Jumat, April 26, 2024

Prahara Pengesahan UU MD3

Adelline Syahda
Adelline Syahda
Peneliti Kode (Konstitusi & Demokrasi) Inisiatif, Jakarta. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.

Meski seolah terjal dan diikuti aksi walk out oleh dua fraksi, akhirnya perubahan UU MD3 tetap dilakukan. Namun, perubahan kedua UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR,DPD, DPRD (MD3) menyisakan penolakan di tengah publik. Tak sedikit yang menilai bahwa kehadiran pasal krusial hasil perubahan telah mentransformasi lembaga perwakilan rakyat menjadi tak tersentuh kritik. Bebera pasal yang menuai kritik adalah Pasal 73, 122, dan 245 UU MD3 hasil perubahan.

Membaca landainya penolakan, Presiden Joko Widodo yang semula tidak mengetahui agaknya menujukkan sikap untuk tidak menandatanganinya. Meskipun UU hasil perubahan tersebut telah mendapat persetujuan bersama antara Presiden dan DPR setelah tahap pembahasannya.

Situasi ini menjadi patut dipertanyakan, bagaimana mungkin Presiden tidak mengetahui riuh rendah perdebatan RUU yang telah mendapat persetujuan bersama antara Presiden dan DPR. Padahal posisi Presiden diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM. Di satu sisi, kondisi ini menunjukkan betapa lemahnya kontrol/fungsi pengawasan Presiden terhadap menteri yang mewakilinya dalam pembahasan RUU ini.

Hal ini juga menjadi penanda ketidakpekaan Presiden terhadap perdebatan di ruang publik selama proses pembahasan berlangsung. Di lain sisi, ada sinyal koordinasi yang tidak berjalan antara Presiden dan Menteri Hukum dan HAM.

Keputusan untuk tidak menandatangani tentu menjadi pilihan Presiden. Dengan atau tidak ditandatanganinya UU MD3 oleh Presiden, UU ini pun akan tetap berlaku. Sebagaimana yang tercantum Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 terdapat limitasi waktu bagi Presiden, yaitu  “dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib disahkan”. 

Hal yang sama kemudian juga ditegaskan dalam Pasal 73 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Artinya, setelah durasi 30 hari tersebut, UU hasil perubahan tersebut sah dan wajib diundangkan (penempatan dalam lembaran negara).  Artinya, sikap Presiden hanyalah pilihan politis atau bahkan cenderung mengamankan diri dari publik.

Jika hal ini yang dipilih, dengan sendirinya UU hasil perubahan menjadi sah dan diundangkan. Dengan keadaan ini dapat dipastikan berbagai permohonan judisial review akan bermuara kepada Mahkamah Konstitusi. Meskipun publik tengah dilanda krisis kepercayaan kepada Mahkamah Konstitusi akibat berbagai prahara yang menimpa satu-satunya lembaga untuk menguji konstitusioanlitas norma UU di Indonesia.

Lebih jauh, jika Presiden memandang penolakan yang timbul di tengah publik sangat penting karena menyangkut keterlibatan publik dan esensi berdemokrasi. Presiden bisa juga menentukan sikap untuk tetap menandatangani UU MD3 hasil perubahan dan kemudian mencabut keberlakuannya dengan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang).

Peristiwa ini pernah dilakukan di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyon, yang mencabut pemberlakuan perubahan UU Pilkada tidak langsung menggunakan Perppu.

Proses Pembahasan

Pedoman mutlak dalam penyusunan peraturan perundang-undangan adalah UU Nomor 12 Tahun 2011. Merujuk pada Pasal 67 UU A quo, pembahasan RUU harus dilakukan melalui pembicaraan tingkat satu dan pembicaraan tingkat dua. Pada pembicaraan tingkat satu, pemerintah menyampaikan pandangan atas penjelasan yang diberikan DPR, mengajukan daftar inventaris masalah (DIM) serta pendapat mini. Hal ini dikarenakan RUU berasal dari DPR.

Jika RUU berasal dari pemerintah sebaliknya. Jika RUU berasal dari DPR pun melewati tahapan yang sama. Barulah di pembicaraan tingkat dua merupakan pengambil keputusan dalam rapat paripurna.

Pada tahap ini dilaporkan hasil pembicaraan tingkat satu, lalu persetujuan atau penolakan dari tiap fraksi hingga pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh Menteri yang ditugasi. Jika mendapat persetujuan bersama, maka akan disahkan oleh Presiden sesuai ketentuan UUD dalam batasan waktu yang berlaku. Jika tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, RUU tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan masa itu.

Membaca secara saksama tahapan yang mesti dilalui berdasarkan ketentuan UU A quo, mestinya sangat kecil kemungkinan Presiden sama sekali tidak mengetahui perubahan apa yang dilakukan dalam UU MD3 ini. Lebih-lebih ada tahapan bagi Presiden/Menteri yang mewakili untuk menyampaikan pandangan atas usulan pasal perubahan yang digulirkan oleh DPR. Ada juga daftar inventaris masalah yang diajukan dalam tahapan itu.

Ke depan, kejadian ini menjadi pelajaran penting bagi Presiden dan menteri yang mewakili dalam  tugas pembahasan berbagai RUU. Bagaimanapun, menteri selaku bawahan Presiden harus memberikan laporan kepada Presiden. Dan Presiden juga harus mampu mendengar degup jantung perbincangan publik yang muncul di berbagai media masa, cetak ataupun media sosial sebagai bentuk kepekaan Presiden.

Kolom terkait:

DPR Kita, Makin Sakti Makin Sakit

Wajah Seram Senayan

UU MD3 Siasat DPR Menipu Rakyat

Memaknai Kritik di Alam Demokrasi

Menyoal UU MD3 DPR, Mengerikan?

Adelline Syahda
Adelline Syahda
Peneliti Kode (Konstitusi & Demokrasi) Inisiatif, Jakarta. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.