Untuk kesekian kalinya tragedi itu terjadi, dengan memakan korban nyawa para jamaah haji yang begitu banyak. Dan, sejauh ini belum ada upaya yang secara sistematis mampu mencegahnya agar tidak terulang kembali. Kepasrahan untuk beribadah menjumpai Allah SWT di tempat yang paling mulia, kota suci, kota kelahiran Rasulullah SAW, mungkin menjadi satu-satunya alasan mengapa para jamaah tetap ikhlas menerimanya dan sama sekali tidak membuat mereka takut atau jera.
Walau setiap saat maut mengancam jiwanya di tengah-tengah kekhusukan ibadah, setiap tahun para jamaah tetap berduyun-duyun datang, dari berbagai belahan dunia, dengan antusiasme yang tak pernah surut. Memenuhi panggilan suci menuju Baitullah tetap menjadi mimpi setiap muslim, bahkan untuk mereka yang sejatinya tidak memenuhi syarat untuk memenuhi rukun Islam kelima itu.
Tapi, menunaikan ibadah haji bukan semacam ritual “sadomasokis”. Para jamaah bukan mereka yang ingin mencari puncak kenikmatan beribadah dengan cara disakiti. Dan tentu saja, Allah bukan Tuhan yang akan memberi puncak kenikmatan hubungan dengan menyakiti hamba-hamba yang mencintai-Nya.
Artinya tak ada alasan untuk menyakiti diri sendiri, apalagi sampai menemui ajal lantaran ingin berjumpa sang kekasih, walau sang kekasih itu adalah Allah. Karena Allah Maha Pengasih. Ia juga Maha Penyayang. Ia akan memelihara hamba-hamba yang dicintai-Nya dengan penuh kasih sayang. Kasih sayang tanpa batas, itulah kasih sayang yang datang dari-Nya. Bahkan pada saat memberi ujian pun tidak akan memberikan sesuatu yang di luar batas kemampuan hamba-hamba-Nya.
Di mata Allah, nyawa manusia sangat berharga. Sungguh kejam pihak-pihak yang membiarkan manusia sengsara, menderita, atau bahkan kehilangan nyawa lantaran ingin berjumpa dengan-Nya. Peristiwa memilukan, terutama yang terjadi di Jamarat (tempat melempar jumrah), mungkin bukan sekadar tragedi, tapi merupakan menifestasi kekejaman yang tak bisa dimaafkan. Jika itu terjadi untuk yang pertama kalinya, mungkin kita maklum, tapi karena terjadi untuk yang kesekian kalinya, jelas itu madzlum (terzalimi).
Dalam pepatah Arab, bahkan si jahil alias si bodoh pun tidak akan terjerumus pada lubang yang sama dua kali. Tragedi Jamarat terjadi berulang kali. Bukankah itu bentuk kejahilan murakkab alias bertingkat-tingkat? Lantas siapa yang jahil murakkab itu?
Tertuduh utama tentu saja pemerintah (Kerajaan) Arab Saudi sebagai pihak yang bertanggung jawab dengan pelaksanaan ibadah haji. Tertuduh berikutnya adalah pemerintah dari masing-masing negara yang bertanggung jawab atas pengiriman jamaah haji yang berasal dari negaranya, termasuk Indonesia.
Ada sejumlah upaya yang dilakukan pemerintah Arab Saudi seperti perluasan Masjidil Haram; penataan dan peningkatan kapasitas Jamarat di Mina; dan perbaikan sistem transportasi yang semuanya bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan ibadah haji. Yang dilupakan Arab Saudi adalah yang dibutuhkan para jamaah bukan hanya kenyamanan tapi juga keamanan dan keselamatan.
Upaya meningkatkan keamanan dan keselamatan para jamaah merupakan aspek yang kurang mendapat perhatian kecuali sekadar dilakukan secara sporadis, dengan aparat yang kuantitas dan kualitasnya sangat terbatas. Padahal yang dihadapi adalah para jamaah yang berasal dari berbagai negara dengan bahasa, karakter, dan bahkan bentuk fisik yang berbeda-beda.
Yang sulit diterima akal sehat, sudah terjadi tragedi yang sama berkali-kali, toh tak ada upaya peningkatan kualitas keamanan yang berarti–termasuk bagaimana cara mengevakuasi dan mengidentifikasi para korban. Sebegitu jahilkah mereka?
Kejahilan yang sama dilakukan pemerintah Indonesia. Bahkan untuk sekadar memprotes pemerintah Arab Saudi, hingga kolom ini ditulis, pemerintah kita masih dalam tahap menimbang-nimbang. Pada tragedi Mina (1990), Presiden Soeharto melayangkan protes keras kepada Raja Fahd bin Abdul Aziz. Protes sangat diperhatikan karena 649 dari 1.426 jamaah yang menjadi korban saat itu berasal dari Indonesia. Presiden Joko Widodo seharusnya mencontoh Pak Harto, karena pada tragedi tahun ini tak sedikit juga korban yang berasal dari Indonesia.
Di masa yang akan datang, banyak hal mutlak harus dibenahi. Kesehatan fisik dan mental adalah syarat mutlak bagi para calon jamaah haji. Aspek inilah yang seyogianya menjadi perhatian utama pemerintah. Fasilitas akomodasi yang nyaman serta kebutuhan nutrisi dan gizi yang memadai penting diperhatiakn. Tapi semua itu menjadi tidak ada artinya jika aspek pelakunya (para jamaah) tidak memenuhi persyaratan baik secara fisik maupun mental.
Belum adanya kesadaran berdisplin tinggi dan bersabar secara maksimal dari para jamaah menjadi salah satu sebab terjadinya tragedi. Maka menyediakan petugas haji dari kalangan psikolog menjadi penting, selain para petugas medis dan agamawan sebagai pembimbing ibadah. Juga harus ada pihak yang terus-menerus meyakinkan para jamaah bahwa tingkat kemabruran haji seseorang bukan ditentukan dengan mengejar keutamaan-keutaman yang berkaitan dengan waktu dan tempat yang bersifat fisik, melainkan dengan dalamnya kesadaran hati dan tingginya rasionalitas akal sehat.
Yang juga penting diperhatikan, standar yang disematkan pada para petugas haji bukan semata-mata kualitas tapi juga kuantitas. Perbandingan antara jumlah petugas dan jamaah harus rasional, misalnya untuk pembimbing ibadah 1:10 (satu pembimbing untuk 10 jamaah); untuk petugas medis 1:20; dan untuk aparat keamanan 1:50. Ini berlaku untuk jamaah yang normal secara fisik dan mental.
Bagi penyandang disabilitas tentu menggunakan rasio yang lain lagi. Intinya, untuk kenyamanan dan keamanan-keselamatan para jamaah haji dibutuhkan upaya-upaya maksimal dengan rasionalitas yang terukur, baik dari pemerintah Arab Saudi maupun dari negara-negara tempat jamaah haji berasal.