Jumat, Maret 29, 2024

Benarkah Habib Rizieq Menista Pancasila?

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

rizieq-hina-pancasila-1Fenomena saling melaporkan antar sejumlah tokoh ke ranah hukum akhir-akhir ini tengah menghiasi berbagai media kita, cetak maupun elektronik. Dimulai pada pelaporan terhadap Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok atas dugaan penistaan agama—menyusul pidatonya yang menyinggung Surat al-Maidah di Pulau Pramuka, Jakarta—yang diunggah oleh Buni Yani melalui Youtube.

Tidak berselang lama, Buni Yani juga dilaporkan karena menyebarkan pidato Ahok tersebut. Kemudian berlanjut pelaporan kepada pimpinan Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab atas dugaan penistaan terhadap Pancasila dan pencermaran nama baik terhadap Bung Karno, mantan Presiden RI. Pelapornya adalah anak sang proklamator, Sukmawati Soekarno Putri. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri juga dilaporkan ke Bareskrim Polri—pun atas dugaan penistaan agama.

Karena itu, kita tidak bisa melihat hukum sebagai instrumen yang steril dari fenomena pelaporan tersebut, sebab sedikit-banyaknya terkait erat dengan menghangatnya konstelasi politik jelang pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017. Terlepas dari itu, tulisan ini secara khusus akan mengulas pelaporan terhadap Habib Rizieq atas tuduhan telah menodai keangkeran lambang negara Indonesia.

Negara Hukum
Konsep negara hukum sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari dua filosof agung zaman Yunani Kuno: Plato (429 SM) dan Aristoteles. Plato dalam Nomoi meneguhkan gagasannya tentang penyelenggaraan pemerintahan yang berlandaskan hukum. Kemudian muridnya, Aristoteles, secara tajam mempertegas gagasan itu, sembari menyebut bahwa negara yang baik adalah berkedaulatan hukum.

Sejak saat itu hukum diyakini sebagai jalan lapang untuk mencegah penindasan dan kekuasaan sewenang-wenang raja (baca: pemerintah). Tegasnya, hukum idealnya diposisikan sebagai panglima (supremacy of law).

Pada zaman modern seperti saat ini, konsep negara hukum sering kita sebut sebagai rechtstaat atau rule of law. Di Indonesia, gagasan rechtstaat ini dikonkritkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara hukum. Meskipun demikian, seperti kata Prof Mahfud MD, konsep negara hukum Indonesia pasca amandemen UUD 1945 adalah negara hukum prismatik. Artinya, menggabungkan segi-segi positif antara rechtstaat dan rule of law. Dengan tujuan memberi tempat yang luas pada pemenuhan rasa keadilan (2006).

Secara umum para ahli kenegaraan berpendapat bahwa prasyarat konsep rechtstaat meliputi empat hal. Pertama, penghargaan terhadap hak asasi manusia (HAM). Kedua, pemisahan dan pembagian kekuasaan. Ketiga, pengawasan peradilan. Keempat, pembatasan berlaku surutnya undang-undang.

Intinya, dari konsep rechtstaat inilah cikal bakal adanya kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, mendirikan partai politik, termasuk juga adanya kewenangan negara untuk memberi pembatasan terhadap HAM, misalnya larangan menodai lambang negara juga melarang makar terhadap Presiden. Bahkan kadang negara diperkenankan untuk menjatuhkan pidana mati kepada pelanggar hukum sesuai dengan keputusan pengadilan.

Karena itu, melihat fenomena saling melapor akhir-akhir ini, bagi saya, adalah sesuatu yang wajar. Hal ini menunjukkan semakin menguatnya kesadaran hukum warga negara sehingga mempercayakan penyelesaian masalah kepada aparat hukum. Jadi, tidak ada warga masyarakat yang main hakim sendiri. Pada titik inilah aparatus seharusnya menegakkan hukum secara adil dan bijaksana. Tidak boleh ada tebang pilih, sebab itu menunjukkan adanya diskriminasi.

Diskriminasi adalah hal yang harus disingkirkan dalam konsep rechstaat. Jadi, kita mesti menghargai dan membiarkan aparat hukum bekerja, namun bila ada kesalahan di sana, kita mesti bersuara dan menolak kesalahan itu. Itulah mengapa rechtstaat menghendaki adanya pengawasan kepada peradilan.

Substansi Pelecehan Lambang Negara
Pasal 154a KUHP berbunyi: “Barang siapa menodai Bendera Kebangsaan Republik Indonesia dan Lambang Negara Republik Indonesia, dihukum dengan hukuman penjara selam-lamanya empat tahun dan denda setinggi-tingginya tiga ribu rupiah.”

Pendeknya, bestandeel delik dari Pasal 154a KUHP ini adalah menodai bendera dan lambang negara Indonesia. Artinya, adresat delik adalah terhadap bendera atau lambang negara. Pertanyaannya kemudian, bagaimana membuktikan adanya penodaan itu?

Dalam peraturan a quo secara implisit menambahkan bestandeel kesengajaan (dolus). Jadi, untuk membuktikan bahwa seseorang bermaksud menodai bendera dan lambang negara Indonesia manakala orang itu melakukannya dengan sengaja bukan karena kelalaian (culpa). Dengan demikian, pelaku harus memiliki dolus malus (niat jahat) agar ia dapat dituduh melakukan penodaan terhadap bendera dan lambang negara.

Sementara itu, pidato Rizieq Shihab berbunyi: “Pancasila Soekarno ketuhanan ada di pantat, sedangkan Pancasila piagam Jakarta, ketuhanan ada di kepala”. Secara gradual yang disorot oleh Rizieq adalah Pancasila Soekarno. Itu berarti ia tengah menyindir konsep Pancasila yang dibuat oleh Soekarno. Tetapi bila ditafsirkan secara historis, Pancasila yang disindir Rizieq adalah Pancasila yang berlaku saat ini sebagai lambang negara Indonesia.

Dengan demikian, saya haqul yakin bahwa Rizieq akan terbukti melakukan penodaan lambang negara. Mengapa saya mengatakan demikian? Selain terpenuhinya bestandeel penodaan lambang negara dengan mengatakan “Pancasila Soekarno di pantat”, unsur kesalahannya juga dapat dibuktikan dengan sengaja melalui pidato di depan publik. Jadi, penetapan tersangka Rizieq Shihab kiranya sudah sangat tepat.

Lalu, mengapa ia tidak di tahan? Bila memperhatikan ancaman pidana dari Pasal 154a KUHP tersebut paling tinggi 4 (empat) tahun. Sementara jika merujuk pada Pasal 21 ayat (4) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mensyaratkan adanya penahana bila suatu perbuatan diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun. Itulah sebabnya mengapa pihak kepolisian tidak melakukan penahanan kepada Rizieq Shihab.

Sebagai penutup, saya ingin mengatakan bahwa hukum sebaiknya tidak ditarik-tarik ke dalam ranah politik, meski kadang ada konfigurasi antara hukum dan politik yang saling mempengaruhi satu sama lain. Namun, bagi saya, hukum adalah sebuah instrumen untuk menegakkan keadilan dan mencegah kesewenang-wenangan.

Hariman Satria
Hariman Satria
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Kendari. Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.