Hari-hari ini jemaah haji dari berbagai penjuru dunia sudah mulai berdatangan ke tanah suci Mekkah. Seiring dengan itu, berbagai aspek dari haji kembali didiskusikan di berbagai media massa, bahkan di dunia akademis. Tak berlebihan jika dikatakan, “haji” merupakan salah satu tema yang paling banyak dikaji dalam kesarjanaan Islam, termasuk kaitannya dengan bagaimana Islam muncul ke permukaan sejarah.
Dari aspek historis, mengaitkan haji dengan sejarah kemunculan Islam menyingkap paradoks-paradoks dalam narasi umum tentang latar-belakang kelahiran Islam. Biasanya, ritual haji dilacak jauh ke kisah Nabi Ibrahim dan keluarganya.
Jika kisah detail Ibrahim dalam sumber-sumber Muslim dapat diterima, bagaimana kita menyikapi narasi tradisional yang menyebut orang-orang Mekkah sebagai kaum musyrikun? Sulit dibayangkan, kaum pagan Mekkah akan mempraktikkan cara ibadah Nabi Ibrahim, seorang figur monoteis yang kisah pencarian Tuhan-nya yang satu diceritakan dalam al-Qur’an.
Mengapa Ibrahim?
Ibrahim memang figur sentral dalam ritual haji dan narasi kemunculan Islam. Tapi, sentralitas posisi Ibrahim berkembang secara bertahap. Pada periode Mekkah tampaknya figur Ibrahim belum sedemikian penting.
Memang, pada periode Madinah, al-Qur’an menggambarkan Ibrahim sebagai seorang Nabi yang meletakkan cikal-bakal agama yang diajarkan Nabi Muhammad. Tapi, ide semacam ini tidak pernah muncul dalam ayat-ayat Mekkah. Selama periode Mekkah, figur yang paling menonjol ialah Musa, bukan Ibrahim. Hal itu bisa dilihat bukan hanya dari kenyataan bahwa Musa lebih banyak disebutkan, melainkan juga figur Ibrahim tidak diperlakukan begitu spesial sebagaimana dalam ayat-ayat Madinah.
Misalnya, kata “millah” (yang sering diartikan “kredo” atau “agama”), yang diasosiasikan pada Ibrahim di Madinah, ternyata tidak eksklusif terkait kredo Ibrahim, melainkan “millatu ibrahim wa ishaq wa ya’qub” (QS. 12:38). Jelasnya, dalam ayat-ayat Mekkah Ibrahim tidak diposisikan sebagai jangkar monoteisme, melainkan semata satu dari sekian banyak nabi-nabi.
Lalu, mengapa Ibrahim menjadi figur begitu penting di Madinah? Pertanyaan ini telah menyedot perhatian banyak sarjana sejak lama. Seorang sarjana Belanda yang pernah tinggal di Indonesia, C. Snouck Hurgronje, mengajukan jawaban yang hingga sekarang diterima luas di kalangan sarjana Barat.
Menurut Hurgronje, yang memotivasi Nabi Muhammad menjadikan patriarkh Yahudi sebagai pembawa agama hanif ialah pertentangannya dengan komunitas Yahudi. Seruan kembali kepada “millah Ibrahim”, masih kata Hurgronje, ditujukan kepada kaum Yahudi yang dituduh telah menyelewengkan agama yang diajarkan kakek-moyang mereka.
Teori Hurgronje ini belakangan dikembangkan lebih lanjut terkait momen di mana Nabi Muhammad “memisahkan diri” dari tradisi Yahudi. Pola keretakan hubungan hingga memisahkan diri itu menyerupai apa yang terjadi dengan Kristen yang lahir dari rahim tradisi Yahudi.
Tentu saja teori Hurgronje telah menyulut perdebatan terpelajar di kalangan sarjana. Tanpa bermaksud terlibat dalam perdebatan tersebut, sebenarnya sumber-sumber Muslim sendiri menggambarkan keretakan hubungan itu sehingga Ibrahim diklaim sebagai Muslim, bukan Yahudi atau Kristen (QS. 3:65-67).
Terkait asbab nuzul ayat di atas, sejarawan Muslim awal Ibnu Ishaq (w.150/767) meriwayatkan bahwa Nabi pernah ditanya orang-orang Yahudi tentang agamanya. Ketika dijawab, Nabi mengikuti agama Ibrahim, mereka mengklaim Ibrahim sendiri sebagai seorang Yahudi. Maka, turunlah ayat “Ibrahim bukanlah seorang Yahudi atau Nasrani, melainkan muslim yang hanif.”
Dari al-Qur’an dan sumber-sumber Muslim lain bisa disimpulkan, penempatan Ibrahim sebagai figur sentral, termasuk dalam polemik dengan kaum Yahudi, terjadi di Madinah. Sekali lagi, pada periode Mekkah, Ibrahim tak lebih dari nabi biasa yang tidak terlalu istimewa. Karena itu, sentralitas Ibrahim merupakan perkembangan belakangan yang diproyeksikan ke masa awal kemunculan Islam di Mekkah.
Bagaimana Melacak Ritual Haji?
Apakah ritual haji dapat dilacak ke Ibrahim atau tidak, sulit diverifikasi secara historis. Tapi, yang jelas, praktik itu sudah umum dilakukan sebelum kedatangan Islam. Pertanyaan yang sebenarnya lebih menarik didiskusikan ialah bagaimana tempat ibadah pra-Islam di Mekkah kemudian menjadi tanah suci kaum Muslim?
Perjelasan tradisionalnya memang dikaitkan dengan kisah Ibrahim itu. Nabi Muhammad mengadopsi praktik Ibrahim dan membersihkan tempat ibadah tersebut dari penyelewengan yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliyah. Proses “Islamisasi” itu digambarkan sebagai bentuk kontinyuitas dari tradisi Ibrahim, dan bukan perubahan radikal. Yang dilakukan Nabi ialah menghancurkan patung-patung yang ada di dalam dan sekitar Ka’bah, serta memperkenalkan kembali monoteisme yang diajarkan Ibrahim.
Singkatnya, Islamisasi Mekkah tak lebih dari restorasi monoteisme yang asli.
Di sisi lain, sumber-sumber Muslim tradisional kerap menggambarkan kelahiran Islam sebagai sebuah perubahan radikal dari zaman pra-Islam, yang acapkali disebut “Jahiliyah” itu. Sumber-sumber tersebut cenderung menekankan aspek “revolusi Islam” sebagai agama wahyu, yang bertolak belakang dari kebiadaban Jahiyah.
Paradoks-paradoks seperti itu dalam sumber Muslim memang sulit direkonsiliasi. Untuk lebih menambah kompleksnya masalah, berbagai istilah atau lokasi terkait ritual haji yang disebutkan dalam berbagai sumber sulit direkonsiliasi dengan apa yang kita saksikan sekarang. Kenyataan ini, tentu saja, menambah rumit pelacakan asal-asul ibadah haji.
Karena keterbatasan ruang, saya akan diskusikan satu contoh saja. Misalnya, “maqam ibrahim”, sebutan untuk sebuah batu yang terletak di sebelah timur-laut Ka’bah. Dalam ritual haji, batu tersebut memiliki arti penting sehingga jemaah haji melakukan salat dua rakaat di sana setelah tawaf.
Pertanyaannya, bagaimana batu yang khusus itu kemudian disebut “maqam ibrahim”? Dalam al-Qur’an, kata “maqam ibrahim” termasuk hapax legomenon yang muncul dalam QS. 2:125: “Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (bait) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam ibrahim sebagai tempat salat.”
Para mufasir telah mengajukan banyak tafsir yang berbeda. Selain dari mereka yang mengaitkan maqam ibrahim dengan batu, ada juga mufasir yang berpendapat bahwa kata tersebut merujuk pada keseluruhan tanah suci di Mekkah. Secara tata-bahasa, tafsir terakhir ini lebih tepat, sebab mereka yang mengasosiasikan maqam ibrahim dengan batu secara khusus akan kesulitan memaknai preposisi “sebagian” (min maqam ibrahim). “Sebagian maqam ibrahim” mengindikasikan bahwa maqam itu luas, dan sebagiannya saja yang dijadikan tempat salat.
Ibnu Hisyam dalam Sirah-nya meriwayatkan pernyataan Abdul Manaf: “thawa zamzam ‘inda al-maqam” (zamzam terletak di sebelah maqam). Ini mengisyaratkan bahwa maqam bukanlah batu yang kita lihat sekarang. Karena itu, sejarawan Prancis Henri Lammens berpendapat maqam itu istilah lain dari Ka’bah.
Sejarawan (tentang) Mekkah al-Azraqi juga meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad “fa-kana yushalli ila al-maqam ma kana bi-makkah” (dia biasanya salat menghadap maqam ketika berada di Mekkah). Artinya, Nabi menjadikan maqam sebagai kiblat.
Semua riwayat ini mengindikasikan bahwa maqam (ibrahim) bukanlah batu yang terletak di sebelah timur-laut Ka’bah. Bagaimana merekonsiliasi bukti-bukti di atas (dan contoh-contoh lain yang bisa saya sebutkan dalam tulisan lain) dengan maqam ibrahim yang ada sekarang? Dalam konteks ini, baik argumen kontinyuitas Islam ataupun perubahan radikal dari zaman pra-Islam tampak terlalu menyederhanakan masalah.
Usulan saya ialah pelacakan asal-usul haji jangan hanya terbatas pada zaman pra-Islam. Sebab, sangat dimungkinkan, beberapa aspek dari ritual haji mengkristal sebagaimana yang kita lihat sekarang setelah periode al-Qur’an dan/atau wafatnya Nabi Muhammad.
Wa Allahu a’lam bi-al-shawab.