Pascadigelandangnya Bupati Klaten, Jawa Tengah, karena dugaan suap, pembicaraan tentang dinasti politik kembali menghangat. Publik menilai dinasti politik menumbuh-suburkan korupsi. Dinasti politik dianggap sebagai pupuk yang memicu kejahatan khusus itu semakin mengganas.
Pandangan masyarakat tak keliru. Hanya saja, bagaimana cara dinasti politik menggerogoti benteng kejujuran sehingga membuat korupsi melenggang dengan mudah mesti dijelaskan. Informasi tentang dinasti politik sebagai—meski bukan satu-satunya—penyebab korupsi penting disampaikan agar rakyat memiliki cukup referensi untuk turut serta mencegah timbulnya dinasti politik yang mengarah ke korupsi.
Syarat Dinasti Politik
Sebelum melangkah ke pembahasan arti dinasti politik, saya mengambil posisi opini: dinasti politik cenderung berjalan beriringan dengan korupsi. Walaupun tak bisa dinafikan bahwa terdapat studi yang menyatakan dinasti politik juga mempunyai kecenderungan yang baik.
Contohnya, Arthur Braganca, dkk, dalam artikelnya berjudul Political Dynasties and the Quality of Government dengan mengutip Olson (2002) dan Besley, Reynal-Querol (2015), mengutarakan, pengelolaan yang didasarkan pada dinasti dapat dipakai untuk mengendalikan moral buruk. Alhasil, pertumbuhan ekonomi sanggup ditingkatkan.
Selanjutnya, masih mengacu ke Arthur Braganca, dkk, dengan menukil Labonne dan Querubin (2015), dinasti politik juga kuat mendorong perempuan masuk ke dalam ruang politik dengan memanfaatkan sumber daya yang didukung oleh dinasti politiknya.
Secara umum, pengertian dinasti politik banyak merujuk ke studi ilmu politik. Teresa Tadem dan Eduardo Tadem, para profesor Ilmu Politik dari Universitas Filipina, dalam presentasinya berjudul Political Dynasties in the Philippines: Persistens Patterns, Perennial Problems, misalnya menyatakan, dinasti politik mengacu pada praktik politik yang dilakukan oleh sebuah keluarga dalam memonopoli kekuasaan. Lebih lanjut ditegaskan, tindakan monopoli kekuasaan dilakukan dari generasi ke generasi dengan memperlakukan lembaga publik layaknya milik pribadi keluarga.
Makna dinasti politik yang diajukan oleh Tadem, setidaknya, memberikan isyarat tentang syarat dinasti politik. Pertama, ada sebuah keluarga. Syarat keluarga tak bisa begitu saja dibatasi bahwa si pemegang kekuasaan politik menurunkan dominasi kekuasaan ke anggota keluarganya yang memiliki nasab langsung. Akan tetapi, keluarga juga dapat disimpulkan dengan sebuah relasi yang terbangun erat antara si pemegang kuasa dengan calon penerus estafet kekuasaannya.
Relasi tersebut bisa berbentuk hubungan ekonomi—dan biasanya hubungan inilah yang terjadi. Artinya, subjek dinasti politik tidak melulu berasal dan disemai dalam lingkup keluarga besar yang senasab, melainkan juga lahir dan dibesarkan oleh keluarga di luar nasab langsung (relasi) yang berpokok dari dukungan sumber daya ekonomi.
Syarat dinasti politik yang kedua ialah terdapat praktik atau tindakan politik untuk memonopoli atau mendominasi kekuasaan yang dilakukan secara turun-temurun. Pada bagian ini, yang ditekankan adalah bagaimana cara dinasti politik itu mempertahankan kekuasaannya.
Dalam era demokrasi, upaya menjaga kekuasaan yang dilakukan oleh dinasti politik adalah dengan memanipulasi pemilihan umum. Seakan-akan pesta rakyat telah diselenggarakan dengan benar dan jujur, tetapi kenyataannya pemilihan kepala pemerintahan hanya sekadar pesta formil di mana hasil akhirnya telah ditentukan sebelumnya.
Jika pilihan memanipulasi pemilihan umum tak berjalan lancar, maka praktik kekerasan politik akan dipilih. Pada satu waktu, kedua cara tersebut dieksekusi secara bersamaan. Dinasti politik membungkam suara oposisi atau pihak mana pun yang mencoba mempertanyakan kebijakan maupun kekuasaannya melalui tekanan dan intimidasi secara halus-diam-diam atau kasar-terang-terangan.
Ketiga, tujuan praktik monopoli kekuasaan tersebut adalah menjadikan kantor publik—dan semua kebijakannya—sebagai properti keluarga. Kekuasaan pemerintahan dimaktubkan dalam penerbitan kebijakan. Dinasti politik mengarahkan bagaimana kebijakan pemerintahan dapat menguntungkannya. Proyek atas nama kebutuhan rakyat digelar dengan menyisipkan rente bagi dinasti politik.
Pintu korupsi
Dinasti politik membutuhkan dukungan sumber daya yang sangat banyak untuk meneguhkan kekuasaannya. Kebutuhan tersebut mustahil dikais melalui jalan yang telah ditetapkan oleh negara—berupa gaji dan tunjangan yang diatur dalam standar biaya umum. Hal ini tentu dengan memungkiri bahwa aktor dinasti politik memiliki visi, misi, serta program kerja yang prorakyat.
Yoes C. Kenawas dalam tulisannya berjudul The Rise of Politcal Dynasties in a Democratic Society memotret banyak dinasti politik di negeri ini mengakumulasi sumber dayanya melalui pengumpulan kekayaan dengan melawan hukum (illicit funding) melalui korupsi anggaran, uang pelicin, dan/atau imbal balik (kickback) atas proyek pemerintah. Tak hanya itu, lanjut Kenawas dengan mencuplik Gibson (2015), dinasti politik juga menggunakan jaringan keluarga serta kekayaannya untuk menghadang intrusi—maupun potensi gangguan—yang berasal dari aktor politik lainnya (boundary control).
Bak peribahasa Jawa tumbu oleh tutup, korupsi menemukan pasangannya yang serasi dalam diri dinasti politik. Tak perlu dipaparkan bagaimana efek korupsi yang berkelindan dengan dinasti politik menyebabkan kerusakan yang sangat parah. Pendek kata, dinasti politik mesti dicegah supaya korupsi tak menemukan inangnya.
Namun demikian, mencegah korupsi yang dilakukan dinasti politik tidaklah dengan jalan membatasi—atau memutus—hak dipilih setiap subjek yang ada di lingkaran dinasti politik. Kecuali telah terbukti korupsi dan berkekuatan hukum tetap (inkracht), menghapuskan hak dipilih—dan juga hak memilih—seseorang jelas mencederai konstitusi.
Sejak nominator presiden atau kepala daerah diusulkan oleh partai politik, maka pencegahan dinasti politik harus dimulai dari internal partai. Pemilihan petinggi serta pengurus partai wajib disediakan dalam wadah yang transparan, akuntabel, dan demokratis. Calon pengurus partai harus dipilih dari anggota yang sudah mengikuti jenjang kepengurusan partai dari tingkat ranting atau cabang. Tidak boleh by pass.
Negara mesti ikut andil. Pelepasan sementara incumbent—umpamanya enam bulan—dari jabatannya sebelum diadakan pemilihan umum dapat diterapkan agar petahana tak menekan pegawai negeri sipil supaya memilihnya. Pelepasan sementara sekaligus menghalangi dimanfaatkannya sumber daya pemerintah demi memenangkan pemilihan. Negara musti mengatur dan mengawasi dengan ketat penyumbang dana kampanye.
Terakhir, masyarakat sebagai pemegang suara juga mesti bertanggung jawab terhadap lahirnya dinasti politik. Tak ada kata terlambat. Rakyat dapat mencegah, bahkan menghukum, dinasti politik melalui jari-jemarinya. Jangan pernah memberikan kesempatan ke dinasti politik melalui pencoblosan atau penyontrengan kerta suara di bilik pemilihan umum. Selama kekuasaan masih eksis, mungkin dinasti politik akan tetap lahir, tetapi kita mampu memperlambat kelahirannya.