Namanya Imam Ahmad bin Isa Al Muhajir. Beliau “Sang Habib”, yakni salah satu nenek moyang (wafat 345 H) sekaligus tokoh terpenting dalam tradisi keturunan Nabi Muhammad (‘Alawiyin atau akrab disebut Habib).
Beliau yang pertama kali hijrah ke Hadhramaut (Yaman) yang kemudian dikenal sebagai wilayah utama ‘Alawiyin dan sentral diaspora ‘Alawiyin pendakwah Islam ke Indonesia, Timur Jauh, Afrika, dan penjuru wilayah dunia lain. Karenanya bergelar “Al-Muhajir” yang berarti “yang berhijrah”. Adapun gelar “Imam” menunjukkan ketinggian ilmunya dalam Islam sehingga menjadi “mujtahid” yang berkompeten mengeluarkan fatwa hukum Islam.
Hijrahnya Imam Ahmad adalah strategi meneladani Nabi yang guide book-nya adalah Al-Qur’an. Dalam QS. An-Nisa’: 100 dan QS. An-Nahl: 41, di mana ia adalah pedoman tentang hijrah sebagai strategi bermigrasi demi kondusivitas dakwah utamanya dan hidup.
Nabi hijrah dari Mekkah yang sangat dicintainya ke Madinah (dulu Yastrib) untuk menyelamatkan diri Nabi, keluarga, dan sahabat, umatnya, serta utamanya memuluskan dakwah Islam yang memang semuanya itu betul-betul terancam di Mekkah. Maka, mereka yang ikut hijrah bersama Nabi pun kemudian disebut sebagai “Kaum Muhajirin” (orang-orang yang berhijrah).
Sejak awal hijrah, Nabi tak hanya membangun masjid, tapi juga pasar dan mengubah nama Yastrib menjadi “Madinah”. Artinya, kehadiran Islam di suatu wilayah diproyeksikan untuk tak hanya berdakwah, tapi juga membangun kesejahteraan dan peradaban: masyarakat madani yang didirikan di atas perjanjian antar agama dan suku untuk hidup bersama dalam perdamaian, yang kemudian dikenal dengan “Piagam Madinah”. Termasuk mempersatukan Muhajirin dan Anshar (penduduk Madinah), lantaran persatuan adalah salah satu misi utama dakwah, sebagaimana Nabi pernah pesankan pada Mu’adz bin Jabal ketika diutus untuk berdakwah ke Yaman.
Begitu pula Imam Ahmad yang hijrah dari Bashrah (Irak) ke Hadhramaut. Karena betapapun Irak pada era itu begitu mempesona dalam keilmuan Islam khususnya, dengan adanya tokoh besar saat itu seperti filosof Al Kindi dan sufi Imam Al Junaid. Namun, secara sosial-politik dan keamanan begitu kacau. Bahkan sejak Imam Ahmad lahir.
Pada abad ke-3 H hingga abad ke-4 H itu, Irak berada di bawah kekuasaan Khalifah Al-Muqtadir Billah. Kekacauan terjadi diakibatkan pemberontakan kaum Zinj yang bukan hanya melakukan penjarahan, penindasan, dan penyerangan, tapi juga menebar mitos bertendensi mengintimidasi rakyat secara psikis berupa isu binatang siluman bernama Zib-zib yang diisukan siap memangsa siapa saja yang lengah dan tidur nyenyak di malam hari, serta secara keagamaan memperkeruh keadaan dengan memunculkan sosok Ali bin Muhammad dari kalangan Zinj pada tahun 255 H yang mengaku sebagai seorang nabi.
Setelah Zinj takluk pada 308 H, walau tak sampai musnah, kekacauan kembali terjadi akibat pemberontakan kaum Qaramithah yang sebenarnya telah dimulai sejak 278 H di bawah komando Yahya bin Al-Mahdi. Kali ini kekacauan yang terjadi justru lebih besar, hingga pemerintahan Baghdad nyaris runtuh. Aksi makar terjadi di mana-mana. Berbagai duwailat (daulat-daulat kecil) bermunculan di berbagai wilayah kekuasaan Islam yang saat itu terpusat di Bashrah.
Begitu banyak gerakan politik berbasis golongan juga menyeruak ke permukaan saat itu. Saling perang dan bunuh guna mempertahankan identitas dan kekuasaan masing-masing menjadi fenomena yang marak di sana saat itu. Berbagai kekacauan itu secara tidak langsung kemudian mempengaruhi kegiatan intelektual dan dakwah keagamaan di sana. Masjid-masjid dan majelis keagamaan menjadi sangat sepi. Bahkan sepinya masjid dan majelis keagamaan itu nanti berlanjut hingga sekitar tahun 628 H.
Maka, pada 317 H, Imam Ahmad memilih hijrah, diikuti oleh anak, keluarga besar, dan para simpatisannya yang berjumlah sekitar 70 orang. Hadhramaut saat itu bukanlah pilihan strategis secara sosial-ekonomi. Ia disebut sebagai empty quarter yang berarti kawasan kosong yang berisi dataran gurun gersang. Masyarakatnya menyebut negerinya sebagai al-wadi wa al-shahra’ (lembah dan padang pasir).
Begitu tak strategisnya hingga tersohor legenda tentang nama Hadhramaut karena dalam kawasan itu terdapat sebuah pohon yang disebut al-liban yang memiliki bau yang mematikan. Karenanya setiap orang yang datang (hadr, dalam bahasa Arab) ke sana dan mencium bau pohon itu akan mati (maut, dalam bahasa Arab). Maka, para ahli bahasa kemudian mengaitkan legenda tersebut dengan penamaan atas Hadramaut yang dinilai tersusun dari dua kosa kata: hadr dan maut. Di sana pula secara keagamaan dikuasai oleh sekte Khawarij: Ibadhiyah.
Namun, sebagaimana Nabi yang berhijrah dengan visi dakwah dan membangun peradaban madani, Imam Ahmad juga merevolusi Hadhramaut menjadi ruang sosial-ekonomi yang kondusif dan sejahtera, serta simpul peradaban Islam yang melahirkan ulama tersohor dari Imam Faqih Al-Muqaddam hingga kini Habib Umar bin Hafiz, yang semua diikat dalam satu ikatan sanad keislaman yang kuat bernama Thariah ‘Alawiyah: paradigma dan ajaran keislaman berbasis spiritualitas yang menekankan pada aspek cinta dan akhlak dalam Islam.
Anak Imam Ahmad yang bernama Abdullah mendirikan Bait Jabir dan membangun pertanian di sana. Imam Ali bin Alwi bertugas membangun Qasam. Yang lainnya bertugas membangun kota-kota seperti Khobayah, Hauthah, dan Hawi. Sedangkan Shahib Mirbath dikenal sebagai pedagang yang membuka jalur perdagangan ke sana dengan jaminan perlindungan dan keamanan.
Imam Ahmad dan rombongan juga menjalankan misi utamanya, yakni melawan narasi Khawarij yang memecah-belah umat Islam dengan doktrin takfiri (mengafirkan sesama Muslim) dan menyebarkan Thariqah ‘Alawiyah yang kemudian menyebar ke kawasan diaspora ‘Alawiyin, termasuk Indonesia melalui para keturunannya yang di sini akrab disebut “Habib”.
Maka, hijrah Imam Ahmad adalah gerak dakwah dari suasana kacau ke suasana yang mendukung. Ini sebuah pesan bahwa dakwah harus mempertimbangkan konteks objek dakwahnya, di mana jika benar-benar tak kondusif, tak perlu dipaksakan, apalagi hingga dengan metode keras dan mengancam diri dan umat. Karenanya, dakwah betul-betul “mengajak”, bukan “menabrak”. Ia mencari tempat dan waktu yang tepat.
Hijrahnya Imam Ahmad itulah yang kemudian menjadi motivasi sekaligus prototipe bagi para habib untuk berdiaspora ke berbagai wilayah untuk berdakwah, namun juga berdagang untuk menjamin kehidupannya dan memastikan ia berkontribusi bagi tumbuhnya kesejahteraan, serta berkembangnya peradaban melalui ajaran Thariqah ‘Alawiyah.
Karena itu, kita dapati di Yaman, seperti hijrahnya Imam Ali Khala’ Qasam ke Tarim yang membangun kota itu menjadi pusat peradaban Islam hingga kini, yang dalam catatan kitab Al-Ghurar, yang ditulis oleh Syekh Muhammad bin Ali Bin ‘Alawi Khird (w. 960 H), di zaman itu saja di Tarim sudah ada sekitar 300 ahli fikih yang memenuhi shaf pertama dalam setiap salat jamaah di Mashid Agung Kota Tarim.
Begitu pula Syekh Abu Bakar bin Salim yang hidup pada 9 H yang membangun Kota Inat di Hadhramaut hingga terbentuk sebuah peradaban kota baru dengan nama “Inat Baru” yang sejahtera, damai, dan berkeilmuan. Adapun di Nusantara ada Habib Idrus bin Salim Al-Jufri (Guru Tua) di Palu yang berdakwah dan membangun kawasan dengan pendidikan melalui Yayasan Al-Khairaat (kini menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia).
Itulah hijrah Sang Habib, sebuah perspektif tentang hijrah. Bagi kita, ia bisa berbentuk kembali ke kampung atau merantau ke suatu kawasan untuk membangun, atau “merantau” ke media sosial atau Youtube untuk berdakwah di sana yang kini menjadi lahan baru generasi milenial.
Baca juga
Mengajak Hijrah Para Pekerja Seks Komersil
Hijrah ala ISIS, Caesar, dan Nabi
Konsep Hijrah Cak Nun dan Mistifikasi ala Fayyadl