Minggu, November 24, 2024

Janji Jokowi di Tengah Hak Masyarakat Adat

Mimin Dwi Hartono
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
- Advertisement -
Presiden Joko Widodo didampingi Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya (kanan) bersalaman dengan anggota masyarakat adat saat pertemuan dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara di Istana Negara, Jakarta.(ANTARA FOTO/Rosa Panggabean

Hari ini, 9 Agustus, komunitas masyarakat adat di segenap penjuru dunia memperingati Hari Masyarakat Adat Internasional. Hari itu ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 23 Desember 1994, untuk memberikan apresiasi atas pertama kali terbentuknya Kelompok Kerja Hak-Hak Masyarakat Adat di Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Sebagai momentum yang sakral dan monumental, Hari Masyarakat Adat Internasional menjadi tali pengikat solidaritas antarkomunitas baik di dalam negeri maupun secara internasional. Sebelum hari itu ditetapkan oleh PBB, komunitas adat seakan tercerai-berai dalam gerakan yang sifatnya sporadis dan sektoral.

Pada satu dasawarsa terakhir, gerakan masyarakat adat telah menjadi gerakan sosial baru karena telah menyatukan gerakan komunitas-komunitas adat di segala penjuru dunia dan berinteraksi dengan gerakan hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Dengan gerakan yang sifatnya lebih terpadu dan terorganisir, suara dan desakan masyarakat adat akan lebih didengar dan berpengaruh.

Lantas, sejak tahun 2000, Forum Tetap Masyarakat Adat (United Nations Permanent Forum on Indigenous Pooples) diselenggarakan di New York. Forum dipergunakan untuk membahas isu-isu krusial yang dihadapi masyarakat adat dan solusinya.

Instrumen perjuangan masyarakat adat bertambah lengkap dengan pengesahan Deklarasi Hak-Hak Masyarakat Adat oleh Sidang Umum PBB–forum pengambilan keputusan tertinggi di PBB–pada 2007. Deklarasi itu didukung oleh 144 negara, dan 4 negara menolak (Kanada, Amerika Serikat, Australia, dan New Zealand).

Di dalam hukum internasional, deklarasi adalah produk hukum yang lunak (soft law), artinya tidak memiliki daya paksa (enforcement), akan tetapi mengikat secara moral dan politik, karena diputuskan secara terbuka dan partisipatif di dalam Sidang Umum PBB. Deklarasi menjadi panduan dan norma bagi pemerintah di setiap negara dalam memperbaiki regulasi dan kebijakannya, agar lebih menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat.

Bagi masyarakat adat, Deklarasi Hak Masyarakat Adat menjadi instrumen dan alat untuk melakukan penyadaran kepada komunitasnya atas hak-haknya yang telah diakui secara universal. Hak-hak mereka telah menjadi hukum internasional yang harus dihormati oleh negara, korporasi, dan pihak lainnya.

Dengan instrumen tersebut pula, masyarakat adat bisa melakukan advokasi dan pembelaan atas hak-haknya ke pemerintah dan pihak-pihak yang selama ini telah diabaikan dan dilanggar hak-hak secara sistematis selama bertahun-tahun.

Secara nasional, regulasi yang mengatur hak masyarakat adat masih bersifat sektoral dan parsial, sehingga alih-alih mampu melindungi masyarakat adat, regulasi tersebut malahan menjadi persoalan karena saling bertabrakan satu dengan yang lain.

Di dalam Undang-Undang tentang Desa, ada Desa Adat, yang diatur di Pasal 96 hingga Pasal 111. Ketentuan ini bisa dipergunakan bagi setiap komunitas adat di tingkat desa untuk melakukan revitalisasi atas identitas, penentuan nasib sendiri, dan penguatan hak-haknya yang selama ini (di)hilang(kan) oleh negara, serta bisa menuntut adanya pemulihan hak dari negara (restitusi).

- Advertisement -

Sementara untuk hak atas tanah, Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 tahun 2016, yang mengatur tentang tata cara permohonan hak atas tanah secara komunal, telah diterbitkan.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52/2014 tentang Pedomen Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat mengatur tentang tata cara dan mekanisme bagi pemerintah daerah dalam mengidentifikasi dan mengukuhkan eksistensi masyarakat adat.

Sedangkan hak masyarakat adat atas hutan adat, sebagai turunan atau pelaksanaan Putusan Makhkamah Konstitusi No. 35/2012, belum sepenuhnya terlaksana karena adanya dispute tentang mekanisme pelaksaannya, apakah harus menunggu adanya pengakuan legal dari pemerintah daerah ataukah tidak. Padahal, sifat dari putusan MK seharusnya seketika dan harus dilaksanakan melalui tahapan-tahapan yang jelas. Namun, sampai saat ini, pelaksanaan atas putusan itu masih terkatung-katung.

Sementara, kebijakan Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2916 yang telah menetapkan sembilan hutan adat, memang layak diapresiasi. Sembilan komunitas adat akan mengelola hutan adat seluas kurang lebih 13.100 hektare dan dihuni oleh sekitar 5.700 kepala keluarga. Akan tetapi, kebijakan itu belum cukup dan jauh dari memadai, mengingat selama ini hak-hak masyarakat adat, termasuk hutan adatnya, telah secara sistematis terampas oleh berbagai kebijakan negara.

Oleh karenanya, di momentum Hari Masyarakat Adat Internasional, Presiden Joko Widodo hendaknya mampu memanfaatkannya untuk menegaskan komitmen dan kebijakannya untuk memulihkan hak-hak masyarakat adat, melakukan harmonisasi regulasi, dan memprioritaskan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat sebagai undang-undang inisiatif pemerintahannya.

Baca juga:

Jokowi dan Nasib Masyarakat Adat

Jokowi, Orang Rimba, dan Kekerasan Kultural

Masyarakat Adat, Kebinekaan Indonesia, dan Utang Konstitusi

Sekjen Aman: Masyarakat Adat adalah Pengelola Kawasan Konservasi

Mimin Dwi Hartono
Mimin Dwi Hartono
Staf Senior Komnas HAM. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.