Pemilu 1999 merupakan salah satu tonggak terpenting dalam sejarah demokrasi konstitusional Indonesia. Setelah berhasil menjatuhkan Suharto, kekuatan pro-demokrasi juga hendak menyingkirkan seluruh kroni Orde Baru. Dalam pandangan mereka, Habibie yang diangkat sebagai presiden menggantikan Suharto, adalah bagian dari anasir yang juga harus dienyahkan.
Meski kurang mendapat legitimasi politik, namun Habibie menduduki jabatan presiden secara legal-konstitusional. Dengan demikian setiap upaya untuk menyingkirkannya dengan cara-cara di luar koridor adalah tindakan inkonstitusional. Untuk mengatasi krisis politik tersebut, maka tercapailah kata sepakat dalam Sidang Istimewa MPR (10-13 November 1998) untuk mempercepat pemilu pada tahun 1999, yang seharusnya jatuh pada 2002.
Dalam konteks demikian, keberhasilan atau kegagalan penyelenggaraan Pemilu 1999 akan sangat menentukan apakah Indonesia mampu keluar dari krisis multidimensional saat itu. Oleh karenanya, semua kekuatan politik mengikuti proses Pemilu 1999 dengan penuh harap-harap cemas. Di satu sisi, kekuatan pro-status quo berharap dapat memanfaatkan pemilu untuk mempertahankan posisi mereka dalam tatanan baru politik demokratis. Di sisi lain, kekuatan pro-demokrasi berharap dapat menggunakan pemilu untuk menyingkirkan sama sekali sisa-sisa rezim Suharto dari panggung politik nasional.
Dalam penyelenggaraan pemilu transisional tersebut hampir semua aturan berubah. Misalnya, peserta pemilu tidak lagi dibatasi hanya 3 parpol, sebagaimana di era Orde Baru. Sebaliknya, rakyat dibebaskan sepenuhnya untuk mendirikan partai politik. Partai-partai politik juga tidak lagi wajib menganut asas tunggal Pancasila. Boleh apa saja, sepanjang “tidak bertentangan dengan Pancasila”.
Lembaga penyelenggara pemilu juga mengalami perubahan fundamental. Di masa Orde Baru, pemilu diselenggarakan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang berada di bawah Departemen Dalam Negeri. Sementara fungsi Pengawas Pemilu diperankan oleh lembaga Kejaksaan. Jadi penyelenggaraan pemilu betul-betul di bawah kendali pemerintah.
Tapi itu semua tidak lagi berlaku di Pemilu 1999. UU Pemilu saat itu menyatakan bahwa KPU terdiri dari wakil pemerintah dan wakil parpol. Pemerintah diwakili 5 orang. Sedangkan masing-masing parpol peserta pemilu 1999 yang berjumlah 48 berhak mengirim satu wakil. Jadi total anggota KPU berjumlah 53 orang, yang diketuai Rudini, mantan Menteri Dalam Negeri (1988-1993). Meski jumlahnya tidak berimbang, namun regulasi mengatur bahwa 5 wakil pemerintah memiliki hak suara setara dengan 48 wakil parpol.
Desain kelembagaan KPU ini memang unik karena menggabungkan unsur pemerintah dan peserta pemilu. Tapi hal ini juga menyimpan bom waktu karena menyulitkan proses pengambilan keputusan. Rentan deadlock. Namun saat itu banyak orang yang memaklumi. Lagi-lagi karena desain ini merupakan hasil kompromi antara pemerintah dan kekuatan-kekuatan politik baru.
Nah, Pemilu 1999 diselenggarakan oleh KPU dengan model demikian. Ditambah waktu persiapan yang sangat pendek, pada awalnya banyak pihak yang pesimis. Jika kita ingat, keputusan untuk mempercepat Pemilu diambil dalam SI MPR pada 10-13 November 1998. Lalu UU Pemilu (bersama paket UU Politik lain) disahkan pada 28 Januari 1999. Sementara Pemilu dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Jadi praktis, masa persiapan pemilu hanya 5 bulan. Itu mirip dengan kisah Bandung Bondowoso yg menyatakan sanggup membangun seribu candi hanya dalam satu malam.
Namun sedikit demi sedikit KPU berhasil mendapatkan kepercayaan publik. Bermula ketika proses verifikasi parpol calon peserta Pemilu 1999 yang berjumlah 148 diserahkan ke Tim 11 yang independen. Tim itu diketuai Nurcholish Madjid, yang saat itu memiliki reputasi tinggi di mata publik. Dalam situasi penuh keterbatasan, tim itu dalam waktu satu bulan berhasil menyaring 48 parpol yang memenuhi syarat sebagai peserta pemilu 1999.
KPU saat itu juga mendapatkan pujian karena proses kampanye berjalan meriah dan aman. Hal ini berbeda dengan prediksi banyak pengamat waktu itu yang memperkirakan kampanye pemilu pertama di era kebebasan akan penuh konflik berdarah. Apalagi saat itu konflik komunal sudah meledak di Sampit (Kalbar), Poso (Sulteng), dan Ambon (Maluku). Memang ada satu dua konflik kekerasan selama masa kampanye yang terjadi di sekitar Pantura Jawa Tengah. Namun secara umum berjalan tertib.
Juga di luar dugaan, proses pencoblosan relatif berlangsung jujur dan adil. Masyarakat berbondong-bondong datang ke lebih dari 300 ribu TPS untuk menunaikan hak suaranya dengan tertib. Antusiasme ini menjadi cermin bahwa rakyat betul-betul ingin merayakan kedaulatan politiknya, setelah 6 kali pemilu Orde Baru kedaulatan mereka dimanipulasi sekedar untuk memperkokoh bangunan rezim otoriter. Antusiasme tersebut kemudian terbukti dengan tingkat partisipasi pemilih mencapai 92,99%. Angka tersebut masih yang tertinggi sepanjang 4 kali pemilu di era reformasi.
Namun, proses yang mulus itu tidak berlangsung lama. Bom waktu akibat dari desain kelembagaan KPU seperti telah diuraikan di atas belakangan betul-betul meledak. Semua bermula dari proses penghitungan suara yang tidak kunjung (di)selesai(kan), sehingga penetapan hasil pemilu ditunda berkali-kali.
Semula publik mengira lambatnya penghitungan suara karena kehati-hatian atau menghadapi kendala teknis. Namun lambat laut terungkap bahwa keterlambatan itu akibat dari ulah wakil-wakil parpol di KPU yang berebut kursi DPR RI. UU Pemilu saat itu mengatur bahwa parpol yang mendapat kursi DPR kurang dari 2% tidak bisa ikut pemilu berikutnya. Nah, setelah mengetahui bahwa banyak parpol yang gagal mendapat kursi signifikan, maka banyak anggota KPU saling berebut kursi DPR agar partainya lolos ambang batas tersebut.
Tarik-menarik itu berlangsung keras dan rumit di antara anggota KPU yang terpecah menjadi 3 kubu. Kubu pertama wakil-wakil pemerintah yang bekerja profesional. Kubu kedua wakil-wakil parpol yang bakal mendapat kursi signifikan. Dan kubu ketiga, wakil-wakil parpol gurem. Akibat tarik-menarik tersebut, penetapan hasil penghitungan suara molor berkali-kali. Awalnya dijadwalkan 8 Juli. Namun diundur menjadi 21 Juli. Karena masih saling ngotot rebutan kursi, maka proses penetapan hasil pemilu baru bisa dilaksanakan pada 26 Juli 1999.
Proses penetapan itu pun tidak berjalan mulus. Sebab 27 Anggota KPU menolak menandatangani Berita Acara penetapan hasil penghitungan suara. Dari 53 Anggota KPU, hanya 22 anggota yang bersedia tanda tangan, yakni 5 wakil pemerintah dan 17 wakil parpol. Sedangkan 4 anggota lain tidak hadir. Masalahnya, dalam UU Pemilu diatur bahwa penetapan hasil pemilu dinyatakan sah jika ditandatangani sekurang-kurangnya oleh dua pertiga anggota KPU.
Klausul ini lah yang dimanfaatkan oleh wakil-wakil parpol (yang bakal tidak lolos ambang batas) untuk memboikot hasil pemilu. Mereka sadar bahwa jika kurang dari 2/3 anggota KPU yg menandatangani, maka hasil Pemilu tidak bisa disahkan. Tampaknya mereka menggunakan prinsip dalam bahasa Jawa “tiji tibeh” (mati siji mati kabeh): kalau satu partai tidak mendapat kursi maka semua partai tidak boleh mendapat kursi. Karena hanya ditandatangani 22 orang anggota KPU (41,5%), maka penetapan hasil pemilu pun tidak sah.
Karena hasil pemilu tidak kunjung disahkan, maka Indonesia berada di ambang krisis konstitusional. Anggota DPR baru hasil pemilu 1999 tidak bisa dilantik. Berikutnya MPR tidak bisa memilih Presiden/Wakil Presiden (saat itu Presiden/Wakil Presiden belum dipilih secara langsung). Dalam situasi seperti ini, para pengamat politik dan ahli hukum juga tidak satu suara tentang jalan konstitusional yang dapat ditempuh.
Setelah berhari-hari mengalami ketidakpastian politik, pada akhirnya Habibie turun tangan pada 4 Agustus 1999. Menggunakan kewenangannya sebagai Kepala Negara, Presiden Habibie mengeluarkan Keppres No. 92/1999 untuk mengesahkan hasil Pemilu 1999.
Keppres itu menetapkan hanya 21 parpol (dari 48) yang mendapat kursi di DPR. Sementara 6 parpol mendapat kursi lebih dari 2%. Sebagaimana diduga, PDIP menempati urutan teratas dengan 30,8% kursi. Disusul Partai Golkar dengan 24%, lalu PPP dengan 11,8, PKB dengan 10,2%, PAN dengan 7,6%, dan PBB dengan 2,6%. Di luar 6 parpol tersebut, UU Pemilu masih memberi jatah 38 kursi gratis bagi TNI/Polri.
Langkah Presiden Habibie mengeluarkan Keppres tersebut telah menyelamatkan Pemilu 1999 dari ambang kebuntuan, dan berjasa besar untuk mengakhiri krisis konstitusional yang hampir saja menimpa bangsa Indonesia. Karena itu semua pihak memuji terobosan ini, termasuk partai-partai politik yang mendapatkan kursi di DPR.
Namun pada akhirnya, politik kadang tidak kenal balas budi. Para anggota DPR hasil Pemilu 1999 yang disahkan dengan Keppres tersebut dua kali mempermalukan Habibie pada Sidang Istimewa MPR 1999. Pertama, pada saat Habibie memasuki ruang sidang MPR untuk menyampaikan pidato pertanggungjawaban. Secara norak mereka menyambut kehadirannya dengan teriakan “huuuu”.
Kedua, pada 20 Oktober 1999 mayoritas anggota DPR itu juga menolak pidato pertanggungjawaban Habibie karena telah tercapai kesepakatan-kesepakatan tertentu di antara elit politik. Dan peristiwa itu lah yang memaksanya mengundurkan diri selamanya dari panggung politik nasional.
Untuk mengenang jasa-jasanya di atas, maka pada 29 Desember 2014 KPU RI menganugerahkan penghargaan berupa KPU Award. Penghargaan tersebut untuk mengingatkan kita semua bahwa pada suatu penggalan sejarah yang sangat kritis, Habibie pernah berperan besar dalam menyelamatkan pemilu dan demokrasi di Indonesia.
Selamat jalan, Pak Habibie.