Meski status badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) resmi dicabut pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 sebagai tindak lanjut Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, namun upaya untuk mendirikan pemerintahan Islam (khilafah) oleh sejumlah kelompok Islam di negeri ini tetap marak dilakukan.
Belum lama ini (3/3), sekelompok orang yang mengatasnamakan Aliansi Masyarakat Jogja melakukan aksi di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Aksi mereka itu membuat publik heboh dan sempat menjadi trending twitter (3/3), dengan tagar #KhilafahAjaranIslam #KhilafahProtectMuslim. Itulah sebabnya, banyak yang menduga bahwa aksi demo ini merupakan peringatan 96 tahun keruntuhan daulah khilafah.
Tujuan utama mereka tentu saja untuk mengkampanyekan kembali penegakkan pemerintahan Islam (khilafah) agar umat Islam kembali bersatu dan syariat Islam di Indonesia bisa diterapkan secara menyeluruh.
Aksi itu tentu saja mengkhawatirkan mengingat karakter penduduk negeri ini yang begitu majemuk, bahkan umat Islam di Indonesia sendiri beragam mazhab-nya. Lalu apa urgensi dari upaya untuk menerapkan khilafah di negeri yang begitu majemuk ini? Bukan-kah negeri ini sudah memiliki ideologi pemersatu bangsa, bernama Pancasila? Dan bukankah Pancasila ini sudah bersejalan dengan nilai-nilai ke-Islam-an?
Tulisan ini ingin menjawab tiga pertanyaan besar tersebut sekaligus menyoal apa yang disebut sebagai khilafah itu.
Masalah Khilafah
Secara sederhana khilafah bisa disebut sebagai pemerintahan Islam (institusi) dan kepemimpinan politik. Sistem ini dirancang untuk mempersatukan umat Islam di seluruh dunia dalam sebuah institusi politik supra negara (khilafah) dan dipimpin oleh seorang khalifah dengan dasar hukum syariat Islam. Persoalannya adalah sistem ini bukannya tanpa masalah.
Ibnu Khaldun – seorang pemikir raksasa dalam Filsafat Sejarah Islam dan bapak sejarah modern – pernah mengutarakan masalah tersebut. Dalam maha karyanya, Muqaddimah (1377), Ibnu Khaldun menyebutkan tiga pendapat yang berlainan tentang gagasan khilafah universal dalam Islam.
Pertama, ke-universal-an sistem imamah itu merupakan suatu ketentuan agama, dan secara konsekuen tak dapat diabaikan; Kedua, bahwa itu merupakan suatu persoalan kebutuhan (cocok atau tidak dengan tujuan yang ingin dicapai); dan ketiga, bahwa sama sekali tidak diperlukan lembaga yang semacam itu.
Di dalam bukunya yang berjudul The Reconstruction of Religious Thought in Islam (1934), Muhammad Iqbal menguraikan lebih lanjut tiga pendapat Khaldun tersebut. Menurut Iqbal, pendapat yang ketiga itu telah diikuti oleh kelompok Khawarij. Sementara Turki moderen, kata Iqbal, telah mengganti pandangan pertama dengan yang kedua, yaitu pandangan kelompok Mu’tazillah yang menganggap bahwa Imamah Universal itu hanya sekadar masalah cocok tidaknya dengan tujuan yang hendak dicapai.
Apalagi fakta sejarah menunjukkan bahwa gagasan Imamah Universal itu gagal dilaksanakan dalam praktek. Ia merupakan gagasan yang hanya dapat difungsikan bila Kerajaan Islam itu bersatu. Semenjak pecahnya kerajaan Islam – dimulai ketika berakhirnya kekhilafahan Turki melalui kekaisaran Ottoman 96 tahun silam (1924) – muncullah beberapa kesatuan wilayah politik yang menyatakan diri merdeka. Dengan begitu, gagasan tersebut tidak lagi operatif dan tidak dapat berfungsi sebagai faktor penegak dalam pengorganisasian Islam moderen.
Itulah sebabnya mengapa eksistensi Hizbut Tahrir (HT) yang mendambakan terwujudnya khilafah universal dilarang di banyak negara, termasuk negara-negara Islam, seperti Turki, Arab Saudi, Pakistan, Mesir, Yordania, Malaysia, dan banyak lagi.
Turki yang selama ini dinilai menjadi penyebab runtuhnya kekhilafahan bahkan melarang kiprah HT. Pada 2009, polisi Turki menangkap 200 aktivis HT, 80 di antaranya masuk penjara. Mesir malah membubarkan HT pada 1974 karena dianggap terlibat dalam upaya kudeta dan penculikan mantan atase Mesir.
Di Suriah, organisasi ini dilarang lewat jalur ekstra-yudisial pada 1998. Pada 2015, Pemerintah Malaysia juga menyatakan organisasi ini sebagai ‘kelompok terlarang’ dan menegaskan siapa pun yang mengikuti gerakan ini akan menghadapi hukum. Di Yordania, seluruh kegiatan yang dilakukan HT dinyatakan ilegal.
HT juga dilarang mengadakan kegiatan di Bangladesh, karena dianggap teroris, sehingga 40 aktivisnya ditangkap pemerintah. Di Tunisia, aktivis-aktivis HT ditangkap pemerintah, karena mengkritik kebijakan pemerintah. Pakistan pun demikian. Pemerintahnya menangkap 30 aktivis HT, karena diduga terlibat dalam gerakan teroris.
Kasus ditolaknya HT di banyak negara Islam ini menunjukkan bahwa gagasan khilafah boleh dikatakan usang.
Solusi Kebangsaan
Merujuk pada asumsi di atas, maka upaya apapun yang dilakukan oleh sekelompok Islam tertentu untuk menerapkan sistem khilafah di Indonesia menjadi sangat irasional. Walau begitu, kita juga tidak bisa menafikan bahwa gagasan khilafah masih diminati oleh sejumlah umat Islam di Indonesia.
Dalam survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada tahun 2017 lalu, misalnya, ditemukan bahwa terdapat 9,2% masyarakat yang ingin menjadikan khilafah sebagai dasar negara yang terbaik untuk Indonesia. Itu artinya masih ada sekolompok Muslim di Indonesia yang antipati terhadap keragaman.
Padahal, konsep keragaman memiliki landasan historis pada masa Rasulullah Saw ketika menciptakan komunitas Madinah. Komunitas ini merupakan suatu entitas atau suatu komunitas politik yang tidak didasarkan atas agama Islam saja, tetapi di situ ada Yahudi, Kristen Nestorian, dan berbagai macam suku seperti Aus, Khazraj, dan lain-lain.
Meskipun berbeda-beda, tetapi mereka membentuk satu umat bersama, namanya ummatan wahidaha, yang kemudian mengikat kontrak sosial dalam bentuk Piagam Madinah. Jadi, konsep umat dalam konteks awal tradisi nabi asosiasinya tidak hanya umat Islam saja, tetapi juga Yahudi, Kristen, suku Aus, Khazraj, dll. Semua yang mengikat kontrak bersama itu disebut sebagai umat.
Sebenarnya, konsep umat ini merupakan cikal-bakal dari pembentukan konsepsi sebuah bangsa dalam pengertian modern. Boleh dibilang, Piagam Madinah adalah konstitusi awal dalam sejarah umat manusia (Yudi Latif, 2019).
Dalam penilaian Yudi Latif ketika diwawancara Majalah Al-Manar, komunitas Madinah yang multikultural itu merupakan embrio bagi konsep nasionalisme modern. Yudi Latif menjelaskan bahwa nasionalisme itu adalah suatu paham kewargaan yang tidak didasarkan pada kesamaan agama atau etnisitas, tetapi kesapakatan-kesepakatan yang menyangkut aturan-aturan kehidupan bersama.
Jadi, nasionalisme itu pada dasarnya suatu pengelompokan politik yang tidak didasarkan pada kesamaan etnis atau agama, tetapi kehendak untuk bersatu atas dasar konsensus bersama demi kebahagiaan dan kesejahteraan hidup bersama.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa solusi bagi kehidupan kebangsaan Indonesia yang multikultural bukanlah dengan membangun sistem kekhilafaan, melainkan kembali kepada apa yang sudah nabi ajarkan kepada kita untuk hidup berdampingan satu sama lain dalam spirit ummatan wahidaha atau dalam konteks ke-Indonesiaan dalam spirit Pancasila.
Kesimpulannya, jika ideologi Pancasila sudah sesuai dengan nilai-nilai ke-Islam-an Nabi Muhammad, lalu untuk apa menerapkan sistem khilafah di negeri yang penduduknya begitu majemuk ini?