persidangan kasus Munir memiliki sejumlah kelemahan, yaitu jaksa yang tidak profesional, hakim pengadilan negeri yang gagal menghadirkan sedikitnya dua saksi kunci, serta kurangnya pengalaman hakim yang meninjau kembali putusan sidang sebelumnya. Komnas HAM merekomendasikan supaya polisi membuka penyelidikan baru hingga memungkinkan jaksa mengajukan peninjauan kembali.
Dengan mengacu pada rekomendasi Komnas HAM, Presiden Jokowi didorong untuk memerintahkan penegak hukum mengusut tuntas kasus pembunuhan Munir dengan mencari dan memeriksa pihak-pihak yang diduga terlibat tanpa pandang bulu. Di antaranya, melakukan pemeriksaan terhadap anggota TPF Pembunuhan Munir dan pihak lain yang memiliki informasi berharga untuk menguak aktor intelektual di balik kematian Munir hingga tuntas.