Meski kasus hukum yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto sangat menarik (sekaligus memalukan!), jangan lupa bahwa Undang-Undang Ormas yang tempo hari disahkan (dan banyak masalahnya) juga perlu kita kawal. Kebiasaan buruk di Indonesia, ketika satu kasus heboh muncul, kita meninggalkan kasus heboh sebelumnya tanpa penyelesaian. Latah!
Tulisan ini memberi tanggapan atas tulisan Prof Moh. Mahfud MD yang berjudul Jangan Kacaukan Asas Hukum di Kompas (11/11/17). Prof Mahfud benar bahwa asas-asas hukum dalam polemik UU Ormas ini disalah-artikan oleh banyak orang, termasuk sarjana-sarjana hukum. Sayangnya, Prof Mahfud tidak masuk lebih mendalam pada pembahasan total penggunaan asas-asas hukum itu sendiri dalam menyikapi UU Ormas ini. Jika Prof Mahfud merasa asas contrarius actus dikacaukan karena salah dimengerti, saya justru merasa asas ini dikacau-balaukan karena begitu saja dipergunakan.
Tulisan ini, tanpa membantah argumentasi Prof Mahfud soal pentingnya aturan ormas yang lebih tegas bagi ormas-ormas anti-Pancasila, mengelaborasi lebih lanjut mengapa sangat penting bagi pemerintah untuk mengawal dan menjaga Pancasila, tanpa melakukan pelanggaran hukum baru.
Dihapuskannya proses peradilan ini menjadi persoalan dasar dari UU Ormas yang baru disahkan itu. Penghapusan proses peradilan bukan terkait asas legalitas tetapi lebih pada persoalan prinsip yang harus dijunjung tinggi sebuah negara hukum seperti Indonesia. Proses peradilan yang menjadi tumpuan kebenaran diuji dan keadilan dicari justru dihilangkan begitu saja. Ada “lompatan” serius dalam konteks penegakan hukum.
Tiga Asas
Asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) termasuk yang dibahas Prof Mahfud. Yang perlu diperinci lebih lanjut dari penjelasan Prof Mahfud adalah soal penerapan asas ini. Dalam kerangka logika penegakan hukum, sejatinya asas ini hanya berlaku dan harus dijunjung tinggi oleh para hakim dalam keseluruhan proses persidangan. Hakim diharapkan memposisikan diri yang imparsial dalam perkara, sehingga terdakwa dapat dijatuhi hukuman yang seadil-adilnya.
Bagi polisi, asas ini terbatas keberlakuannya dalam pemahaman: kalau tidak terlebih dulu menduga subyek hukum tertentu bersalah, bagaimana mungkin dapat memproses laporan atau menindak suatu perkara? Justru karena polisi menduga ada suatu pidana (baik karena adanya laporan atau tidak), maka subyek hukum dapat dilakukan proses penindakan permulaan (pemeriksaan, pemanggilan dalam penyelidikan dan penyidikan).
Begitu juga bagi jaksa, dengan tugasnya dalam hal proses dakwaan dan penuntutan (saat proses persidangan), dia justru sudah memiliki posisi bahwa subyek hukum diduga melakukan kesalahan. Berdasarkan dugaan itu, mereka membuat dakwaan dan kemudian tuntutan. Bagaimana mungkin jaksa bisa mendakwa, apalagi menuntut, suatu subyek hukum sebagai bersalah, tanpa terlebih dahulu memiliki dugaan adanya suatu kesalahan?
Bagi pengacara, asas ini semata harus mereka pegang sebagai guidance dalam mendampingi klien. Asas ini juga berlaku bagi mereka agar dapat mengambil sikap atas persoalan hukum yang dihadapi kliennya (sebagaimana kode etik mengharuskan demikian). Tetapi, dengan posisinya sebagai pembela klien, asas ini menjadi sempit (tanpa tanda kutip) karena keberpihakannya dalam konteks pembelaan itu.
Begitulah juga pemberlakukan asas praduga tak bersalah ini di tengah-tengah masyarakat pada umumnya. Setiap orang memiliki subyektifiktasnya masing-masing, termasuk menduga seseorang atau subyek hukum lain telah bersalah atau tidak. Dalam hukum, asas ini sebenarnya diharapkan ditaati masyarakat hanya agar tidak ada “pengadilan jalanan” atau aksi main hakim sendiri. Siapa yang bisa melarang seseorang untuk menduga-duga?
Dalam konteks UU Ormas, asas praduga tak bersalah yang “hanya” berlaku bagi hakim sebagaimana dijelaskan di atas, justru memperkuat argumentasi bahwa penindakan atas ormas-ormas yang dianggap “bertentangan dengan Pancasila” memang harus melalui proses peradilan terlebih dahulu. Pada akhirnya, berdasarkan pada putusan pengadilan itulah hukuman bagi ormas terkait dapat dijatuhkan dengan seadil-adilnya.
Yang paling relevan untuk dipertanyakan adalah asas contrarius actus. Asas ini menjadi dasar utama pemerintah melakukan pembubaran ormas seperti diatur dalam pasal 61 UU Ormas. Dengan asas ini, pemerintah dapat mencabut kembali keputusan tata usaha negara (KTUN) yang sudah dikeluarkan. Bagi pihak yang merasa dirugikan atau tidak setuju dengan tindakan pencabutan kembali KTUN tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Persoalannya, jika asas ini diberlakukan tanpa batasan, jadi semua KTUN bisa diterbitkan dan bisa begitu saja dicabut, kita membiarkan adanya ketidakpastian hukum. Jika pemerintah sudah memutuskan diterbitkan izin atas suatu ormas, berarti segala verifikasi dan klarifikasi sudah dianggap dilaksanakan, termasuk prediksi masa depan bahwa ormas itu sejalan dengan hukum Indonesia dan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum. Agar obyektifitas terjaga, mengapa, jika kemudian ormas tersebut melakukan pelanggaran hukum, pemerintah juga yang harus menghukum mereka?
Jika asas yang hanya berlaku dalam hukum administrasi negara ini begitu saja diberlakukan dalam, misalnya penindakan ormas yang menentang Pancasila, padahal beberapa kali juga karena adanya tindak pidana yang dilakukan, maka asas ini sebenarnya tidak cukup. Isunya tidak lagi hanya seputar pelanggaran administratif: semata tidak setuju Pancasila apakah tindak pidana?, melainkan, dan selalu akan kembali lagi kepada diskursus, jaminan HAM: kebebasan berpendapat, berkumpul, dan seterusnya.
Karena itu, asas contrarius actus tidak cukup menjadi dasar pembubaran ormas. Asas ini menjadikan pemerintah bertindak sepihak dan seakan tidak mau menerima kontra argumen yang memang seharusnya diberi ruang.
Keputusannya menjadi cenderung subyektif pemerintah dan berpotensi pada tindakan sewenang-wenang. Pemerintah seakan menjadi penafsir tunggal (c.q. Menteri Hukum dan HAM atau Menteri Dalam Negeri) atas Pancasila, padahal penafsiran tunggal adalah bahaya bagi Pancasila itu sendiri. Meski saya mengatakan bahwa memprediksi otoritarianisme akan kembali berjaya hanya lewat penerbitan UU Ormas ini adalah sangat mengada-ada.
Yang harus dipertimbangkan adalah bahwa pembubaran ormas bukan perkara sederhana. Sekurang-kurangnya ada dua hal yang tidak bisa dilupakan. Pertama, bahwa anggota ormas memiliki hak dasar mereka untuk “berkeyakinan atau berpandangan yang lain”, termasuk mempertanyakan Pancasila. Dalam konteksnya yang personal (meskipun dalam suatu kumpulan ormas), bagaimana kita bisa menghukum sepihak keyakinan dan pandangan orang lain yang personal itu?
Maka, kedua, hak-hak dasar itu, sesuai amanat konstitusi, bagaimanapun harus dilindungi, apalagi mereka juga warga negara Indonesia yang patut dijamin kesejahteraan dan kehidupannya. Kalau kemudian mereka, karena keyakinannya itu, memberikan gangguan nyata dan tindakan semaunya (misalnya mengancam, memprovokasi, menyebar kebencian SARA, menghasut untuk berbuat pidana) untuk seakan-akan memaksa agar keyakinannya itu yang dijalankan: misalnya mau mengganti Pancasila dengan komunis atau khilafah, maka negara boleh hadir. Soalnya adalah mereka bukan saja menganggu tatanan kehidupan bersama tetapi juga memberikan ancaman yang tidak main-main meresahkannya.
Kehadiran yang Adil
Yang tidak perlu dipertentangkan adalah bahwa ancaman bagi konsensus bersama hidup berbangsa dan bernegara, Pancasila, menghadapi banyak tantangan dan ancaman. Saat ini, beberapa pihak, misalnya mereka fanatik-religius, kelompok intoleran dan radikal, berusaha mengganti Pancasila dengan macam-macam cara. Karena itu, kehadiran negara yang tegas memang sangat dibutuhkan.
Meskipun begitu, kehadiran negara diharapkan juga harus fair and balance dan tidak sesuka-sukanya. Itulah mengapa dalam konteks ketatanegaraan, begitupun dalam alam demokrasi, dibutuhkan proses peradilan yang dapat diandalkan: jujur, imparsial, dan adil dalam proses penjatuhan suatu penghukuman.
Kiranya bisa dirasakan mengapa UU Ormas ini menjadi sangat lemah dan kontraproduktif bagi ketertiban masyarakat, yaitu karena dihilangkannya proses peradilan dalam hal penjatuhan sanksi bagi ormas-ormas yang diduga bertentangan dengan Pancasila. Karena hal ini, UU Ormas sekurang-kurangnya melanggar empat prinsip utama: Indonesia adalah negara hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD 1945), due process of law dalam sistem hukum pidana, jaminan perlindungan hak asasi manusia, dan penegakkan nilai-nilai demokrasi.
Dalam konteks pembubaran ormas, proses peradilan perlu diandalkan. Asas-asas hukum apa pun, meski kelihatannya tidak ada salah saat digunakan, tidak bisa dijadikan dalih pembenaran begitu saja bagi keberlakuan UU Ormas. Tetapi paling tidak, kuliah tertulis Prof Mahfud membantu kita mengerti asas-asas hukum dasar.
Kolom terkait:
Menjaga Pancasila tanpa Melanggar Hukum
Kerugian Konstitusional Setelah Perppu Ormas Disetujui
Menyikapi UU Ormas secara Proporsional