Jumat, April 19, 2024

Menyoal Penodaan Bendera

Hifdzil Alim
Hifdzil Alim
Direktur HICON Law & Policy Strategies.

bendera-laailaha
Bendera Merah Putih yang dibubuhi tulisan huruf Arab dan gambar pedang dikibarkan massa ormas Front Pembela Islam (FPI) saat aksi unjuk rasa di depan Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (16/1/2017). [kompas tv]
Dugaan kasus penodaan bendera sedang ramai dibincangkan. Bendera merah putih ditulisi dengan kalimat tauhid. Isunya sudah menyebar ke mana-mana. Misalnya, perkembangan opini mutakhir yang berkembang pada pokoknya menyatakan begini: lebih mulia mana antara bendera merah putih dengan kalimat tauhid?

Bahkan muncul pendapat: tidak apa-apa memuat tulisan di bendera. Bukti untuk mendukung pernyataan demikian adalah beredarnya foto Jenderal Polisi Tito Karnavian mengenakan kain merah putih yang diikatkan ke kepalanya dan terdapat tulisan di dalamnya.

Kalau kalimat tauhid di bendera disebut menodai bendera, maka bisa jadi kain merah putih yang dipasangkan di kepala orang nomor satu di Kepolisian Republik Indonesia itu juga telah menodai bendera. Kira-kira begitu asumsinya.

Posisi Bendera

Bendera diatur bersama-sama dengan Bahasa, Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009. Konsideran undang-undang mengamanatkan, bendera—dan tentunya juga bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan—dinilai sebagai sarana pemersatu, wujud identitas, dan eksistensi bangsa. Oleh karena itu, bendera diposisikan sebagai simbol kedaulatan dan kehormatan negara serta bangsa.

Tatkala bendera diatur sebagai sarana pemersatu, setidaknya satu pertanyaan bakal muncul. Apa atau siapa yang mau dipersatukan oleh bendera?

Apabila dibaca lebih lanjut, ternyata undang-undang menginginkan supaya pengaturan bendera dapat mempersatukan—bahkan memperkuat—persatuan dan kesatuan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tak hanya mengukuhkan persatuan dan kesatuan, undang-undang juga berkepentingan agar aturan tentang bendera dapat menjaga kehormatan, menciptakan ketertiban, kepastian, standardisasi di dalam penggunaannya. Tujuan tersebut tak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya.

Dengan demikian, bendera seyogianya hendak menyatukan persatuan dan kesatuan bangsa serta NKRI. Pada bagian ini, bendera adalah milik semua suku, ras, agama, dan perorangan sepanjang sebagai warga negara Indonesia. Ketika menjadi hak milik, pertanyaan selanjutnya adalah, apakah hak milik tersebut sama dengan konsep hak milik perdata?

Hak milik menimbulkan hak bagi seseorang untuk menguasai, besit, dan memanfaatkan sesuatu yang berada dalam kekuasaannya. Dengan besit atas benda dalam penguasaannya, ia dapat menulisinya dengan kata-kata yang berdasarkan pada keyakinannya. Katakanlah bendera bernilai sebagai benda, maka wujud atas besit tersebut, ia dapat merangkai tulisan apa pun di dalam bendera yang sudah dimilikinya.

Untungnya, konsep kepemilikan atas bendera tak mengikuti konsep besit (penguasaan) seperti dalam hukum perdata atau privat. Penguasaan—dari kepemilikan—atas bendera mengikuti hukum publik. Bendera menjadi milik semua suku, agama, ras, dan setiap perorangan warga negara Indonesia. Ada batas yang disepakati dalam memanfaatkan bendera.

Aturan tentang Bendera

Undang-undang menyebut bendera dalam tiga ketentuan yang berbeda. Pertama, Bendera Negara Sang Merah Putih. Kedua, Bendera yang merepresentasikan Bendera Negara Sang Merah Putih. Ketiga, Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih. Untuk memudahkan penyebutan tiga kategori tersebut, saya menggunakan kata “Bendera Negara” untuk Bendera Negara Sang Merah Putih, “Bendera” untuk representasi Bendera Negara, dan “Bendera Pusaka” untuk Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih.

Setiap bendera memiliki pengaturannya sendiri. Pertama, Bendera Negara dibuat dengan ukuran tertentu dan masing-masing berbeda untuk sepuluh jenis penggunaan. Di lapangan istana kepresidenan, lapangan umum, dalam ruangan, mobil presiden dan wakil presiden, mobil pejabat negara, kendaraan umum, kapal, kereta api, pesawat udara, dan di atas meja.

Kedua, Bendera dipakai untuk keperluan selain sepuluh jenis penggunaan Bendera Negara. Bahan, ukuran, dan bentuk Bendera boleh berbeda dengan Bendera Negara. Maka jangan heran kalau ada Bendera yang bentuknya seperti syal maupun ikat kepala. Atau Bendera dengan ukuran lebih kecil lagi berbentuk lencana yang disematkan di bagian dada sebelah kiri.

Ketiga, Bendera Pusaka dikibarkan tepat pada Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Bendera pusaka saat ini disimpan di Monumen Nasional.

Berikutnya, aturan mengenai penggunaan bendera ditujukan dalam tiga kategori. Pengibaran saja, pemasangan saja, pengibaran dan/atau pemasangan. Tak sembarang waktu dari tiga kategori penggunaan bendera itu dilakukan. Di daerah, momen penggunaan bendera harus diatur lebih lanjut dengan peraturan kepala daerah. Semua pengaturan tersebut semata-mata untuk mendukung tujuan bendera sebagai pemersatu NKRI, menjaga kehormatan, menciptakan ketertiban, kepastian, standardisasi, dan penggunaan bendera itu sendiri.

Meski demikian, aturan tentang bendera bukan tanpa kritik. Pasal 11 ayat (1) UU No. 24 Tahun 2009 menyatakan Bendera Negara dapat dipakai pada atau dalam lima hal: kendaraan atau mobil dinas; pertemuan resmi pemerintah dan/atau organisasi; perayaan agama atau adat; pertandingan olahraga; dan/atau perayaan atau peristiwa lain. Penjelasan terma “perayaan atau peristiwa lain” itu adalah perayaan atau peristiwa yang digunakan sebagai tanda pernyataan kebangsaan dan kegembiraan umum.

Persoalannya, misalnya, apakah demonstrasi masuk kategori perayaan atau peristiwa kebangsaan dan kegembiraan umum? Saya tak akan membahas lebih jauh persoalan ini.

Kurang Jelas

Tujuan bendera melahirkan sakralitas bendera. Dwi warna harus dijaga dan dilindungi kehormatannya. Sayangnya, aturan tentang perlindungan tersebut juga masih menyimpan kekurangjelasan.

Pasal 24 huruf d UU No. 24 Tahun 2009 melarang setiap orang untuk mencetak, menyulam, dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain dan memasang lencana atau benda apa pun pada Bendera Negara. Tafsir terhadap pasal ini—yang saya fokuskan pada pembahasan tentang bendera, bukan pada pembahasan aspek hukum yang lain—adalah sebuah tulisan tidak boleh disematkan pada sepuluh bahan, ukuran, dan bentuk Bendera Negara saja, bukan pada bahan, ukuran, dan bentuk Bendera. Artinya, secara limitatif, sebuah tulisan boleh dicantumkan pada Bendera.

Jika ketentuan dalam Pasal 24 huruf d UU No. 24 Tahun 2009 dijadikan sebagai rujukan, maka tulisan pada Bendera yang saat ini sedang diperiksa kepolisian sedikit rumit untuk dipidanakan. Hal ini dikuatkan dengan Pasal 67 huruf c UU No. 24 Tahun 2009 yang mengatur pemidanaan atas perbuatan terhadap Bendera Negara, bukan terhadap Bendera atau Bendera Pusaka.

Perihal yang ingin saya tekankan adalah undang-undang memang tak cukup jelas mengatur unsur larangan perbuatan atas Bendera, sehingga penerapan hukumya menjadi agak lemah. Oleh karena itu, saya pikir sangat penting kiranya dilakukan pembaharuan terhadap Undang-Undang tentang Bendera agar penerapan terhadapnya tidak keliru. Lagi pula, bukankah ketika menerapkan hukum harus adil sejak dalam pikiran?

Hifdzil Alim
Hifdzil Alim
Direktur HICON Law & Policy Strategies.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.