Rabu, November 6, 2024

Habib Luthfi dan Maulid Kebangsaan

Husein Ja'far Al Hadar
Husein Ja'far Al Hadar
Vlogger Islam Cinta yang tak lagi jomblo. Direktur Cultural Islamic Academy, Jakarta. Mahasiswa Tafsir Qur’an Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
- Advertisement -
Presiden Joko Widodo (keddua kanan) didampingi Menteri PU Pera Basoeki Hadimoeljono (kiri), Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (kedua kiri) dan Ketua Jam'iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mutabarah al-Nahdliyyah (JATMAN) Habib Muhammad Luthfi bin Yahya (kanan) menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Pekalongan, Jawa Tengah, Minggu (8/1). Presiden berpesan kepada santri untuk lebih selektif dalam memilh informasi melalui media sosial yang berkaitan dengan kebencian dan SARA. ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/tom/aww/17.
Presiden Joko Widodo didampingi Menteri PU Basoeki Hadimoeljono (kiri), Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo (kedua kiri), dan Ketua Jam’iyyah Ahlith Thoriqoh al-Mutabarah al-Nahdliyyah (JATMAN) Habib Muhammad Luthfi bin Yahya (kanan) menghadiri peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW di Pekalongan, Jawa Tengah, Minggu (8/1). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra/tom/aww/17.

Ada yang menarik jika kita menyelami latar belakang dan konsep perayaan Maulid Nabi yang diselenggarakan Habib Muhammad Luthfi bin Yahya. Sejak awal, Habib Luthfi menyelami Maulid Nabi secara historis, bukan hanya religius. Oleh karena itu, sebagaimana ditulis Ahmad Tsauri dalam Sejarah Maulid Nabi, perayaan Maulid Nabi ala Habib Luthfi merupakan rangkaian sejarah yang jejaknya bisa ditarik hingga pertama kali ia diperingati, yakni di era kekuasaan Khalifah Al-Mansur dari Dinasti Abbasiyah.

Dalam catatan Ahmad Tsauri, sejak awal perayaannya, Maulid Nabi telah menyimpan latar belakang fakta menarik. Pertama, inisiatif perayaan Maulid Nabi pertama datang dari seorang perempuan Persia yang cerdas, berwawasan luas, dan bijaksana bernama Al-Khaizuran (173 H). Ia adalah istri Khalifah Al-Mansur dan ibu dari dua Khalifah Abbasiyah, Al-Hadi dan Harun Al-Rasyid, yang juga terkenal lantaran mewarisi tiga ciri yang melekat pada ibunya tersebut, sehingga di tangannya peradaban Islam mencapai salah satu masa keemasan.

Maka, jika dihayati pula secara historis, perayaan Maulid Nabi merupakan salah satu momentum meneguhkan kembali diangkatnya derajat wanita dalam Islam: mereka berperan dalam memunculkan salah satu ritual terbesar dalam sejarah peradaban Islam pasca-Nabi yang gaungnya tak pernah sepi hingga kini.

Kedua, inisiatif perayaan Maulid Nabi oleh Al-Khaizuran dimaksudkan sebagai benteng kultural Islam agar masyarakat Muslim saat itu tidak turut merayakan Nairuz dan Mahrajan, dua perayaan kuno Persia yang tetap semarak ketika Islam mendominasi wilayah Persia.

Maka, lagi-lagi jika dihayati secara historis, perayaan Maulid Nabi menyimpan warisan berupa pendekatan kultural dalam merespons masalah. Apa yang dinilai sebagai masalah saat itu, yakni perayaan Nairuz dan Mahrajan, direspons bukan dengan memfatwakan haram merayakannya atau mengucapkan selamat atas perayaan tersebut, namun lewat pendekatan kultural dengan menyediakan alternatif lain yang tidak kalah bergengsinya dan berpijak pada tradisi Islam.

Dan terbukti, ia jauh lebih efektif, popoler, dan lintas sejarah ketimbang pendekatan hukum. Hukum di sini, misalnya, berbasis fatwa pelarangan sebagaimana pernah dikeluarkan Ibn Taimiyah yang sifatnya temporal dan sangat terikat konteks saat itu. Persisnya ketika itu sedang berkecamuk Perang Salib yang mana fatwa itu lebih berorientasi meneguhkan politik identitas keislaman.

Karenanya, dengan wawasan historis tersebut, Habib Luthfi meletakkan Maulid Nabi bukan sekadar ritual keislaman semata, tapi juga keindonesiaan. Sebagaimana Maulid Nabi dirayakan sejak Dinasti Abbasiyah, Fatimiyah, Ayyubiyah, Dinasti Azafi Maghrib, Dinasti Marini Maroko, pasca-serbuan Mongol, hingga era penjajahan negara-negara Eropa, di mana semangat perayaan Maulid Nabi bukan hanya keagamaan, tapi juga kebangsaan.

Dalam konteks kebangsaan tersebut, Habib Luthfi merancang Maulid Nabi menjadi perayaan persatuan bangsa. Ia menjadi ajang silaturahmi dan pergandengan tangan antara ulama dan umara’ (pemimpin): dari tingkat nasional, provinsi, hingga kabupaten-kota. Tanpa memilah-milah umara’-nya: siapa yang memimpin saat perayaan Maulid Nabi diselenggarakan, maka dia diundang untuk bersilaturahmi dan bergandengan tangan dengan ulama dan umat.

Lihatlah, misalnya, foto-foto ketika Susilo Bambang Yudhoyono dulu maupun Jokowi sekarang sama-sama digandeng tangannya pas tiba dalam perayaan Maulid Nabi ala Habib Luthfi.

habib-sbyhabib-jokowiLebih jauh, Habib Luthfi juga menjadikan Maulid Nabi sebagai momentum persatuan elemen bangsa dari berbagai agama. Di antaranya, sebagaimana terlihat dari foto yang diunggah Facebook Habib Luthfi bin Yahya, terlihat Kepala Paroki St Petrus Pekalongan, Romo Sheko, hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut.

- Advertisement -

Melalui Maulid Nabi, Habib Luthfi tampak menegaskan pesan kebangsaan bahwa di tengah ragam perbedaan, nilai-nilai kebangsaan haruslah dijaga. Oleh karena itu, sehari sebelum perayaan Maulid Nabi, dalam Apel Ikrar Kesetiaan NKRI di Alun-alun Kota Pekalongan, Habib Luthfi menegaskan, “Kita tidak rela NKRI terkoyak-koyak, kita tidak rela bangsa Indonesia terpecah-belah, maka Apel Ikrar Kesetiaan ini sebagai wujud kita cinta NKRI.” Sebab, bangsa adalah wadah bagi ragam entitas yang berbeda itu.

Bahkan, nilai-nilai kebangsaan itu legowo menjadi wadah bagi mereka yang mengkritik nilai-nilai kebangsaan itu sendiri. Inilah pesan rahmat Islam, sebagaimana Allah yang tetap merahmati kehidupan dan semacamnya kepada manusia-manusia yang tak percaya kepada-Nya sekalipun.

Secara historis, yang terdekat, apa yang dilakukan Habib Luthfi mengingatkan kita pada Habib Ali al-Habsyi Kwitang yang juga menjadikan Maulid Nabi sebagai momentum kebangsaan, di mana ia “bergandengan tangan” dengan Bung Karno. Sebuah paradigma kalangan habib yang memang sejak awal Islamnya dibawa dengan orientasi kebangsaan dan kultural, sebagaimana saya pernah tulis di GeotimesKeturunan Arab, Islam, dan Nasionalisme dan Habib, NU, dan Islam yang Satu.

Husein Ja'far Al Hadar
Husein Ja'far Al Hadar
Vlogger Islam Cinta yang tak lagi jomblo. Direktur Cultural Islamic Academy, Jakarta. Mahasiswa Tafsir Qur’an Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.