Ada 3 (tiga) jabatan di dalam konstitusi UUD 1945 yang secara eksplisit menyebutkan tentang syarat integritas yang wajib dipenuhi. Yakni, jabatan di lembaga dalam lingkup Kekuasaan Kehakiman (Bab IX) yang meliputi hakim agung (pasal 24A ayat 2), hakim konstitusi (pasal 24C ayat 5), dan anggota Komisi Yudisial (pasal 24B ayat 2). Bahkan terhadap jabatan selevel presiden/wakil presiden, anggota DPR/D, maupun lembaga lain di dalam konstitusi tidak eksplisit menyebut syarat wajib memiliki integritas.
Hal ini tentu bukan dalam konteks untuk menyebutkan bahwa jabatan-jabatan yang tidak menyebut syarat integritas dalam konstitusi tidak perlu dijabat oleh orang yang memiliki integritas. Namun, ada pesan sangat kuat di dalam konstitusi bahwa jabatan dalam lingkup kekuasaan kehakiman haruslah orang yang memiliki integritas.
Namun, standar ini tidak diafirmasi di dalam undang-undang, khususnya yang terkait dengan Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga perubahan ke-2 terhadap UU tentang MK (24/2003, 8/2011, 4/2014) sebetulnya tidak signifikan untuk mengerek standar etik MK menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya.
Tidak Kontekstual
Jika merunut skandal etik yang terjadi di MK, apa yang dialami oleh Ketua MK Arief Hidayat membuktikan bahwa sistem etik MK tidak cukup kuat untuk meredam pelanggaran etik, bahkan terhadap seorang Hakim Konstitusi. Jika pun harus belajar dari mundurnya mantan Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi, maka itu bukanlah hasil kerja dari sistem etik tetapi lebih kepada situasi personal/individu hakim. Sebab, dalam kasus Arief Hidayat, 2 (dua) kali putusan pelanggaran etik tidak cukup untuk memaksa yang bersangkutan mundur dari jabatannya sebagai Ketua MK sekaligus sebagai Hakim Konstitusi.
Artinya, secara substansi proses penegakan etik di MK sebetulnya sama saja dengan lembaga negara lainnya, walaupun dengan proses yang mungkin berbeda. Padahal, jika kembali kepada pesan konstitusi, nilai integritas itu lebih diutamakan sehingga sanksi pelanggaran etik di ranah kekuasaan kehakiman seharusnya jauh lebih ketat dan berat.
Maka, putusan Dewan Etik MK terhadap Arief Hidayat perlu diapresiasi secara proporsional, khususnya yang terkait dengan pertemuan Arief Hidayat dengan Komisi III DPR, pimpinan fraksi, dan pimpinan partai politik. Jika mencermati Berita Acara Hasil Pemeriksaan Dewan Etik MK Nomor 18/Lap-V/BAP/DE/2018, kita bisa melihat ada 3 (tiga) pendapat yang berbeda dari Dewan Etik, yaitu (a) Achmad Roestandi menyatakan itu sebagai pelanggaran berat, (b) Salahuddin Wahid menyatakan sebagai bentuk pelanggaran ringan. Dan (c) Bintan Regen Saragih menyatakan tidak ada pelanggaran kode etik. Dan dalam putusannya kemudian disebutkan bahwa Arief Hidayat melakukan pelanggaran etik ringan.
Dari sisi prosedur mungkin proses dan putusan etik ini benar, tetapi kehilangan konteks. Mayoritas Dewan Etik tidak melihat pelanggaran ini dari sisi substansi.
Ada 3 (tiga) hal penting yang tidak tercermin dari putusan Dewan Etik. Pertama, putusan Dewan Etik tidak menilai persinggungan antara kewenangan MK dengan pelanggaran yang dilakukan oleh Arief Hidayat. Padahal, menurut konstitusi, ada 3 (tiga) dari 4 (empat) kewenangan MK yang berhubungan dengan langsung dengan lembaga DPR dan partai politik, yaitu pengujian undang-undang, pembubaran partai politik, dan perselisihan hasil pemilihan umum.
Bagaimana sistem etik MK tidak menyebut secara eksplisit bahwa pelanggaran semacam ini termasuk pelanggaran berat? Mengingat potensi konflik kepentingan yang begitu besar antara kewenangan MK dengan fungsi-fungsi DPR dan partai politik.
Kedua, pelanggaran ini tidak bisa dilihat hanya sebagai perbuatan individual, sebab Arief Hidayat juga adalah sebagai Ketua MK yang tentunya memiliki pengaruh (influence) yang berpotensi disalahgunakan (abuse). Jabatan yang diemban oleh Arief Hidayat seharusnya dilihat dan dinilai sebagai hal yang memberatkan. Ini jelas akan berbeda halnya jika yang bersangkutan tidak menduduki jabatan ketua atau bahkan hanya seorang pegawai yang tidak memiliki kekuasaan dan pengaruh yang besar.
Ketiga, salah satu syarat Hakim Konstitusi adalah memiliki integritas dan berkepribadian tidak tercela. Secara sederhana pelanggaran etik yang dilakukan Arief Hidayat, bahkan setelah 2 (dua) kali pelanggaran etik, secara nyata telah mengindikasikan bahwa yang bersangkutan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Hakim Konstitusi.
Jelas Tercela
Pertanyaan reflektifnya adalah, apakah lobi Ketua MK kepada DPR/partai politik terkait pencalonannya kembali sebagai hakim tidak menunjukkan suatu perilaku yang tidak pantas (tercela)? Atau apakah lobi tersebut tidak mengurangi kadar integritas seorang hakim? Jawabannya sudah pasti bahwa perbuatan tersebut telah mereduksi nilai-nilai integritas dan etika sebagai Hakim Konstitusi.
Terakhir saya ingin menyampaikan bahwa lemahnya proses etik di MK harus dilihat sebagai momentum untuk mengembalikan nilai-nilai integritas dalam ranah kekuasaan kehakiman, khususnya di MK. Jangan sampai proses etik yang lemah ini dibiarkan oleh internal MK, baik oleh Hakim Konstitusi yang lain, termasuk para pegawai MK.
Ibarat ikan, pembusukan memang selalu dimulai dari kepala lalu menjalar dan menghancurkan seluruh tubuh. Bahkan bau busuk itu tidak hanya akan berhenti di internal MK, tetapi akan semakin tercium dan menggerogoti, menghancurkan, mereduksi hak-hak konstitusional warga negara yang mencari keadilan dari putusan-putusan hakim konstitusi.
Kolom terkait:
(Mencegah) Runtuhnya Mahkamah Konstitusi
Patrialis Akbar dan Pertaruhan Marwah Mahkamah Konstitusi
Mengurai Polemik Rekrutmen Hakim