Sebanyak 7 orang calon anggota Komisi Nasional Hak Asasi manusia (Komnas HAM) untuk periode 2017-2022 telah dipilih secara mufakat oleh Komisi III DPR RI pada 3 Oktober 2017 lalu. Komposisi anggota atau komisioner sebanyak 7 orang adalah yang paling ramping dibandingkan periode-periode sebelumnya. Pada periode 2012-2017, ada 13 orang komisioner dan 11 orang komisioner pada periode 2007-2012. Sebelumnya jumlah komisioner di atas 20 orang.
Keputusan Komisi III memilih tujuh orang tentu tidak tiba-tiba, tetapi berdasarkan kesepakatan dengan Panitia Seleksi yang dipimpin oleh Profesor Jimly Asshiddiqie, yang dilatarbelakangi oleh banyak faktor dan alasan.
Di antaranya adalah ketidak-kompakan komisioner Komnas HAM saat ini yang akan segera berakhir masa tugasnya pada minggu kedua November 2017. Persoalan utama muncul terutama bermula dari keputusan mereka yang memangkas masa jabatan pimpinan (ketua dan wakil ketua) Komnas HAM dari 2,5 tahun menjadi hanya 1 tahun.
Keputusan ini berimplikasi sangat panjang dan sistemik. Karena, alih-alih fokus pada pencapaian kinerja yang berkelanjutan, pergantian jabatan setahun sekali memutus soliditas internal secara signifikan dan pengendalian secara internal.
Memaknai primus inter pares atau prinsip kesetaraan antar komisioner tentu bukan dengan cara membagi jatah jabatan pimpinan, akan tetapi seharusnya lebih pada aspek substansi dan koordinasi yang efektif antar komisioner. Hal ini menjadi tantangan sekaligus gebrakan awal dan prinsipal dari komisioner 2017-2022 agar tidak terjebak pada persoalan jabatan sedari awal.
Implikasi dari komposisi komisioner sebanyak 7 orang adalah mutlak adanya penguatan struktur dan sistem kelembagaan. Karena, nanti setiap subkomisi akan dipimpin oleh 1 orang komisioner saja.
Subkomisi itu membidangi fungsi penelitian/pengkajian, pendidikan/penyuluhan, pemantauan/penyelidikan dan mediasi. Hal ini diatur di dalam Pasal 89 ayat 1, 2, 3, dan 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Struktur kelembagaan yang saat ini berada di bawah sekretariat jenderal harus diubah agar komisioner disokong secara penuh dan efektif secara manajerial dan substansi.
Struktur yang ada saat ini tidak kompatibel dengan mandat dan fungsi Komnas HAM yang harus bergerak leluasa dan strategis dalam banyak hal dan peristiwa, dan menjalankan mandat tiga undang-undang, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia, UU tentang Pengadilan HAM, dan UU tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Apabila tidak diubah, 7 orang komisioner akan kewalahan menjalankan mandat dan tugasnya.
Hal ini terutama dengan mandat pemantauan, penyelidikan, dan mediasi yang menangani ribuan kasus setiap tahunnya. Struktur, sistem, dan kapasitas di bagian ini harus diperkuat dan di-uprade sehingga mampu mendukung tugas dan mandat komisioner.
Pola pendekatan dan penanganan pengaduan juga harus diubah, tidak lagi berbasis pada kasus atau peristiwa (case based). Namun, harus beranjak ke pendekatan kebijakan dan sistem, agar lebih komprehensif dan mampu meneropong kasus-kasus secara lebih efektif dan strategis.
Selain itu, pendekatan yang bertumpu pada pendayagunaan teknologi informasi harus dikembangkan dan diperkuat. Hal ini berlaku terutama dalam sistem penanganan kasus agar lebih terintegrasi dan terukur output dan capaiannya. Untuk ini, yang dibutuhkan bukan hanya infrastruktur fisik, tapi juga non-fisik, khususnya sumber daya manusia dan kebijakannya.
Database HAM mutlak dibangun dan dikembangkan karena, sejak berdiri 1993, data dan informasi Komnas HAM belum dikelola secara baik. Padahal, data dan informasi adalah aset yang sangat berharga bagi Komnas HAM dan juga negara.
Oleh karenanya, komisioner 2017-2022 pada paruh awal masa jabatannya seyogianya fokus untuk membangun sistem dan kelembagaan lantaran belum padu dan serasi sampai saat ini. Aspek-aspek apa yang perlu diperhatikan dan dibenahi bisa ditelaah dari dokumen evaluasi dan asesmen yang telah dilakukan oleh banyak lembaga terhadap Komnas HAM.
Selain itu, tentu saja pelayanan publik harus dijalankan, khususnya terkait dengan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang sudah mandeg sekian lama, dan harus didorong penegakan hukumnya secara bermartabat.
Meskipun banyak tantangan, ada peluang Komnas HAM periode 2017-2022 membawa harapan dan era baru memajukan dan menegakkan HAM di Tanah Air.
Kolom terkait:
Saatnya Jokowi Memerdekakan Korban Pelanggaran HAM
Indonesia dan Year of Living Dangerously [Catatan HAM 2016]
Saat Penegakan HAM Era Jokowi Tak Berarah