Masyarakat adat minoritas adat adalah kelompok masyarakat adat yang secara populasi kecil, dan berada pada posisi non-dominance. Sebagai kelompok populasi kecil, kelompok ini umumnya merupakan kelompok-kelompok tribal yang hidup pada wilayah-wilayah terpencil (remoted area) dengan akses informasi, layanan publik, dan transportasi terbatas.
Dalam konteks posisinya yang non-dominance, kelompok minoritas adat adalah kelompok sosial subkultur dari budaya utama yang dominan. Dengan kata lain, posisi mereka secara sosial dan budaya adalah marjinal dari arus utama kebudayaan.
Ketimpangan Sosial Budaya
Burke (2015) menyebutkan bahwa subkultur adalah budaya yang tidak sepenuhnya dapat berdiri sendiri dan terdapat pada budaya yang lebih besar. Subkultur dalam konteks ini lebih pada relasi antara minoritas dengan budaya masyarakatnya yang lebih dominan, yang sering dianggap sebagai penyimpangan budaya-budaya dominan tersebut.
Misalnya, praktik-praktik agama-agama adat masih dianggap sebagai penyimpangan dari praktik agama-agama besar yang telah berasimilasi dengan budaya mayoritas. Dalam konteks budaya tersebut, masyarakat adat minoritas tidak hanya dilihat dalam pendekatan jumlah populasi, namun juga relasinya dengan budaya utama yang dominan.
Masyarakat adat minoritas seringkali dipaksa mengikuti proses integrasi sosial dalam kerangka budaya dominan. Misalnya tentang agama adat dan pola hidup nomaden atau seminomaden dalam pandangan budaya dominan dipandang sebagai penyimpangan budaya utama, dann karenanya perlu sesegera mungkin diintegrasikan (diubah) dengan cara hidup budaya dominan.
Kondisi tersebut diperburuk lagi dengan politik integrasi budaya dan pembangunan oleh negara, yang merasa perlu mendorong “kemajuan” kelompok-kelompok ini. Dalam banyak kasus terungkap adanya paksaan, setidaknya melalui resettlement, populasi-populasi komunitas adat dari wilayah hidupnya (wilayah adat) atas nama pembangunan dan standar kemajuan.
Hubungan Kuasa
Dalam konteks di atas, hubungan antarkelompok sosial etnis (adat) tidaklah seutuhnya netral, namun juga konfliktual, yaitu hubungan saling menguasai, terutama pada masyarakat plural seperti Indonesia. Erikson (1983) menyebutkan bahwa etnisitas dan nasionalisme kental dipengaruhi oleh konsep kolonialisme dalam membangun identitas etnik yang berkorelasi pada sistem politik dan kelas sosial.
Meski sistem hubungan antaretnik tidak ada hubungan dengan kelas sosial, namun terjadi asosiasi kelas sosial dengan identitas etnis tertentu karena peran dan status dalam masyarakat. Situasi ini melahirkan pola mayoritas-minoritas yang tidak seimbang dengan berlandaskan pada kontribusi suatu kelompok etnis dalam konteks ekonomi. Inilah yang melahirkan eksploitasi terhadap kelompok etnis yang tidak punya kekuasaan terhadap sistem ekonomi (Wolf, 1982).
Peran kelompok etnis tertentu dalam konteks ekonomi tersebut lambat laun menjadi status yang sifatnya askriptif dan menciptakan hubungan saling ketergantungan, yang mana kelompok hunter-gatherer (berburu-meramu) dianggap sebagai kelompok paling bawah pada situasi paling rentan (Bird-David, 1995).
Demikianlah, hubungan budaya, sosial dan ekonomi antara mayoritas-minoritas etnis adalah hubungan kuasa yang tidak seimbang. Berbagai aspek kehidupan yang melingkupi hubungan antar-etnis mayoritas-minoritas pada masyarakat majemuk Indonesia menunjukan kompleksitas dengan melibatkan dimensi identitas, status, dan kelas sosial.
Peran Negara
Masyarakat adat minoritas lebih dekat pada nomenklatur Komunitas Adat Terpencil (KAT). KAT secara definisi adalah komunitas adat bersifat homogen, subsisten, bergantung dengan sumber daya alam, berada pada wilayah yang sulit terjangkau, dan keterbatasan terhadap layanan publik.
Definisi KAT tersebut cocok dengan masyarakat adat minoritas sebagai kelompok kecil (secara populasi), non-dominance dan berada pada wilayah-wilayah terisolasi. Dalam konteks KAT sebagai minoritas ini, persoalan identitas adat (etnis) yang melingkupi hampir semua dimensi kehidupan komunitas menjadi penting, khususnya hubungan mereka dengan wilayah adat.
Persoalan identitas masyarakat adat minoritas mesti diletakkan dalam hubungan-hubungan sosial dan bersifat struktural. Dalam hal hubungan-hubungan sosial, identitas masyarakat adat minoritas yang subkultur potensial melahirkan prasangka dan stigma dari kelompok dominan (mayoritas), misalnya prasangka masyarakat adat minoritas sebagai masyarakat terbelakang, pemalas, kotor, dan lain-lain.
Lalu, dalam hal sifatnya yang struktural, identitas masyarakat adat minoritas mengalami peminggiran oleh struktur negara. Misalnya dalam kasus prasyarat (conditionalities) pengakuan negara atas wilayah adat masyarakat adat minoritas beserta identitas-identitas budaya yang melekat atas wilayah adat.
Dalam konteks itu, prasyarat dan mekanisme pengakuan wilayah adat terlebih dahulu dilalui dengan pembuktian bahwa suatu komunitas adat masih ada (actual existing), dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, yang kemudian mesti diformalkan dalam aturan daerah. Prasyarat dan mekanisme tersebut jelas memberatkan minoritas adat, jika tidak mau dibilang mustahil dilaksanakan.
Mengapa? Sebab, prasyarat dan mekanisme pengakuan di atas mengakibatkan masyarakat adat minoritas bertarung sendiri dalam dinamika politik di daerah. Prasyarat pengakuan masyarakat adat melalui formalitas aturan daerah jelas membutuhkan kapasitas politik yang kuat dalam proses (politik) pembentukan aturan daerah tersebut, dan banyak masyarakat adat minoritas tidak memilikinya.
Konsekuensinya, jika tidak adanya perubahan hukum dan kebijakan tentang hak masyarakat adat minoritas secara mendasar, pengabaian hukum atas hak dan identitas masyarakat adat minoritas nampaknya akan terus terjadi. Situasi ini menyebabkan posisi masyarakat adat minoritas selalu subkultur dan timpang secara sosial, ekonomi, dan budaya.