Hijrah kini sering menjelma komoditas: dijual dalam bentuk gaya hidup, dipoles berupa estetika media sosial, dan di layar lebar dipadatkan menjadi kisah cinta manis. Padahal hijrah sejatinya adalah pergulatan batin yang getir, penuh luka, ambigu, dan tidak pernah selesai. Di sinilah persoalannya: apakah sinema kita berani menggali kedalaman itu, atau hanya menukar kompleksitas spiritual dengan formula pasar yang serba dangkal-instan
Hijrah kerap dipuja sebagai jalan sunyi menuju kesalehan. Namun di layar lebar, ia sering direduksi menjadi kisah cinta penuh dramatisasi; mengubah tragedi personal menjadi komoditas pro-pasar. Film Pengin Hijrah menampilkan sosok Alina, perempuan muda yang mencari diri di tengah luka, cinta, dan dunia digital. Di balik keindahan lanskap Uzbekistan dan romantisisme manis, muncul pertanyaan fundamental: apakah hijrah dalam sinema kita menghadirkan refleksi spiritual-filosofis yang mendalam, atau justru mengulang formula naratif lama tentang perempuan?
Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Sejak awal 2000-an, gelombang film religi Indonesia—dari Ayat-Ayat Cinta (2008) hingga 99 Cahaya di Langit Eropa (2013)—sering memilih pola serupa: menggabungkan pesan moral dengan kisah percintaan, musik, dan panorama estetis. Strategi ini terbukti efektif, terbaca dari data jumlah penonton; Ayat-Ayat Cinta menembus 3,6 juta tiket. Namun efektivitas pasar kerap menimbulkan risiko: kedalaman pesan spiritual bisa tergerus oleh mekanika hiburan yang cenderung artifisial.
Perlu saya tekankan, film Pengin Hijrah sendiri belum tayang di bioskop. Ya, karena itu, saya belum menontonnya. Catatan ini lahir dari pengamatan atas teaser, sinopsis, serta diskusi publik yang telah beredar di media sosial. Justru menarik di sini: bahkan sebelum layar dibuka, film ini sudah memantik percakapan tentang hijrah, perempuan, dan bagaimana sinema meramu keduanya.
Romantisisme Religi
Pengin Hijrah mengisahkan Alina, selebgram yang kehidupannya terguncang setelah serangkaian insiden pribadi: foto tersebar, beasiswa hilang, harga diri runtuh. Pertemuan dengan Omar, mahasiswa keturunan Uzbekistan, menjadi titik awal perjalanan hijrah penuh dilema—dari pergulatan batin hingga penolakan keluarga akibat perbedaan budaya.
Empati dalam narasi ini patut diapresiasi. Dengan menyorot luka batin Alina, film membuka ruang bagi penonton untuk memahami mengapa banyak anak muda—terutama generasi digital native—mencari makna baru di tengah derasnya arus media sosial. Dalam konteks ini, romantisisme hadir sebagai jembatan emosional: cinta menjadi pintu masuk ke ranah spiritual, sesuatu yang resonan dengan pengalaman sehari-hari generasi remaja maupun dewasa muda.
Namun dari perspektif teori feminis dan film studies, kita mesti waspada terhadap risiko representasi. Tanpa ruang otonomi memadai, tokoh perempuan mudah terjebak sebagai “objek pasif” alih-alih tampil sebagai “subjek yang menyelamatkan dirinya sendiri.” Kritik ini bukanlah penolakan atas romansa, melainkan dorongan agar transformasi karakter digambarkan sebagai proses lahir dari kesadaran pribadi-eksistensial. Dengan begitu, film tetap memanfaatkan daya tarik kisah cinta, tetapi tidak mengurangi agensi protagonis perempuan.
Inspirasi Kritis
Keputusan menempatkan beberapa adegan di Uzbekistan memberikan dimensi visual dan simbolik yang segar: Samarkand dan Bukhara tidak hanya indah, tetapi juga menyiratkan makna historis hijrah sebagai perjalanan lintas ruang, budaya, bahkan peradaban. Pilihan ini memperluas cakrawala sinema religi Indonesia yang sering terkungkung pada ruang domestik.
Tetapi apresiasi perlu diimbangi pengamatan kritis. Penggambaran hijrah sebagai transisi linier dari “gelap” menuju “terang” menyimpan risiko penyederhanaan. Kajian sosiologi agama—misalnya dari Thomas Luckmann tentang “agama tak kasat mata”—menunjukkan bahwa pengalaman spiritual justru penuh ambiguitas, jatuh-bangun, bahkan kontradiksi. Dalam kenyataan sosial Indonesia, survei Alvara Research (2022) mencatat meningkatnya tren hijrah anak muda, tetapi sebagian besar mengalami fase inkonsistensi: antara idealitas kesalehan dan realitas kehidupan sehari-hari.
Film akan lebih kuat bila berani menampilkan nuansa itu: keraguan wajar, langkah mundur manusiawi, serta proses rekonstruksi diri yang tak pernah final. Hijrah, dalam kerangka ini, bukan sekadar destinasi, melainkan perjalanan terbuka yang berlapis-lapis. Mencerminkan pergolakan kesadaran ruang getar-batin-pikir yang sangat mendalam.
Catatan Penutup
Hijrah bukanlah transisi sederhana dari gelap menuju terang, dari luka mendekati kesembuhan, dari “kiri” mengarah ke “kanan,” salah menuju benar. Ia adalah perjalanan yang berlangsung dalam gerimis—penuh keraguan, jatuh-bangun, langkah yang kadang maju, kadang mundur. Justru di dalam kontradiksi itulah spiritualitas menemukan kedalaman: manusia diuji bukan oleh kesempurnaan, melainkan oleh keberanian untuk bangkit berulang kali.
Pengin Hijrah memang membuka pintu percakapan, tetapi sekaligus menantang kita untuk bertanya: apakah sinema kita berani melampaui romantisisme religius yang manis dan mudah ditebak? Apakah ia berani menampilkan perempuan bukan sekadar objek yang diselamatkan cinta, melainkan subjek yang meneguhkan dirinya sendiri—dengan luka yang tak selalu sembuh, iman yang tak selalu lurus, dan perjalanan yang tak pernah selesai
Sebab hijrah sejati tidak pernah selesai. Ia bukan paket siap saji yang dijual lewat visual eksotis dan romansa indah. Ia adalah pergulatan sunyi: di kepala terus bertanya, hati kerap goyah, tubuh tiada henti mencari arah pulang. Di titik itulah sinema bisa lebih dari sekadar hiburan: ia bisa menjadi ruang permenungan kolektif tentang keberanian manusia, agensi perempuan, dan spiritualitas yang tak direduksi oleh formula pasar.
Hijrah sejati, akhirnya, adalah keberanian eksistensial: berdiri sebagai diri sendiri, menegaskan pilihan, tanpa kehilangan otonomi pada siapa pun. Jalan pulang itu mungkin berliku dan berat, tetapi justru di situlah ia memancarkan harapan. Dan ketika layar ditutup, semestinya yang tersisa bukan sekadar kisah cinta manis, melainkan gema pertanyaan menggetarkan: sudahkah kita berani menempuh hijrah otentik—memberdayakan, memerdekakan, sekaligus sungguh memanusiakan?