Putusan hakim tunggal Cepi Iskandar yang mengabulkan permohonan Setya Novanto untuk mencabut status tersangkanya sudah selesai. Artinya, kita, bagaimanapun tidak menerimanya, ya harus menerima. Dalam formalisme-prosedural hukum positif kita, putusan itu “harus dihormati”, sebagaimana sudah diakhiri dengan ketokan palu hakim di ruang sidang.
Bahwa ada yang dirasakan tidak sebagaimana seharusnya sebuah pertimbangan hakim praperadilan (misalnya, ICW mencatat setidaknya ada enam kejanggalan pertimbangan hakim), itu tidak berarti apa-apa dalam konteks putusan. Dalam konteks control-check and balances, kita bisa saja menggunakan temuan kejanggalan itu untuk mengawal kasus-kasus di masa depan.
Memang, kejanggalan itu nyata-nyata sulit diterima logika (hukum). Misalnya, yang paling kentara, hakim merasa alat bukti yang dipakai di persidangan Irman Gusman dan Sugiharto tidak bisa dijadikan dasar “dua alat bukti yang cukup” untuk mentersangkakan Setya Novanto. Padahal, diduga keras melalui alat bukti itulah adanya keterlibatan Setya Novanto.
Dalam teori penyertaan (deelneming), tidak mungkin tiga orang pencuri ayam, misalnya, saat satu orang berhasil kabur dan dua tertangkap lebih dulu dengan barang bukti ayam curian itu, lalu yang satu lagi tak bisa diperkarakan dengan ayam yang sama. Pengandaian ini adalah yang paling mudah untuk menjelaskan bahwa dalam kasus pidana yang dilakukan secara bersama, ada pleger (pelaku), doen pleger (yang suruh), dan mede pleger (yang turut melakukan), alat/barang bukti yang sama dapat digunakan bersama juga.
Yang lain, soal penetapan tersangka apakah di awal atau di akhir (pembedaan ini tidak pernah saya pelajari di kelas) penyelidikan, mengapa menolak diperdengarkan bukti rekaman, menunda keterangan ahli Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didengar, dan sebagainya, sudah tidak penting diperdebatkan. Putusan itu sudah inkracht dan kita harus menghormatinya (?)
Putusan praperadilan tidak punya upaya hukum apa pun: hakim membacakan putusannya, maka putusan itu seketika selesai (final) dan mengikat (binding). Apa yang diputuskan hakim dalam kasus permohonan Setya Novanto bahwa penetapannya sebagai tersangka adalah tidak sah, sudah selesai, dan mengikat. Seketika itu juga Novanto bukan lagi tersangka KPK.
Namun, perlu diingat bahwa praperadilan hanya terkait sisi formil apakah penetapan tersangka Setya Novanto itu sudah sesuai hukum formil atau tidak. Materi perkara yang belum disentuh, putusan hakim Cepi sedikit-sedikit menyinggung pokok perkara, berarti materi dugaan keterlibatan Setya tidak hilang. Maka, KPK terbuka peluang untuk mengeluarkan surat perintah penyidikan (sprindik) baru (Pasal 2 ayat 2 Perma 4/2016).
Sejauh KPK yakin adanya dua alat bukti baru yang cukup, status tersangka bisa diberikan lagi (KPK harus lebih hati-hati dan teliti). Meski tidak untuk kasus Budi Gunawan dan Hadi Purnomo, tapi kasus Ilham Arief Sirajudin bisa diperhatikan. Untuk ini, menurut saya, protes pengacara bahwa salah kalau KPK menerbitkan sprindik baru tidak perlu ditanggapi. Begitulah memang tugas pengacara.
Perhormatan atas putusan ini memang diperlukan untuk menjamin kepastian hukum dan penegakan/penghargaan rule of law. Apalagi dalam hukum ada asas Res Judicata Pro Veritate Habetur: putusan hakim harus dianggap benar. Wow, what a principle! Hakim adalah wakil Tuhan, karena itu apa yang diputuskan hakim harus dianggap benar! Wow!
Namun, suatu putusan juga harus mengena pada tercapainya keadilan di masyarakat. Yang ini yang banyak dirasakan masyarat, sekurang-kurangnya kita bisa lihat dari banyak yang protes setelah putusan dibacakan, sudah dirampas, dan tidak dipedulikan. Maka, putusan hakim Cepi dalam konteks ini bukan bermaksud tidak dihormati, tapi selesai adalah tidak selesai.
Keadilan Diinjak-injak?
Putusan kasus apa pun, artinya bukan soal Novanto ini saja, saat koruptor dihukum ringan bahkan dibebaskan adalah pokok masalah peradilan tindak pidana korupsi. Belum lagi dipenjara, mereka masih bisa bertingkah, ditambah remisi juga. Meski semua prosedur hukum positif terlaksana baik-baik, saat itu juga keadilan masyarakat diinjak-injak.
Ketidakadilan terkait dalam ruang sidang (putusan) bisa terjadi karena dua hal. Pertama, hukum disalahgunakan secara sewenang-wenang karena titipan/pesan kepentingan tertentu (tidak punya moral). Ini membuat pelanggaran atas hak-hak legitim baik pihak dan masyarakat.
Kedua, hukum ditegakkan sembarangan (serampangan) karena tidak ada tanggung jawab (tidak profesional). Yang ini akan memperlebar ketidakaadilan di masyarakat (B. Kusumohamidjojo, 2016: 265).
Terkait itu, dengan merefleksikan kasus besar O.J. Simpson di Amerika Serikat pada 23 tahun lalu, Kusumohamidjojo menegaskan bahwa setiap adanya ketidakadilan berarti di situ ada pemelintiran hukum di balik argumentasi-argumentasi hukum yang cemerlang sekalipun. Karena, bedanya tipis, setipis rambut, maka sulit kita bisa membedakan mana penegakan hukum sebenarnya dan mana yang sebenarnya pemelintiran hukum.
Apakah dalam persidangan dan putusan Setya Novanto ada penegakan atau pemelintiran hukum, tidak bisa dijawab. Sampai saat ini tidak bisa dibuktikan adanya pemelintiran hukum oleh siapa pun dan memang tak ada gunanya juga. Namun, yang pasti, Kusumohamidjojo benar bahwa dalam banyak peradilan dan putusan terkait kasus korupsi, pemelintiran hukum banyak terjadi. Ini yang menginjak-injak rasa keadilan masyarakat.
Persoalan korupsi-mengkorupsi sangat tidak ringkas. Di kasus KTP elektronik, ada duit negara (duit rakyat!) yang hilang entah ke mana, jumlahnya Rp 2 triliun lebih. Permainan dalam pengadaan megaproyek E-KTP memasukkan duit-duit itu ke kantong-kantong para mafioso dan bandit di republik ini. Yang sulit ditangkal, tentu mereka yang bermain, namanya juga mafioso, adalah yang punya kedudukan tinggi dan pengaruhnya besar.
Korupsi KTP elektronik ini juga memberikan dampak sangat luas dan mengerikan. Bukankah lewat KTP masyarakat mengakses banyak hal untuk pemenuhan hak-hak dasar mereka? Hanya dengan KTP, masyarakat punya akses pada sektor pendidikan, segala macam program kesejahteraan, kesehatan, dan pelayanan publik. Jadi, korupsi KTP elektronik adalah dosa berlapis, dosa besar.
Lalu, pertanyaannya, apa yang harus kita lakukan lagi? Kalau putusan praperadilan tidak bisa diutak-atik, hanya harus dihormati saja, KPK kalau memang siap dan yakin berarti tinggal keluarkan sprindik baru bagi yang perlu. Kita juga sudah paham betul kalau korupsi sudah sangat menjijikkan dan merusak kehidupan masyarakat dan bangsa ini.
Jelas bahwa penegakan hukum korupsi harus diperkuat. Jadi, wacana Fahri Hamzah mengusulkan pembubaran KPK dikesampingkan saja, abaikan saja. KPK, meskipun begitu, harus berbenah diri agar secara formal-prosedural tidak mudah diganggu koruptor dan kroni-kroninya. Polisi (dengan densus barunya) dan Kejaksaan harus juga menunjukkan komitmen keras memberantas korupsi agar kepercayaan masyarakat meningkat.
Mahkamah Agung harus konsisten dalam “tekad bersih-bersih” di seluruh tingkat pengadilan. Bahwa baru kita dengar (lagi dan lagi!) seorang hakim pengadilan tinggi tertangkap tangan oleh KPK menandakan masih banyak oknum hakim yang punya masalah integritas yang harus ikut dijaring dalam bersih-bersih itu. Oknum-oknum ini sudah menghina rakyat dengan menginjak-injak rasa keadilan.
Semua itu tidak berarti apa-apa kalau kita, setidaknya yang sadar, tahu ada yang tidak beres karena korupsi merajalela, tapi diam-diam dan tenang saja. Kita harus mulai berani ikut serta dalam usaha pemberantasan korupsi, perang semesta terhadap koruptor, apa pun bentuknya yang sah dan legal. Atau kita diam karena kebetulan kita juga ikut-ikutan korupsi?
Kolom terkait:
Papa Setnov, Jack Sparrow, dan Patah Hati KPK
Tragedi Novel dan Premanisme yang Biadab
Setelah 100 Hari Tragedi Novel Baswedan