Mahkamah Agung barangkali sedang mengalami krisis kepercayaan publik. Setelah menjadi buah bibir pasca pelantikan Ketua Dewan Perwakilan Daerah RI Oesman Sapta Odang yang dipandang tidak cakap hukum, kini MA kembali ditikam kritik usai menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2017 tentang Pengadaan Hakim.
Percepatan rekrutmen hakim ini dinilai cukup kontroversial mengingat proses legislasi RUU Jabatan Hakim yang hingga kini masih belum jelas kelanjutannya. Langkah MA terkesan gegabah dan terburu-buru dalam menyikapi kekurangan jumlah hakim.
Rekrutmen hakim yang hendak dilakukan MA saat ini seolah-olah semakin menegaskan keengganan MA untuk melakukan reformasi peradilan melalui rekrutmen hakim yang transparan dan partisipatif. Betapa tidak, merujuk pada Pasal 2 ayat (2) Perma Nomor 2 Tahun 2017, rekrutmen hakim tersebut akan dilaksanakan dengan menggunakan mekanisme Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
Padahal, MA pasti paham betul bahwa hakim sejatinya bukanlah pegawai negeri, melainkan pejabat negara yang landasan hukumnya berbeda dengan rekrutmen pegawai negeri sipil yang umum dipahami. Konstelasi ini semakin menggiring asumsi bahwa rekrutmen hakim yang hendak dilakukan MA tidak akan transparan. Bahkan, cenderung melanggengkan dinasti keluarga yang menjangkiti MA sejak lama.
Secara teoretis, keinginan MA untuk melakukan rekrutmen hakim secara mandiri (appointment by judiciary itself) ada benarnya demi mewujudkan kekuasaan kehakiman yang independen dan imparsial. Apalagi keinginan itu juga diakomodasi oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya Nomor 43/PUU-XIII/2015 tentang pengujian terhadap UU Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pengadilan Agama, dan UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang PTUN.
MK menegaskan bahwa proses rekrutmen hakim (judicial selection and appointment) merupakan kompetensi MA. Lebih jauh MK menukilkan bahwa ketentuan UU yang mengharuskan rekrutmen hakim dilakukan bersama dengan Komisi Yudisial adalah inkonstitusional, sebab dapat mengancam independensi Mahkamah Agung.
Sayangnya, lembaga negara sekelas MK pun tidak menyadari bahaya rekrutmen hakim semacam ini. Apabila proses rekrutmen hakim dilaksanakan secara mandiri oleh MA tanpa melibatkan pihak lain, bisa dipastikan akan berdampak pada memburuknya kualitas hakim yang dihasilkan. Sebab, tidak bisa dipungkiri hingga tahun 2017 reputasi dan kredibilitas MA sedang berada pada titik terendah.
Kentalnya praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme serta manuver politik praktis yang terjadi di tubuh MA saat ini tidak lagi terbantahkan. Maka, akan sangat sulit untuk bisa mempercayakan MA sebagai satu-satunya institusi tunggal yang berwenang melakukan rekrutmen hakim.
Posisi Terpojok
Di sisi lain, jika ditelisik lebih dalam MA juga memiliki argumentasi yang cukup kuat untuk melakukan rekrutmen hakim dalam waktu dekat. Jamak diketahui bahwa MA saat ini mengalami penurunan jumlah sumber daya hakim seiring dengan proses rekrutmen hakim yang mangkrak sejak tahun 2010.
Berdasarkan beban kerja MA pada tahun 2015, kebutuhan hakim pengadilan tingkat pertama dan banding sebanyak 12.847 orang. Sementara itu, jumlah hakim yang ada saat ini baru 7.989 orang. Artinya, MA masih kekurangan 4.858 personel agar dapat melaksanakan fungsinya secara efektif.
Terlebih jika harus menunggu RUU Jabatan hakim untuk dirampungkan, maka MA akan tersandera proses legislasi yang alot di DPR. Kalaupun kemudian dalam waktu dekat RUU Jabatan Hakim disahkan, maka akan ada konsekuensi MA kehilangan sumber daya hakim semakin banyak akibat penyesuaian ketentuan masa pensiun dalam RUU Jabatan Hakim.
Pasal 52 ayat (2) RUU Jabatan Hakim menegaskan bahwa masa pensiun hakim adalah pada saat telah berumur 60 Tahun untuk hakim tingkat pertama, 63 tahun untuk hakim pengadilan tinggi, dan 65 tahun untuk hakim agung. Dengan demikian, mutatis mutandis masa bakti hakim akan lebih singkat. Konstelasi inilah yang membuat MA semakin terpojok dan berinisiatif menabrak ketidakpastian regulasi tersebut melalui pengadaan hakim secara mandiri.
Menghormati Proses Legislasi
Memang sejauh yang bisa diamati, satu-satunya jalan untuk menuntaskan kegusaran yang dihadapi MA saat ini adalah dengan melakukan rekrutmen hakim secepatnya. Namun, harus digarisbawahi bahwa tanpa adanya sumber legitimasi yang jelas rekrutmen hakim yang akan dilakukan MA hanya akan mencederai nilai-nilai kepastian hukum.
Tulisan ini seakan menyegarkan kembali ingatan saya pada pesan Gustav Radbuch, hukum bertujuan untuk mewujudkan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan. Ketikia tiga tujuan hukum ini bertabrakan, maka kepastian hukum adalah yang utama. Berkaca pada polemik yang dihadapi MA saat ini, seharusnya MA terlebih dahulu menahan ambisi untuk melakukan rekrutmen hakim dan menunggu RUU Jabatan Hakim dirampungkan sebagai sumber legitimasi pelaksanaannya.
Kemudian, pola rekrutmen hakim yang hendak dilaksanakan MA nanti harus transparan dan melibatkan seluruh stakeholders yang ada seperti Komisi Yudisial (KY), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Tujuannya adalah untuk meminimalisasi praktik nepotisme dan politik praktis yang seringkali dituduhkan pada Mahkamah Agung.
Keikutsertaan KY dalam penilaian etika dan perilaku calon hakim, serta kontribusi KPK dan PPATK dalam melacak track record calon hakim berperan penting untuk menjamin proses rekrutmen hakim berjalan secara akuntabel dan menghasilkan hakim berkualitas.
Akhirnya, peta persoalan rekrutmen hakim MA ini bisa dipecahkan dengan terlebih dahulu menuntaskan proses legislasi RUU Jabatan Hakim di DPR. Selain memberikan kejelasan status jabatan hakim sebagai pejabat negara, RUU Jabatan Hakim dapat diposisikan sebagai sumber legitimasi untuk MA melakukan rekrutmen hakim secara transparan dan partisipatif.