Minggu, Maret 16, 2025

Hollywood Menyelamatkan Ekonomi Tiongkok?

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Dulu, industri perfilman Hollywood meraup keuntungan besar di pasar Tiongkok. Namun, situasi berubah ketika pemerintahan Trump pertama kali berkuasa. Hubungan diplomatik antara Beijing dan Washington memburuk, dan dampaknya pun terasa di industri perfilman. Film-film Hollywood mulai mengalami kesulitan menembus pasar Tiongkok karena ketatnya sensor dan regulasi yang diterapkan.

Kini, setelah Trump kembali menjabat, Presiden Xi Jinping justru mengambil pendekatan yang berbeda. Alih-alih melanjutkan kebijakan restriktif, Tiongkok kini membuka pintu lebar-lebar bagi Hollywood. Jumlah film Hollywood yang diputar di bioskop-bioskop Tiongkok mencapai angka tertinggi, bahkan pemerintah Tiongkok memberikan subsidi untuk pembelian tiket bioskop. Perubahan sikap yang drastis ini menimbulkan pertanyaan: apa motivasi di balik kebijakan baru ini? Apakah ini hanya strategi sesaat untuk industri perfilman, ataukah ada agenda lain yang lebih besar?

Salah satu faktor pendorong perubahan ini kemungkinan besar adalah kondisi ekonomi Tiongkok yang sedang lesu. Masyarakat Tiongkok mengurangi pengeluaran untuk berbagai hal, mulai dari berwisata, makan di restoran, hingga membeli pakaian dan perhiasan. Tingkat konsumsi masyarakat jauh di bawah angka sebelum pandemi, dan hal ini menjadi masalah serius bagi Tiongkok. Perekonomian Tiongkok sedang mengalami perlambatan, dan kondisi ini sudah berlangsung cukup lama.

Membuka kembali pintu bagi Hollywood bisa jadi merupakan salah satu upaya pemerintah Tiongkok untuk menstimulasi perekonomian. Industri perfilman dapat menjadi penggerak ekonomi, menarik masyarakat untuk kembali mengeluarkan uang untuk hiburan dan rekreasi. Selain itu, kebijakan ini juga dapat diinterpretasikan sebagai sinyalemen bahwa Tiongkok ingin memperbaiki hubungan dengan Amerika Serikat, meskipun di bidang politik masih terdapat banyak ketegangan.

Presiden Xi Jinping menghadapi dilema. Di satu sisi, ia ingin mempertahankan kontrol ketat atas informasi dan budaya yang masuk ke Tiongkok, di sisi lain, ia juga perlu mencari cara untuk membangkitkan ekonomi yang sedang lesu. Salah satu solusi yang ia tempuh adalah menghidupkan kembali industri perfilman.

Pemerintah Tiongkok menggarap sektor ini dengan serius. Subsidi tiket bioskop digelontorkan, bioskop-bioskop direnovasi, dan yang terpenting, pasar perfilman Tiongkok yang sangat menggiurkan mulai dibuka kembali untuk film-film asing.

Tiongkok adalah pasar box office terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat. Sebelum hubungan politik memburuk, pasar ini merupakan sumber pendapatan yang sangat besar bagi film-film Hollywood. Namun, pemerintahan Xi Jinping mulai memperketat sensor dan regulasi, terutama untuk film-film yang dianggap “terlalu Barat” atau “tidak bermoral.”

Meskipun demikian, di tengah perlambatan ekonomi dan ancaman perang dagang dengan Amerika Serikat, Tiongkok mulai melunak. Tahun lalu, Tiongkok menayangkan 93 film impor, jumlah tertinggi sejak 2019. Sebagian besar dari film-film tersebut, yaitu 42 film, berasal dari Hollywood.

Kebijakan ini mengindikasikan adanya perubahan strategi dari Presiden Xi Jinping. Ia tampaknya menyadari bahwa menutup diri dari dunia luar justru akan merugikan Tiongkok, terutama dalam kondisi ekonomi yang sedang sulit. Membuka pintu bagi Hollywood, seperti mengizinkan penayangan film Joker, bisa menjadi langkah awal untuk memperbaiki hubungan dengan Amerika Serikat dan menarik investasi asing. Namun, perlu dicatat bahwa pelonggaran ini kemungkinan besar akan disertai dengan pengawasan ketat untuk memastikan bahwa film-film yang masuk tetap sejalan dengan nilai-nilai dan ideologi yang dianut oleh pemerintah Tiongkok.

Keberhasilan film-film asing di Tiongkok tidak hanya terbatas pada Hollywood. Film-film dari negara-negara yang ingin didekati oleh Tiongkok, seperti India dan Jepang, juga menunjukkan performa yang luar biasa.

- Advertisement -

Contohnya adalah film Tamil “Maharaja” yang menjadi fenomena di Tiongkok. Film ini memecahkan rekor sebagai film India dengan pendapatan tertinggi di Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir, meraup lebih dari 10 juta dolar AS. Film animasi Jepang “The Boy and the Heron” juga meraih sukses besar dengan pendapatan mencapai 108 juta dolar AS.

Fenomena ini menarik karena terjadi di tengah penurunan pendapatan box office Tiongkok yang mencapai hampir seperempat. Meskipun demikian, film-film asing justru mencatatkan rekor terbaik dan menguasai 21% pangsa pasar.

Keberhasilan film-film asing ini memberikan dampak positif bagi perekonomian Tiongkok. Ketika masyarakat pergi ke bioskop, mereka juga cenderung menghabiskan waktu dan uang di mal, misalnya dengan berbelanja atau makan di restoran. Dengan kata lain, industri perfilman dapat menjadi katalisator untuk meningkatkan permintaan domestik dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Lebih jauh lagi, kesuksesan film-film dari negara-negara seperti India dan Jepang memberikan pelajaran berharga bagi Tiongkok. Melalui film, Tiongkok dapat mempererat hubungan diplomatik dengan negara lain dan mengurangi potensi konflik. Film dapat menjadi jembatan budaya yang efektif, menumbuhkan rasa saling pengertian dan apresiasi antar negara.

Dengan demikian, kebijakan Tiongkok untuk membuka diri terhadap film asing tidak hanya bertujuan untuk mendongkrak ekonomi, tetapi juga memiliki dimensi politik dan budaya yang signifikan. Ini menunjukkan bahwa Tiongkok sedang mencari cara untuk meningkatkan soft power dan memperkuat posisinya di dunia internasional.

Perubahan sikap Tiongkok terhadap budaya asing tidak hanya terjadi di industri perfilman. Musik, yang sebelumnya juga dibatasi dengan ketat, kini mulai mendapatkan angin segar. Di tengah upaya untuk menyelamatkan ekonomi yang lesu, pemerintah Tiongkok menaruh harapan besar pada industri pertunjukan musik.

Berbagai upaya dilakukan untuk mengundang bintang-bintang musik internasional untuk tampil di Tiongkok. Penyanyi Inggris Ed Sheeran adalah salah satu contohnya. Ia telah mengumumkan rencana konsernya di Tiongkok bulan depan.

Tidak hanya itu, Tiongkok juga dilaporkan sedang menjajaki kemungkinan untuk mendatangkan Taylor Swift, sang “GDP berjalan” yang tur dunianya “Eras” telah meraup pendapatan lebih dari 1 miliar dolar AS. Shanghai dikabarkan telah melakukan pembicaraan awal dengan bintang pop Amerika tersebut, dengan harapan ia dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian Tiongkok.

Fenomena ini menunjukkan bagaimana geopolitik dapat mempengaruhi prioritas budaya suatu negara, terutama bagi Tiongkok di mana semua jenis impor budaya berada di bawah kontrol sensor yang ketat.

Contohnya adalah pada tahun 2020, ketika Tiongkok tidak menyetujui satu pun film India selama dua tahun setelah terjadi bentrokan antara pasukan di perbatasan. Atau pada tahun 2016, ketika Tiongkok memperketat cengkeramannya pada Hollywood setelah hubungan yang tegang selama pemerintahan Trump pertama.

Namun, faktor geopolitik bukanlah satu-satunya penyebab perubahan sikap Tiongkok ini. Faktor ekonomi juga memainkan peran yang sangat penting. Tiongkok mulai menyadari bahwa menutup diri dari budaya asing justru dapat merugikan perekonomiannya.

Dengan mengizinkan masuknya film, musik, dan bentuk budaya asing lainnya, Tiongkok berharap dapat menarik investasi asing, meningkatkan konsumsi domestik, dan pada akhirnya mendorong pertumbuhan ekonomi.

Ini adalah pelajaran berharga yang sedang dipelajari oleh Tiongkok. Bahwa dalam dunia yang semakin terhubung ini, kerja sama dan keterbukaan jauh lebih menguntungkan daripada isolasi dan konfrontasi.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.