Selasa, April 16, 2024

Melindungi Novel, Mendefinisikan Korupsi [III – Habis]

Hifdzil Alim
Hifdzil Alim
Direktur HICON Law & Policy Strategies.

Kusuma Hartanto, 50 tahun, warga Kota Sukabumi berniat mendonorkan matanya untuk menggantikan mata Novel Baswedan, penyidik KPK, yang rusak karena disiram air keras. “Hanya pengorbanan itu yang bisa saya lakukan untuk negara”, begitu ujarnya (Tempo.co, 24/02/2018).

Sanchoz, begitu panggilan Kusuma Hartanto yang sehari-hari berkegiatan sebagai juru parkir itu, merasa dirinya tak bisa melakukan yang terbaik untuk melawan korupsi. Ia berpikir lebih baik matanya diberikan ke Novel sehingga penyidik KPK tersebut bisa bekerja lagi dengan maksimal. Tindakan Sanchoz merupakan bentuk kesedihan, marah, sekaligus keyakinan atas asa dalam melawan korupsi.

Sedih sebab korupsi menjalar seperti kanker. Menerobos hampir semua sendi kehidupan. Jabatan-jabatan publik tidak luput dari cengkeraman korupsi, masuk ke lembaga-lembaga negara. Yang terbaru adalah kasus yang menjerat para kepala daerah. Mereka seharusnya memberi contoh baik bagi penyelenggaraan pemerintahan daerah, tetapi faktanya menggadaikan amanahnya untuk memuaskan syahwat rakusnya.

Marah karena negara kurang cepat menemukan jalan keluar atas menjangkitnya korupsi. Aparat penegak hukum kewalahan dan negara tampak diam saja, terpaku, dan angkat tangan. Tak benar-benar serius memberantas. Buktinya, jarang ada paket kebijakan antikorupsi yang dieksekusi untuk memidanakan para pelaku korupsi kelas kakap. Atau dalam bahasan lain, apakah negara tak serius melindungi para pemberantas korupsi? Apakah negara sedang tersandera?

Penyerangan terhadap Novel di satu sisi juga melahirkan sebuah keyakinan luar biasa. Pesannya sangat jelas, air raksa tak bisa mengendurkan gereget hatinya untuk tetap melawan korupsi. Keyakinan ini membesarkan asa rakyat, seperti Sanchoz, saya, dan semua penduduk Indonesia.

Pada 2015-2016, saya tergabung dalam sebuah tim yang dibentuk atas prakarsa KPK, Lakpesdam PBNU, dan Jaringan Gusdurian. Tim ini memiliki tugas menyusun agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi yang diperuntukkan bagi kalangan pesantren. Beberapa kegiatan telah dilaksanakan. Salah satu hasilnya adalah terbit buku berjudul Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi.

Perwakilan tim meminta kata pengantar buku tersebut ke Ketua PBNU KH Said Aqil Siraj dan Ketua KPK Agus Rahardjo. Dalam kata sambutannya, Kyai Said menulis, “Tindak pidana korupsi tidak hanya merugikan negara, tetapi juga dapat menghancurkan negara. Dalam al-Qur’an, tindakan mereka ini disebut “memerangi Allah dan Rasul-Nya serta berbuat kerusakan di muka bumi yang disebut hirabah…

Poin dari kalimat di atas, hemat saya, adalah bahwa Islam menempatkan korupsi sebagai sebuah kejahatan yang dilakukan untuk memerangi Allah dan Rasul-Nya. Artinya, korupsi merupakan kejahatan yang sangat merusak yang tidak hanya akan menghancurkan negara, melainkan juga agama. Apakah level destruktifnya korupsi yang sedemikian tak cukup kuat dijadikan perihal bagi kita, baik secara pribadi dan bersama-sama, untuk melawan korupsi? Tidak cukupkah menjadi dasar untuk berjihad melawan korupsi?

Nahdlatul Ulama menghukumi korupsi sebagai kejahatan yang menyerang kemanusiaan. Penggalan Keputusan Muktamar ke-33 bidang hukum, 4 Agustus 2015, menyatakan, “Tindak pidana korupsi dan pencucian uang adalah kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan yang menimbulkan madharat dalam jangka panjang. NU harus memperkuat garis perjuangan antikorupsi untuk melindungi ulama, jamaah dan organisasinya; melindungi hak rakyat dari kedzaliman koruptor; dan mendidik para calon pejabat untuk tidak berdamai dengan korupsi dan pencucian uang.”

Ternyata para ulama—setidaknya dari kalangan NU—telah bersepakat bahwa tidak ada kata ampun bagi korupsi. Ia menghancurkan negara, rakyat, dan terlebih organisasi. Maka, perlindungan bagi pejuang antikorupsi dihukumi wajib. Negara yang mempunyai otoritas untuk menggerakkan alat kekuasaan wajib menginisiasi perlindungan tersebut. Sayangnya, perlindungan ini dirasa masih jauh bagi Novel. Dan ini sungguh menyesakkan.

29 Juli 2015, enam hari sebelum dikeluarkannya Keputusan Muktamar NU bidang hukum, beberapa alim ulama dari Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi berhalaqah di Yogyakarta. Rumusan yang dihasilkan dari diskusi terfokus alim ulama itu mengambil definisi korupsi tidak hanya yang sudah tertera dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga yang sedang berlaku di masyarakat.

Korupsi diartikan sebagai kejahatan terhadap harta benda (al-Jarimah al-Maliyah) yang meliputi penggelapan (Ghulul), penyuapan (Risywah), pencurian (Sariqah), penguasaan ilegal (Ghashb); penjarahan/perampasan (Nahb), penyalahgunaan wewenang (Khianat), memakan harta haram (Akl al-Suht), perampokan/perompakan (Hirabah), dan mengaburkan asal-usul harta yang haram (Ghasl al-Amwal al-Muharromah).

Dari pandangan para alim ulama tersebut dapat diketahui ternyata ajaran Islam/Fiqih memuat lebih banyak perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai korupsi. Yang lebih penting lagi, penyuapan (risywah)—yang telah dibahas pula di dalam Mendefinisikan Korupsi I dan IIditetapkan sebagai korupsi. Artinya, ada kesesuaian definisi di lingkup hukum (peraturan perundang-undangan), politik, dan agama. Suap sama-sama dianggap sebagai korupsi di tiga lingkup tersebut.

Dengan demikian, pernyataan Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah beberapa waktu lalu bahwa kepala daerah yang ditangkap oleh KPK tersebut tidak melakukan korupsi, boleh saya katakan itu salah besar. Sebab, para kepala daerah tersebut diduga menerima atau melakukan suap. Dan suap—berdasarkan bahasan Mendefinisikan Korupsi—adalah korupsi. 

Kembali ke Novel Baswedan, para alim ulama dalam halaqah-nya di Yogyakarta juga menyepakati sebuah item tentang perlindungan bagi semua pihak yang berkontribusi langsung atau tidak langsung terhadap upaya pemberantasan korupsi.

Sebagian isi keputusannya berbunyi, “Pemerintah wajib melindungi dan memperkuat semua pihak yang melaksanakan jihad mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi serta tindak pidana pencucian uang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Keputusan ini didasari beberapa kasus kriminalisasi yang sebelumnya menimpa pimpinan KPK.

Maknanya adalah perlindungan terhadap siapa saja yang berniat dan melakukan upaya pemberantasan korupsi wajib hukumnya disediakan oleh negara (pemerintah). Melindungi Novel itu sama hukumnya dengan melindungi kemanusiaan, melindungi negara itu sendiri dari tercerabutnya amanah dari pelaksanaan kekuasaan.

Kasus Novel itu menjadi ujian bagi negara. Kalau negara gagal menemukan siapa aktor intelektual penyiram air raksa ke Novel, maka di sektor pemberantasan korupsi, negara dapat disebut sebagai negara gagal (failed state). Yang terparah, apabila negara kalah dengan para koruptor, niscaya kehancurannya sudahlah dekat. Dan saya pikir bukan ini yang diinginkan, kan?

Kolom terkait:

Setelah 100 Hari Tragedi Novel Baswedan

Tragedi Novel dan Premanisme yang Biadab

Pak Jokowi, KPK Menjelang Ajal

KPK Dibekukan? Berapa Celsius?

Sesat Nalar terhadap KPK

Hifdzil Alim
Hifdzil Alim
Direktur HICON Law & Policy Strategies.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.