Sabtu, Desember 7, 2024

Hipokrisi dalam Sastra 

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
- Advertisement -

Salah satu alasan utama mengapa orang membaca karya sastra adalah untuk merasakan emosi yang kuat—sukacita, kejutan, kemarahan. Terkait dengan kemarahan, pengalaman yang disodorkan ketika menikmati sastra seringkali membuat darah pembaca mendidih melebihi sekadar mengamati aksi-aksi munafik dari pelbagai karakter (tokoh rekaan) yang ada dalam novel, cerpen, atau lakon.

Karakter-karakter berwatak munafik yang mencederai integritas ini memang amat menjengkelkan, terutama di saat mereka berhasil karena kemunafikan mereka. Pembaca akan merasa puas ketika tokoh-tokoh munafik dalam karya fiksi ini menerima pembalasan di akhir cerita. Sayang itu tidak selalu terjadi. Ketika seseorang memutuskan membaca sastra untuk merasakan emosi yang kuat, rasa frustrasi ketika melihat kesuksesan seorang figur munafik menunjukkan bagaimana dahsyatnya kekuatan sebuah emosi. Setidaknya lebih mudah untuk bertahan dengan karakter munafik dalam fiksi ketimbang berhadapan dengan kaum munafik dalam suasana nyata. Namun begitu, orang-orang munafik dalam banyak karya sastra sejatinya juga berfungsi sebagai role model yang menyuguhkan tips bagi orang munafik dalam kehidupan nyata untuk menyempurnakan kemunafikannya. Bukankah sastra itu juga bersifat pedagogis?

Dalam kesusastraan Inggris secara khusus dan Barat pada umumnya, kehadiran tokoh antagonis bermuka dua seringkali, untuk tidak mengatakan selalu, terbuhul erat dengan agama. Dalam Jane Eyre karya Charlotte Bronte, kita bisa menemukan sosok Mr. Brocklehurst. Jane dan gadis-gadis tidak beruntung lainnya di sekolah Lowood jarang mencicipi makanan yang cukup, panas, pakaian dan kasih sayang. Sementara Mr. Brocklehurst, seorang sosok yang dikenal ‘saleh’ dan keluarganya malah hidup mewah. Ia menceramahi anak-anak miskin di Lowood bahwa mereka akan mendapat manfaat dari kemiskinan yang mereka lalui. Lalu ada pendeta Gabriel Grimes dalam Go Tell It on the Mountain oleh James Baldwin, yang berkhotbah tentang perilaku teladan meskipun ia sendiri memiliki anak di luar nikah dan meninggalkan perempuan yang dihamilinya untuk mengurus anaknya sendiri. Ia juga memiliki istri secara resmi namun memperlakukan istri dan anak-anaknya dengan biadab.

Tokoh penginjil bernama Elmer Gantry dalam novel dengan judul yang sama oleh Sinclair Lewis adalah bentuk lain tokoh agamawan yang penuh keburukan, seseorang yang mahir menyatakan “lakukan apa yang kukatakan, bukan apa yang kulakukan (do as I say, not as I do). Lalu bagaimana dengan pemimpin dan warga kota “moralis” dalam karya Nathaniel Hawthorne, The Scarlet Letter? Mereka memaksa Hester Prynne untuk memakai huruf “A” (singkatan dari ‘adultery’; perzinahan) pada pakaiannya tapi dengan mudah mengabaikan bahwa pengampunan harus menjadi bagian dari kepercayaan Kristen mereka. Kita akan terkejut begitu mengetahui bahwa beberapa pihak yang dianggap suci dalam masyarakat Puritan ini juga terlibat dalam perzinahan sesama mereka.

Kita juga bakal menemukan banyak novel yang menegaskan bahwa warga kulit putih adalah pilar masyarakat; sesuatu yang menghalalkan rasisme. Salah satu contoh adalah Native Son oleh Richard Wright. Di sini Henry Dalton, seorang eksekutif real-estate, menyelenggarakan acara guna membantu warga Afrika-Amerika. Meski

menyumbangkan uang untuk NAACP namun pada saat yang sama ia ingin memastikan bahwa warga kulit hitam ini harus tinggal terbatas di ghetto. Ada juga karakter baik dari warga biasa seperti Aunt Sally, yang dengan kesempitan pikirannya menolak untuk menerima orang kulit hitam sebagai bagian dari umat manusia dalam  novel besutan Mark Twain, The Adventures of Huckleberry Finn. Sastra juga menyajikan politisi munafik yang tak terhitung jumlahnya, seperti Willie Stark dalam novel Robert Penn Warren berjudul All the King’s Men. Stark adalah figur yang seolah-olah reformis, namun di samping berbagai kebajikan yang diperbuatnya ia juga seorang korup dan acapkali menipu istrinya.

Dalam dunia penegakan hukum dan keadilan, sastra juga menyindir dengan menghadirkan aparat hukum yang khianat, misalnya wakil sheriff Lester Burdon dalam House of Sand and Fog karya Andre Dubus III. Burdon, yang sudah menikah, berubah nakal ketika mendukung Kathy Nicolo (wanita selingkuhannya) saat menentang seorang Iran di pengasingan Massoud Behrani menyangkut sengeketa rumah. The Robber Bride karya Margaret Atwood juga menampilkan sosok hipokrit hebat, Zenia, yang membawa pesona dirinya ke dalam kehidupan tiga temannya untuk kemudian menghancurkan stabilitas emosional trio perempuan itu semua. Di bidang lakon, Othello karya Shakespeare atau Tartuffe karya Moliere menampilkan sejumlah bintang-bintang  munafik utama, yakni Iago dan Tartuffe. Tokoh yang terkahir, Tartuffe, adalah penipu yang bermanis-manis dan berpura-pura menjadi religius untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.

Middlemarch, sebuah propinsi di Inggris dalam novel George Eliot, diwarnai standar ganda yang membentang jauh melampaui karakter terkenal munafik novel ini, Mr Bulstrode; seorang bankir evangelis yang membangun kekayaannya lewat properti curian dan warisan yang telah direkayasa. Eliot menyandarkan warga kota ini secara khusus dan seluruh masyarakat Inggris pada umumnya pada moralitas palsu yang hadir yang mengutamakan keuntungan pribadi di atas orang lain. Sangat ironis ketika ia menulis, “Secara keseluruhan, bisa dikatakan bahwa amal yang penuh semangat bekerja untuk menyiapkan pikiran baik untuk membuat tetangga tidak bahagia demi kebaikannya” (On the whole, one might say that an ardent charity was at work setting the virtuous mind to make a neighbour unhappy for her good).

Mengingat banyaknya kehadiran karakter-karakter hipokrit dalam berbagai karya sastra Inggris, tidak berlebihan bila dramawan dan penulis Inggris Alan Bennett menyebut bahwa sastra Inggris hebat dalam kemunafikan. Dari perspektif sastra, pernyataannya ini sesungguhnya bersumber dari pemahamannya terhadap tradisi ironis dan kesadaran diri yang tinggi dalam kesusastraan Inggris.

Donny Syofyan
Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.