Jumat, Maret 29, 2024

Hidup dengan Kenormalan Baru

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia

Kota Wuhan sebagai sumber pandemi corona telah mulai membuka diri dari lockdown. Sejumlah negara pun mulai melonggarkan pembatasan. Italia dan Spanyol yang terdampak parah di Eropa membuka diri dengan tetap menerapkan social distancing dan pemakaian masker.

Negara-negara lain masih harus berjuang untuk melandaikan kurva dan menurunkannya. Amerika Serikat yang bertengger di pucuk jumlah kasus tertinggi di dunia dihadapkan dengan dilema. Aksi-aksi demonstrasi marak di negara-negara bagian menuntut perekonomian segera dibuka kembali.

Kehati-hatian dalam mencabut lockdown didasarkan pada kekhawatiran akan munculnya lagi gelombang kedua wabah. Contoh di Tiongkok, ketika pertumbuhan kasus positif sudah bisa dikendalikan, kasus-kasus impor dari negara lain menekan upaya yang sudah dilakukan.

Para ahli telah mewanti-wanti bahwa pandemi corona atau Covid-19 belum akan bisa diatasi dalam waktu singkat, sampai ditemukannya vaksin yang andal. Meskipun upaya pengembangan vaksin telah dan terus dilakukan, tapi diprediksi baru bisa tersedia pada penghujung tahun 2021.

Karena itu diyakini bahwa dunia belum akan benar-benar pulih hingga tahun 2022. Menuju ke pemulihan total, kita harus bersiap diri untuk tetap mempertahankan prinsip social distancing dan buka-tutup lockdown, atau on/off social distancing.

Di Indonesia, pandemi corona telah memukul perekonomian secara mendalam. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I/2020 terjun bebas dari kisaran 5% hanya tinggal 2,97%. Skenario terburuknya, pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2020 akan mencapai posisi minus.

Padahal kemunculan kasus pertama corona di Indonesia baru terjadi pada awal Maret, yang disusul dengan penerapan awal social distancing. Secara resmi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) baru dimulai pada awal April di DKI Jakarta.

Sejak merebak di Wuhan pada bulan Januari, penurunan ekonomi sudah terjadi secara global. Sektor penerbangan dan pariwisata sudah mengalami pukulan telak. Ditambah dengan seruan bekerja dan beraktivitas dari rumah, sektor konsumsi rumah tangga sebagai andalan pertumbuhan ikut tertekan.

PSBB pun terus diperluas, dari semula hanya di DKI, kemudian mencakup satelit Jakarta (Bodetabek). Setelah aglomerasi Bandung Raya, kini seluruh provinsi Jawa Barat berstatus PSBB. Menyusul Tegal, Makassar, Pekanbaru, Surabaya, Banjarmasin, Gorontalo, Sumatera Barat, dan Palangkaraya.

Hampir sebulan setelah pemberlakuan PSBB, tanda-tanda pelambatan kasus positif mulai terasa. Grafik pertumbuhan kasus di DKI pada akhir April lalu mengalami penurunan berturut-turut selama beberapa hari. Secara nasional, kurvanya diyakini sudah mulai melandai meskipun belum menurun.

Sebagaimana terjadi di negara-negara lain, kehati-hatian tetap disuarakan kepada pemerintah dalam hal relaksasi PSBB. Demikian pula soal akurasi data, mengingat masih terbatasnya testing. Target uji PCR sebanyak 10 ribu specimen dalam sehari masih belum tercapai karena sejumlah kendala.

Kritik paling tajam datang dari tim peneliti Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, bahwa kurva yang disajikan Gugus Tugas Covid-19 belum memenuhi kaidah ilmiah secara epidemiologis. Artinya penambahan kasus harian tidak mencerminkan jumlah kasus baru, lebih pada laju pengujian sampel.

Rasio testing Indonesia pun masih sangat rendah dibanding negara-negara seperti Korea Selatan dan Vietnam, yang mencapai 12.949 dan 2.681 testing per sejuta penduduk. Untuk Indonesia, angkanya baru 579, menurut data laman Worldometer per tanggal 11 Mei 2020.

Tetapi sikap optimisme terus digaungkan oleh berbagai pihak. Presiden Jokowi meminta jajaran pemerintahan bekerja keras menurunkan kurva sepanjang bulan Mei sehingga kasus corona benar-benar selesai pada bulan Juli mendatang.

Jokowi juga mengklaim ketepatan pilihan strategi PSBB alih-alih lockdown atau karantina wilayah, karena memungkinkan ekonomi tetap bergerak, tidak sama sekali mati. Berbeda dengan negara-negara maju, sektor informal yang sangat besar di Indonesia menopang perekonomian nasional.

Setelah sebelumnya melakukan pembatasan total atau larangan mudik, kini pemerintah mulai memberikan kelonggaran. Semua moda transportasi umum dibolehkan kembali beroperasi dengan menerapkan syarat-syarat ketat dalam hal mobilitas manusia.

Exit strategy harus mulai disusun, bagaimana rencana membuka kembali sektor ekonomi secara perlahan-lahan dengan tetap mempertimbangkan protokol kesehatan. Pemerintah juga diharapkan untuk membenahi dan memperkuat sektor kesehatan sebagai antisipasi jika terjadi lonjakan pasien.

Pun ketika nantinya kasus corona sudah bisa dikendalikan, prinsip untuk hidup berdamai dengan kenormalan baru tetap akan berlangsung, sampai ditemukannya vaksin. Kita takkan pernah benar-benar kembali kepada situasi normal sebelum pandemi dan harus beradaptasi dengan realitas baru.

Endang Tirtana
Endang Tirtana
Peneliti Senior MAARIF Institute dan Komisaris Independen PT. Kereta Api Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.