Di awal Januari 2018, setelah tiada kabar selama berbulan-bulan, isu amandemen Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHAP/KUHP), kembali menyeruak.
Diduga setidaknya ada tiga kelompok kepentingan terkait dengan RUU KUHAP/KUHP. Pertama, kelompok yang menginginkan adanya perubahan mendasar dan progresif atas UU KUHAP/KUHP. Kedua, mereka yang memanfaatkannya untuk kepentingan politik dan popularitas. Dan ketiga, mereka yang diduga mempunyai agenda tertentu, di antaranya untuk memperlemah pemberantasan korupsi dan penegakan hak asasi manusia (HAM).
Kita paham bahwa KUHAP dan KUHP yang menjadi pedoman dalam penegakan hukum, baik secara materiil maupun formil, adalah hukum warisan Belanda yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Namun, materi maupun proses pembahasan RUU KUHAP dan KUHP harus bisa menjamin terwujudnya kualitas penegakan dan supremasi hukum.
Sebagai sumber hukum yang sifatnya umum, KUHAP dan KUHP menjadi pedoman utama bagi aparatus penegakan hukum. Dalam hal KUHAP dan KUHP tidak mampu mengakomodiasi kebutuhan penegakan hukum yang sifatnya khusus dan spesifik, maka dibuat berbagai undang-undang khusus (lex specialis), misalnya Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang tentang Pengadilan HAM.
Dalam pembahasan RUU KUHAP dan KUHP, tercatat beberapa lembaga negara pernah menyatakan keberatannya, di antaranya Komisi Pemberantasan Korupsi, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Mahkamah Agung, Polri, dan Komnas HAM.
Pertama, di dalam RUU KUHP diatur ketentuan tentang kewenangan KPK untuk menyadap harus melalui persetujuan Ketua Pengadilan Negeri. Padahal, kewenangan menyadap terbukti sangat efektif untuk menangkap tangan para koruptor dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT). Ketentuan tentang penyadapan ini diatur di dalam Pasal 302-305 RUU KUHP.
Penyadapan yang dilakukan KPK dituduh melanggar HAM karena mengganggu hak atas privasi. Namun, pembatasan HAM dibenarkan menurut Pasal 73 UU tentang Hak Asasi Manusia, utamanya untuk kepentingan umum, dalam hal ini pemberantasan korupsi.
Korupsi telah menjadi penyakit kronis dan musuh bersama masyarakat. Anehnya, di dalam RUU tersebut, korupsi hanya dianggap kejahatan pidana biasa. Dengan demikian, tidak ada sifat keluarbiasaan (extraordinary) dari korupsi. Padahal, korupsi adalah bentuk dari pelanggaran HAM baik hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Korupsi telah merampas uang publik yang seharusnya untuk pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Korupsi telah mengakar dan sistemik, yang melibatkan aktor di hulu hingga hilir, yaitu para penyelenggara negara, politisi, pelaku ekonomi, dan masyarakat umum. Modus serta metode korupsi pun semakin sangat canggih, bahkan melibatkan aktor internasional, lintas negara dan memakai uang virtual. Dengan demikian, korupsi tidak mungkin bisa ditangani secara biasa.
Kedua, RUU KUHAP dikhawatirkan akan mengamputasi dan membatasi kewenangan lembaga-lembaga negara, misalnya kewenangan penyelidikan yang selama ini diemban di antaranya oleh Polri di ranah pidana dan Komnas HAM dalam kasus pelanggaran HAM berat, di mana dalam RUU KUHAP akan digabungkan dengan penyidikan. Padahal, keduanya mengemban fungsi yang berbeda. Penghapusan kewenangan penyelidikan di dalam RUU KUHAP tidak beralasan. Di sini hanya disebutkan bahwa penyidikan sebagai tahap awal proses penegakan hukum (Pasal 6–39).
Di Pasal 10 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, disebutkan hukum acara atas perkara pelanggaran HAM berat, kecuali ditentukan lain, berdasarkan pada KUHAP. Dengan penghapusan kewenangan penyelidikan akan mengancam hak para korban pelanggaran HAM berat dalam memperoleh keadilan. Padahal, potensi dan indikasi pelanggaran HAM berat pada masa mendatang sangat besar. Sampai kini penyelidikan atas setidaknya 9 (sembilan) pelanggaran HAM erat di masa lalu terhenti di tingkat lebih lanjut.
Penyidikan tanpa didahului oleh penyelidikan bisa mengakibatkan penegakan hukum yang timpang dan bias. Penyelidikan adalah proses fundamental penegakan hukum dalam sistem yang menjunjung tinggi asas rule of law, karena penyelidikan merupakan langkah awal untuk menentukan ada tidaknya tindak pidana.
Tanpa penyelidikan bisa terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dan pelanggaran HAM karena seseorang bisa ditetapkan sebagai tersangka tanpa proses yang dapat dipertanggungjawabkan di hadapan hukum dan HAM. Asas praduga tidak bersalah dan akuntabilitas pun terabaikan.
Ketiga, keinginan untuk mempertahankan hukuman mati di dalam RUU KUHP juga mengecewakan, karena hak hidup adalah non derogable rights atau HAM yang tidak bisa dikurangi dan dibatasi dalam keadaan dengan alasan apa pun, sebagimana diatur di Pasal 4 UU tentang HAM. Hukuman mati ini di antaranya termuat di Pasal 99 dan Pasal 299 RUU KUHP.
Keempat, di dalam RUU KUHP, jenis pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan atas kemanusiaan, genosida, agresi, dan kejahatan perang, diatur di Pasal 400 sampai Pasal 406. Dengan dimasukkannya jenis pelanggaran HAM berat di dalam RUU KUHP, maka perbuatan itu dianggap sebagai ordinary crime, bukan extraordinary crime. Hal ini bertentangan dengan hukum internasional, yaitu Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional.
Kita sepakat bahwa RUU KUHAP/KUHP harus disesuaikan dengan kondisi kekinian, konteks sosial, hukum, dinamika publik, dan kebutuhan zaman. Untuk itu, proses dan hasil pembahasan RUU KUHAP/KUHP harus mampu mewujudkan tatanan hukum yang mampu melindungi HAM yang berkualitas, bukan sebaliknya.
Kolom terkait:
Kaleidoskop 2017: Tahun-Tahun Komodifikasi dan Stagnasi HAM
Saatnya Jokowi Memerdekakan Korban Pelanggaran HAM