1 Desember adalah Hari AIDS Sedunia (World AIDS Day) dan tahun ini adalah peringatan yang ke-28. Tema yang diusung WHO tahun ini adalah “Hands up for #HIVprevention”.
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) adalah kondisi medikal di mana sistem imun dalam tubuh tidak mampu lagi melawan infeksi. Ketidakmampuan ini disebabkan oleh sistem imun yang diserang oleh virus ganas yang kita kenal dengan nama HIV (Human Immunodeficiency Virus).
HIV membutuhkan inang yang hidup (tubuh manusia) untuk tumbuh dan memperbanyak diri. Biasanya sistem imun manusia mampu menemukan dan membunuh virus-virus yang masuk ke dalam tubuh secara cepat, tapi HIV menyerang sistem imun itu sendiri hingga lemah dan tak mampu melawan.
Hingga saat ini, apabila seseorang terinfeksi HIV, satu-satunya usaha yang dapat dilakukan adalah mengkonsumsi obat-obatan antiretroviral agar virusnya tetap di level yang rendah. Dengan demikian, sistem imun dapat sembuh kembali dan mampu bekerja efektif seperti sedia kala. Orang dengan HIV setiap hari harus mengkonsumsi obat antriretrival, seumur hidupnya.
Jadi, HIV menyebabkan AIDS. Orang dengan HIV belum tentu penderita AIDS, tapi penderita AIDS pasti memiliki HIV dalam tubuhnya.
Berdasarkan data Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional, di tahun 1987 jumlah ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) di Indonesia ada 5 kasus. Setelah 10 tahun bertambah menjadi 44 kasus. Tapi tahun 2007 melonjak menjadi 2.947 kasus dan Juni 2009 meningkat hingga delapan kali lipat, yaitu 17.699 kasus. Dari jumlah tersebut, tercatat yang meninggal dunia mencapai 3.586 orang.
Sesungguhnya kasus ODHA di Indonesia bagaikan fenomena gunung es. Jumlah penderita yang melapor hanya sebagian kecil dari angka yang sesungguhnya. Pada tahun 2014 diperkirakan terdapat 501.400 kasus HIV/AIDS, dan penderitanya tersebar di 32 provinsi dan 300 kabupaten/kota. Provinsi tertinggi dengan jumlah ODHA adalah Jawa Timur, disusul DKI Jakarta, Papua, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.
Menurut Kementerian Kesehata Republik Indonesia, ibu rumah tangga merupakan penderita tertinggi (10.626 kasus), tenaga non-profesional/karyawan (9.603 kasus), wiraswasta (9.439 kasus), petani/peternak/nelayan (3.674 kasus), buruh kasar (3.191 kasus), penjaja seks (2.578 kasus), PNS (1.819 kasus), dan anak sekolah/mahasiswa (1.764 kasus). Penderita ditemukan terbanyak pada usia produktif, yaitu 15-29 tahun.
Cara penularan HIV terbanyak adalah melalui hubungan seks yang berisiko pada kelompok heteroseksual 66%, penggunaan jarum suntik tidak steril pada penasun (pengguna napza suntik) 11%, lelaki seks dengan lelaki (homoseksual) 3%, serta penularan dari ibu ke anak 3%.
Data di atas sangat mencemaskan, karena ternyata kelompok yang paling rentan terpapar HIV adalah ibu rumah tangga dan bayinya, bila dia menyusui. Ibu rumah tangga ini adalah kelompok heteroseksual. Sangat berbeda dengan yang selama ini ditakutkan bahwa HIV/AIDS adalah penyakit menular di kalangan homoseksual. Data di atas mengatakan bahwa homoseksual yang terpapar hanya 3% dari jumlah keseluruhan.
Awalnya, penularan HIV/AIDS diyakini karena kontak seksual sejenis. Karenanya, ia sempat menjadi stigma bahwa HIV/AIDS adalah penyakit kaum gay. Tapi belakangan penderitanya juga banyak dari kelompok heteroseksual. Pada perkembangannya diketahui bahwa HIV/AIDS dapat ditularkan melalui hubungan seksual yang berisiko, baik yang sejenis maupun berlainan jenis. Yang dimaksud hubungan seksual berisiko adalah melakukan hubungan seksual dengan banyak orang tanpa pengaman, dalam hal ini kondom.
HIV/AIDS dapat ditularkan dengan dua cara, yaitu secara seksual dan secara non-seksual. Secara seksual seperti telah dijelaskan di atas. Sedangkan secara non-seksual bisa terjadi karena penggunaan jarum suntik dan peralatan kecantikan yang tidak steril, transfusi darah, dan air susu ibu.
Pada tahun 2013, dalam rangka Hari AIDS Sedunia, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mencanangkan Pekan Kondom Nasional untuk menanggulangi penularan HIV/AIDS. Sayang sekali program ini dibatalkan karena muncul reaksi penolakan yang keras dari tokoh masyarakat, terutama NU dan Muhamadiah.
“Jadi, yang semula tidak melakukan hubungan seksual di luar nikah dengan alasan ketakutan terhadap HIV/AIDS justru kemudian tidak menjadi takut lagi karena kampanye itu dilakukan secara besar-besaran,” tutur Syafiq Mughni, salah seorang Ketua Muhammadiyah.
Saat itu terjadi salah pengertian terkait tujuan kampanye kondom tersebut. Program kondom gratis yang sedianya ditujukan untuk dibagikan di tempat-tempat rawan kegiatan seksual dan berisiko penularan HIV/AIDS, seperti tempat hiburan malam dan pelacuran, tapi salah dipahami menjadi pembagian kondom di sekolah-sekolah dan kampus.
Ketika itu Nafsiah Mboi sempat mengatakan, “kondom bukan barang terlarang seperti narkoba sehingga pembagian kondom tidak perlu dirisaukan. Pembagian rokok gratis di tempat-tempat umum lebih berbahaya ketimbang pembagian kondom.” Tentu tak ada yang mempedulikan ucapan Nafsiah, karena dianggap memfasilitasi persetubuhan ilegal.
Kondom adalah salah satu cara pencegahan penularan HIV/AIDS, walau keberhasilannya tidak menjamin 100%. Paling tidak dapat mengurangi risiko. Cara pencegahan lewat pendekatan agama untuk tidak melakukan hubungan seksual berisiko, misalnya, jelas telah gagal. Ajaran tidak dapat mencegah perilaku pria yang suka jajan di tempat-tempat pelacuran. Kegagalan ini paling besar ditanggung oleh kelompok yang paling lemah, yang sebenarnya bukan pelaku, yaitu ibu rumah tangga dan bayi yang mereka lahirkan.
Mengurangi Jumlah ODHA?
Melihat cara pandang para pejabat di negeri ini yang selalu mengarahkan telunjuknya kepada kelompok homoseksual yang menjadi penyebab utama terjadinya bencana wabah ini, saya pesimistis.
Melalui tema “Hands up for #HIVprevention”, WHO mempromosikan tindakan preventif dan kuratif melalui tes HIV, pengobatan dini yang berkualitas untuk semua kalangan, dan menganjurkan komunitas berisiko menggunakan layanan pencegahan.
Pencegahan dengan cara meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS dan menghilangkan stigma penderitanya seharusnya dilakukan sejak dari pendidikan dasar melalui pendidikan seksual. Tapi kampanye dan pendidikan seksual di sekolah dasar maupun lanjutan masih sulit diterapkan di Indonesia karena masih menganggap tabu dan kekhawatiran bila pendidikan tersebut akan memicu seks bebas di kalangan remaja.
Tapi, kenyataannya remaja kita sudah jauh berlari meninggalkan cara pandang orang tuanya yang kolot dan paranoid. Mari kita perhatikan data di bawah ini yang saya dapatkan dari portal berita bertanggal 20 Desember 2008.
“Hasil survei yang dilakukan salah satu lembaga adalah 63% remaja di Indonesia usia sekolah SMP dan SMA sudah melakukan hubungan seksual di luar nikah dan 21 persen di antaranya melakukan aborsi. Survei tersebut dilakukan di 33 provinsi tahun 2008,” kata M. Masri Muadz, Direktur Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional Pusat (BKKBN).
Pengaruh liberlisme atau pergaulan hidup bebas, faktor lingkungan/keluarga yang mendukung ke arah prilaku tersebut, serta pengaruh perkembangan media massa dituding sebagai penyebab hubungan seks bebas di kalangan remaja. Data Departemen Kesehatan RI, hingga September 2008, dari 15.210 ODHA, 54% adalah remaja.
Data di atas adalah data tahun 2008. Kemudian pada tahun 2013, Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi, pasti karena dia telah melihat data yang lebih mengerikan, mencanangkan Pekan Kondom Nasional. Sayang sekali sebagian besar pejabat dan rakyat Indonesia masih percaya bahwa penularan HIV/AID dapat dicegah dengan ajaran agama. Bangsa yang naïf.
Bila negara tidak segera mengambil tindakan preventif dan kuratif yang benar dan sudah terbukti berhasil dapat mengurangi penularan HIV/AIDS, jangan kaget bila jumlah ODHA di kalangan remaja akan semakin tinggi setiap tahun. Sayang sekali bila, karena kemunafikan dan kenaifan kita, masa depan negara ini akan diwarnai dengan kematian dan menurunnya kualitas generasi penerus.