Jumat, Maret 29, 2024

Salah Kaprah Publik Memahami Putusan MK tentang Zina

Adelline Syahda
Adelline Syahda
Peneliti Kode (Konstitusi & Demokrasi) Inisiatif, Jakarta. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

Hari-hari ini publik berisik merespons ditolaknya pengujian tiga pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyangkut pidana untuk delik perzinaan, pemerkosaan, dan pencabulan oleh Mahkamah Konstitusi. Permohonan ini ditolak karena menurut MK pengujian yang dimohonkan tidak beralasan hukum.

Putusan ini bikin heboh karena dimaknai sebagian publik sebagai gerbang pelegalan berbagai tindakan asusila seperti kumpul kebo, seks bebas di luar nikahprostitusi, LGBT, dan pencabulan sesama jenis. Sebagian publik menuding MK menolak dalil permohonan untuk memberikan sanksi pidana atas berbagai tindakan asusila yang sebelumnya tidak terjangkau dalam pengaturan KUHP.

Cibiran bermunculan kepada institsui MK, bahkan personal hakim pemutus, pasca putusan ini dibacakan. Terjadi simpang siur pemahaman publik dalam menerjemahkan putusan MK ini. Namun, sayangnya, putusan setebal 467 halaman ini (Putusan MK No 46/PUU-XIV/ 2016), belum benar-benar dikuliti publik, mulai dari dalil permohonan, pertimbangan hakim  hingga sebab ditolaknya permohonan pemohon melalui amar putusannya.

Sebelum memahami substansi perdebatan, judicial review (JR) ini diajukan pada 19 April 2016 kepada MK oleh 12 perorangan WNI dengan latar belakang berbeda-beda dan dikuasakan kepada 35 orang kuasa hukum. Alasan pemohon melakukan JR ini berangkat dari kegelisahan dan keresahan akan fenomena sosial, tindakan asusila yang berkembang semakin liar di tengah masyarakat dan berakibat timbulnya kerusakan moral di lingkungan masyarakat.

Maraknya fenomena ini ternyata tidak terjangkau oleh pengaturan pasal-pasal yang diatur dalam KUHP (yaitu pasal 284 tentang pidana bagi pelaku perzinaan, pasal 285 pidana pelaku pemerkosaan, dan pasal 292 tentang pencabulan dan pidana pelaku). Pemohon beranggapan ketiadaan pengaturan dalam pasal KUHP menyebabkan rusaknya sistem tatanan sosial karena tidak lagi sesuai dengan perkembangan hukum.

Dari kasus tersebut, pemohon meminta MK melakukan kebijakan pidana (criminal policy) dengan memperluas cakupan/ruang lingkup, mengubah jenis-jenis perbuatan yang dapat dipidana dalam pasal- pasal KUHP (kebijakan kriminalisasi), karena menganggap pasal tersebut tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat.

Dengan demikian, berarti MK diminta tidak hanya memperluas ruang lingkup perbuatan yang sebelumnya bukan pidana, tetapi juga mengubah sejumlah hal pokok atau prinsip dalam hukum pidana, bahkan merumuskan tindak pidana baru dengan mengubah rumusan delik yang terdapat di dalam KUHP. Sehingga dengan sendirinya bukan hanya mengubah kualifikasi perbuatan yang dapat dipidana saja, tetapi juga kualifikasi subjek/orang yang dapat diancam pidana karena melakukan perbuatan tersebut.

Jika dipahami dalam lingkup pembagian tugas masing-masing lembaga negara, jelas bahwa permohonan pemohon kepada MK untuk merumuskan suatu jenis tindak pidana baru/norma baru adalah sesuatu yang hanya pembentuk UU yang berwenang melakukannya, yaitu legislatif (pertimbangan hukum hlm. 439/467). Dan bukan menjadi kewenangan dari MK sebagai lembaga yudikatif.

Konstitusi telah memberikan batasan yang jelas bahwa salah satu kewenangan MK adalah menguji UU terhadap UUD 1945 Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Ini artinya MK hanya dapat membatalkan suatu UU (teori negatif legislator), bukan justru membuat norma (positif legislator). MK tidak dapat mengambil kewenangan legislatif (DPR dan Pemerintah) dalam membuat suatu UU. Hal yang harus diketahui ada perbedaan kewenangan antara  MK dengan DPR.

Maka, untuk menyatakan suatu tindakan dapat dikategorikan dalam tindakan pidana, dapat dipidanakan, dan memperluas suatu cakupan norma yang sebelumnya tidak terkandung dalam UU bukan menjadi ranah kewenangan MK, melainkan tugas DPR bersama pemerintah selaku pembentuk UU.

MK juga tidak boleh masuk ke dalam wilayah politik hukum pidana (criminal policy), sebab kebijakan pidana atau politik hukum pidana berbeda dengan hukum lainnya. Hukum pidana dengan sanksi yang keras meliputi perampasan kemerdekaan bahkan nyawa seseorang harus dirumuskan berdasarkan legitimasi negara.

Selain itu, konstruksi rumusan tersebut harus datang dari persetujuan rakyat, dalam hal ini terejahwantahkan melalui DPR selaku perwakilan rakyat yang dipilih langsung oleh rakyat sebagai pembentuk UU, bukan melalui putusan hakim/ pengadilan. Karenanya, kewenangan tersebut adalah murni sepenuhnya berada pada wilayah kewenangan legislatif selaku pembentuk UU.

Inilah yang menjadi argumentasi kunci kenapa kemudian MK menyatakan permohonan yang diajukan terhadap pasal 284, 285, dan 292 dinyatakan tidak memiliki alasan hukum dan ditolak. Bahkan dalam pertimbangan hukum MK point 7 (hlm. 452/467), terhadap pembaharuan yang ingin dicapai oleh para pemohon, MK tidak sama sekali menolak gagasan pembaharuan pemohon, namun idealnya gagasan pembaharuan ini akan tepat alamat jika ditujukan kepada pembentuk UU.

Ihwal pengaturan dalam KUHP yang belum lengkap adalah murni tugas pembentuk UU untuk menyempurnakannya dengan memperhatikan perkembangan yang ada di tengah masyarakat. Dengan demikian, dengan ketidaklengkapan norma UU atau tidak sepenuhnya norma UU mampu mengakomodasi aspirasi yang berkembang tidak berarti menjadikan MK bisa menyatakan suatu norma bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional), lebih- lebih dalam bidang hukum pidana.

Dalam kasus permohonan ini MK menyatakan bahwa pasal- pasal dalam KUHP yang dimohonkan pengujian tidak sama sekali ada yang bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan konstitusional.

Setelah mengetahui titik permasalahan secara terang, bisa dipahami bahwa ditolaknya permohonan JR terhadap tiga pasal yang didalilkan ini karena jelas bukan merupakan kewenangan MK dalam memperluas suatu norma. Apalagi terhadap kebijakan hukum pidana yang berkaitan erat dengan konsep pemidanaan yang merupakan kewenangan an sich pembentuk UU/lembaga legislatif.

Justru akan menjadi bahaya jika MK mengabulkan, karena ini jelas abuse of power, bersikap sewenang-wenang (melebihi kewenangannya dengan mencaplok kewenangan lembaga lainnya). Juga jika MK menyatakan pasal yang dimohonkan adalah inkonstitusional, maka  akan terjadi kekosongan hukum terhadap pasal-pasal yang telah dibatalkan tersebut sampai terbentuknya pengaturan yang baru oleh pembentuk UU. Hal ini tentu akan lebih membahayakan.

Pendeknya, keputusan MK menolak JR sudah sesuai dengan aturan main kewenangan MK sebagai penafsir konstitusionalitas UU terhadap UUD 1945 (the sole interpreter of the constitution). Gagasan pembaharuan ini sepenuhnya menjadi dorongan agar DPR dan pemerintah sebagai cabang kekuasaan legislatif segera menyelesaikan revisi RUU KUHP demi dapat mengakomodasi berbagai bentuk perkembangan yang hadir di masyarakat.

Kolom terkait:

Mengapa LGBT Begitu Dibenci?

Tuhan Pelangi di Mahkamah Konstitusi

LGBT Bukan Penyakit dan Identitas Seksual

Ketika LGBT Dibenci Lebih dari Yahudi [Catatan Gender 2016]

LGBT Tidak Pernah Memilih

Ada Apa dengan LGBT?

Adelline Syahda
Adelline Syahda
Peneliti Kode (Konstitusi & Demokrasi) Inisiatif, Jakarta. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.