Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Jokowi ketika berkunjung ke AS. Ibu Negara Iriana tampak modis dengan hijab warna oranye. BIRO PERS KEPRESIDENAN
Actions speak lauder than words. Apa yang dilakukan Ibu Iriana Joko Widodo, dengan mengenakan hijab di Silicon Valley, jauh lebih nyaring ketimbang berpidato yang disampaikan secara retoris dari masjid ke masjid. Foto Ibu Iriana berhijab, melalui media, tersebar ke seluruh dunia.
Seusai mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi Asean-Amerika Serikat (KTT ASEAN-AS) pekan lalu di Sunnyland, Ranco Mirage, California, Amerika Serikat, Presiden Joko Widodo berkunjung ke Silicon Valley, antara lain ke maskas Facebook, Google, dan Twitter.
Silicon Valley, atau Lembah Silikon, bukanlah nama tempat yang terdaftar secara formal dalam administrasi negara. Ia merupakan julukan yang mengacu pada kawasan di selatan San Fransisco, Bay Area, California, AS. Popularitas Lembah Silikon hampir menyamai kawasan Hollywood karena menjadi jantung ekonomi kreatif di bidang teknologi informasi. Di sinilah bermarkas perusahaan-perusahaan besar seperti Adobe Systems, Apple Computer, eBay, Cisco Systems, Intel, Hewlett-Packard, Google, dan Yahoo.
Yang menarik, pada saat menemui Sundar Pichai (CEO Google), Mark Zuckerberg (Pendiri dan CEO Facebook), dan Jack Dorsey (CEO Twitter), Joko Widodo didampingi Ibu Iriana yang mengenakan busana muslim (hijab). Penampilan Ibu Negara ini tentu saja mengundang banyak sorotan, terutama dari para pengguna media sosial (netizen).
Meskipun ada yang menganggapnya sekadar pencitraan, umumnya netizen mengagumi dan memuji penampilan Ibu Iriana sebagai keanggunan yang patut dicontoh perempuan-perempuan Indonesia. Selain banyak juga yang berharap agar Ibu Negara konsisten dengan hijabnya.
Anggapan pencitraan mungkin tak sepenuhnya salah karena mengenakan hijab sejatinya bukan kebiasaan Ibu Iriana—kecuali pada saat menghadiri acara-acara yang bernuansa keagamaan, atau acara-acara yang digelar ormas-ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah.
Apakah pencitraan boleh dilakukan dalam perspektif Islam? Tentu saja boleh. Dalam sejarah, Rasulullah Muhammad SAW pernah melakukan pencitraan, yakni pada tahun ke-7 Hijriyah, saat beliau meminta para sahabatnya untuk berlari-lari kecil mengelilingi Ka’bah. Padahal waktu itu para sahabat sangat kelelahan setelah perjalanan jauh dari Madinah ke Mekkkah.
Mengapa harus berlari-lari kecil? Untuk menunjukkan citra sehat dan kuat di hadapan musuh-musuh Islam (kafir Quraisy) yang waktu itu masih menguasai Mekkah.
Lantas bagaimana kita memaknai kehadiran Ibu Iriana mengenakan hijab di Lembah Silikon yang tidak ada kaitan sama sekali dengan nuansa dan aktivitas keagamaan? Ada dua asumsi untuk menjawab pertanyaan ini. Pertama, bisa jadi ini merupakan simbol perlawanan terhadap Islamofobia.
Seperti kita tahu, setelah serangan teror dan bom bunuh diri di Paris tahun lalu, kebencian terhadap Islam (Islamofobia) kembali mengemuka. Apalagi setelah Donald Trump, salah satu calon presiden dari Partai Republik, menyampaikan propaganda Islamofobia dengan berencana melarang warga muslim memasuki Amerika.
Banyak kalangan mengecam Trump yang bisa jadi—baik secara diam-diam maupun terang-terangan—ada juga pengikutnya, termasuk di Indonesia. Saya kira, kepada Trump dan para Islamofobis di seluruh dunia, Ibu Iriana seolah ingin menyampaikan pesan al-Quran (QS, 3:64), isyhaduu bi anna muslimun! (Kalian lihat, kami adalah muslim!).
Kedua, bisa juga dimaknai sebagai dakwah bil hal, yakni menyebarkan paham Islam yang damai, penuh persahabatan, melalui tindakan nyata, bukan dengan pidato atau ungkapan-ungkapan retoris yang banyak disampaikan oleh umumnya juru dakwah (da’i/muballigh) di Indonesia. Karena keanggunan pemakainya, hijab bisa menjadi simbol persahabatan, kesantunan, dan perdamaian.
Pada saat dilakukan di kawasan yang menjadi pusat perhatian dunia, dakwah bil hal semacam ini menjadi sangat penting dan diharapkan memiliki efek yang luas. Harapan ini mungkin terlalu tinggi. Tapi harus diakui bahwa fenomena hijab belakangan ini menjadi tren yang mewarnai bukan hanya di negara-negara muslim, tapi juga—terutama melalui media sosial—merambah seluruh dunia.
Media sosial, yang sebagian besar bermarkas di Lembah Silikon, punya peranan besar dalam menyebarkan Islam yang damai dan penuh persahabatan itu. Maka, rasanya tidak berlebihan jika Presiden Jokowi dalam pidatonya di KTT ASEAN-AS mengajak seluruh pemimpin negara yang hadir agar bersama-sama memanfaatkan media sosial untuk menghadapi ekstremis dan teroris.
Ada narasi yang dikembangkan para ekstremis bahwa dunia Barat adalah lawan Islam. Narasi ini, dari sudut pandang yang berbeda, sama dengan tesis “benturan antarperadaban” yang dilontarkan Samuel Huntington (1993) yang menempatkan Islam (juga Konfusianisme) sebagai ancaman yang nyata terhadap dunia Barat. Menyebarkan dakwah bil hal, dengan menampilkan Islam yang damai dan toleran merupakan narasi tandingan terhadap tesis benturan antarperadaban.
Demikianlah kira-kira pesan hijab Ibu Iriana di Silicon Valley, mungkin terkesan melebih-lebihkan, tapi sebagai sebuah harapan, tidak ada salahnya disampaikan.